Thursday, 24 January 2013

Pola Keber-agama-an

Tepat di hari ini, tanggal 12 di bulan Rabiul Awal, Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam dilahirkan. Sebagian umat Islam merayakan kelahiran beliau tiap tahunnya dengan sebuah ritual khusus yang ditujukan untuk menghormati beliau. Sebuah perayaan yang lebih dikenal dengan nama maulid nabi. Masing-masing orang memiliki pandangan tersendiri terkait hal ini. Ada yang mengatakan bahwa merayakan hari kelahiran beliau termasuk bid'ah (hal-hal baru di dalam agama), dan ada pula yang mengatakan bahwa ini semata hanya bentuk rasa cinta mereka terhadap Nabi akhir zaman. Apapun itu, pembahasan mengenai perayaan maulid bukan sesuatu yang baru. Pembahasannya telah melalui diskursus panjang yang takkan cukup ditulis dalam selembar dua lembar kertas.

Secara sederhana, masing-masing pendapat memiliki landasan yang kuat dalam berargumen. Yang menolak maulid berpendapat bahwa ulama dan para salafushalih (orang-orang terdahulu) tidak pernah merayakan maulid. Sedangkan yang merayakan maulid beralasan bahwa sebagian ulama ada yang membolehkan perayaan maulid dan ini merupakan tradisi yang diturunkan antar generasi. Perbedaan pandang ini nampak selesai di tataran pencari ilmu, mereka sudah mafhum dan toleran dengan pendapat masing-masing, yang jadi masalah adalah saat turun ke ranah akar rumput, masyarakat awam yang mungkin secara keilmuan belum mumpuni seperti para ulama. Dimana masing masing orang di ranah masyarakat punya sebuah pola keber-agama-an yang dibangun sejak kecil yang hingga kini terus bertahan.

secara umum, pola keber-agama-an kita dibangun oleh dua hal, pola keber-agama-an tekstual dan pola keber-agama-an kultural. Keduanya berkolaborasi, membentuk pemahaman seseorang terkait pandangan mereka dalam beragama. Pola keber-agama-an tekstual adalah pola yang dibentuk atas dasar pemahaman yang diterima dari buku-buku, literatur-literatur yang umumnya disampaikan lewat sekolah, madrasah, dan guru-guru. Sedangkan pola keber-agama-an kultural adalah pola yang telah ada jauh sebelum kita lahir yang telah terbangun di dalam keluarga serta masyarakat. Kedua pola ini cenderung mendominasi satu sama lain, kadang pola tekstual yang lebih dominan, tapi tak jarang pola kultural yang nampak menonjol.

Mari kita ambil contoh, perayaaan satu suro tiap tanggal satu muharram yang lebih dikenal dengan nama grebeg suro. Kira-kira perayaan ini dibangun berdasarkan pola keber-agama-an yang mana? dari buku dan literatur keislaman, sama sekali tidak disebutkan mengenai hal ini, tapi karena ia telah ada sejak dulu dalam masyarakat, jadilah ia sebuah bentuk keber-agama-an yang tiap tahun dilakukan. Contoh lainnya adalah tahlilan yang dilakukan di hari ketujuh, empat puluh, dan seratus setelah seseorang meninggal dunia. Pola keber-agama-an kultural menyatakan bahwa ini adalah ritual yang selalu dilakukan bapak-bapak kami tiap kali ada orang yang wafat, sedangkan pola keber-agama-an tekstual menyatakan hal ini tidak ada dasarnya, di dalam buku dan literatur keislaman macam Al-Qur'an dan Hadits.

Tapi terkadang pola keber-agama-an tekstual terlalu rigid dan kaku yang cenderung memandang konteks keber-agama-an dari sisi luarnya saja. Padahal ada makna dan rahasia tersembunyi yang mungkin saja belum ter-eksplor secara lengkap dari pola tekstual. Pola keber-agama-an tekstual juga seringkali menafikan adanya romantisme beragama yang membuat rasa kian manis dalam mengecap sebuah ritual ibadah. Pola kultural mengajarkan itu, ada sisi emosional dan energi rasa yang besar dalam menghayati keber-agama-an ketika beribadah. Agama tak selalu dilakukan persis seperti teks yang tertulis tapi ada sesuatu dibalik itu yang dapat dikecap yang membuat ibadah makin terasa nikmat. Ia diturunkan secara kultural, baik di dalam keluarga ataupun masyarakat.

Idealnya kedua pola keber-agama-an ini menyatu dalam diri seseorang dengan kadar yang seimbang. Ada kalanya seseorang lebih didominasi oleh pola keber-agama-an tekstual yang seringkali membuat mereka sekedar menjalankan ritual ibadah dari buku dan literatur saja. Yang kadang kala membuat mereka tak menerima adanya sebuah ritual yang tidak dilakukan persis seperti di dalam literatur dan buku yang mereka pahami. Sedangkan ada kalanya seseorang lebih didominasi oleh pola keber-agama-an kultural yang cuma tahu bahwa ritual ibadah yang mereka lakukan kini sudah diajarkan oleh bapak moyang mereka dan mereka sangat bersemangat dalam melakukannya. Diluar itu, mereka sulit menerima walau ada landasannya dari sumber-sumber ilmu semacam Al Quran, hadits, dan ijtihad ulama.

Kembali lagi ke pembahasan mengenai maulid. Berdasarkan pola keber-agama-an tekstual, memang acara maulid tidak ada dasarnya. Silahkan dibuka kitab-kitab fikih klasik yang kita miliki. Kalaupun ada landasannya, kerap kali didasarkan pada pendapat seorang ulama bijak yang berpendapat bahwa maulid secara umum hanya ingin membangkitkan kembali kecintaan kita kepada rasul. Selebihnya, orang-orang yang merayakan maulid sekedar mengikuti tradisi dan pola keber-agama-an pendahulu mereka. Walau terkadang ada sisi lain semacam unjuk rasa kecintaan kepada rasul, dan semangat beribadah yang dapat kita contoh.

Menyatukan dua pandangan ini (yang pro ataupun kontra maulid) ibarat mencampur air dengan minyak, (hampir) mustahil dilakukan. Keduanya memiliki basis pola keber-agama-an yang berbeda. Yang mungkin dapat dilakukan kini, demi sebuah persatuan dan kondisi keumatan yang kondusif, adalah bersikap dewasa dan menyadari pola keber-agama-an masing-masing yang dominansinya berbeda. Sembari berbenah agar dapat secara bijak menyeimbangkan pola keber-agama-an yang ada di dalam diri.

No comments:

Post a Comment