Wednesday 31 December 2008

Pembantaian Etnis, Sebuah Kejahatan Perang israel

Hingga berapa lama para pemimpin dunia menutup mata bahwa serangan Israel merupakan sebuah kejahatan perang. Yang dapat diganjar dengan sebuah hukuman sangat berat. Jika sebelumnya beberapa pemimpin dunia berpendapat bahwa serangan yang dilakukan Israel merupakan hal yang wajar. yang dianggap merupakan serangan balasan terhadap Hamas. Coba saat ini mereka jelaskan mengapa bantuan terhadap rakyat Palestina turut diserang oleh tentara Israel?

Hal ini terjadi saat beberapa kapal yang mengangkut bantuan kesehatan dan pangan dari
Libanon diserang oleh kapal-kapal patroli Israel. Tanpa sebab yang jelas dan provokasi
sebelumnya kapal-kapal patroli Israel menyerang kapal pengangkut bantuan itu yang sebenarnya masih berada di perairan internasional.

Melihat hal ini saya langsung teringat akan peristiwa pembantaian etnis yang dilakukan
Serbia pada rakyat Kosovo dan Bosnia. Dimana saat itu rakyat Kosovo dan Bosnia diupayakan untuk hilang dari muka bumi oleh tentara Serbia. Dengan dibunuh, disiksa, dan dihambatnya bantuan dari dunia internasional untuk masuk ke daerah Bosnia. Saat itu pun alasan yang sama diberikan oleh Serbia. Mereka berpendapat bahwa hal ini dilakukan untuk menekan kelompok separatis Bosnia.

Dunia internasional pun memberikan reaksi atas tindakan yang dilakukan oleh tentara pimpinan Slobodan Milosevic ini. Hingga singkat cerita, Slobodan Milosevic dicap sebagai penjahat perang dan dinyatakan bersalah atas pembantaian etnis di Bosnia oleh mahkamah internasional. Serupa dengan serbia, Israel pun melakukan hal yang sama. Tapi mungkin bedanya Slobodan Milosevic tidak punya saham atas beberapa kekuatan besar di dunia saat itu. Serbia tidak punya andil ataupun jasa terhadap beberapa negara barat. Hingga tak lagi berharga untuk dapat dipertahankan. Berbeda dengan Israel, Mereka mungkin telah menancapkan kukunya ke dalam titik-titik vital negara-negara barat. Hingga negara-negara itu tunduk pada keinginan Israel.

Ironis, karena kita tahu dan melihat kejadian ini tapi sekedar mengecam tanpa bisa berbuat
banyak. Terlebih lagi dilakukan di depan para pemimpin dunia yang tak lagi punya kekuatan
untuk mencegah kejahatan perang Israel Laknatulloh.

Sunday 28 December 2008

Karakter Iran dan serangan Israel ke Palestina

Dunia tidak pernah melihat kejadian (serangan) ini sebelumnya
-ismael haniyeh, pemimpin hamas-

Gencatan senjata harus dilakukan, tapi kami memaklumi penyebab israel melakukan penyerangan ke gaza -juru bicara washington-

Israel harus membayar serangan mereka ke gaza. Dan kami siap melakukan serangan balasan terhadap israel. sementara itu kami akan mengirimkan bantuan secepatnya melalui jalur laut.
-Ahmadinejad, Presiden Iran-

*berunding, berdiskusi, berunding* - Liga Arab-

Dunia kembali disuguhi sebuah tayangan, pilu dan menyedihkan, dari sudut dunia bernama palestina. seolah tak pernah bosan , penduduk dunia kembali dicekoki (atau mencekoki dirinya sendiri) terhadap sebuah pemandangan. Dimana manusia setengah mati bertahan membela hidup dan kehidupannya. Bertahan dari serangan mematikan negara dan otoritas tertinggi dunia saat ini, Israel.

Serang menyerang, hantam menghantam, memang tak sekali ini terjadi. Bertahun-tahun, bahkan berabad-abad yang lalu telah dimulai. Diawali dari diaspora bangsa yahudi di dunia hingga mereka berkumpul dan memplokamirkan negara Israel di tanah bangsa Palestina. Sejak itulah berbagai tayangan memilukan terjadi pada bangsa Palestina.

Tak sedikit upaya yang dilakukan untuk mereduksi dampak dari pertikaian antar kedua bangsa. Uniknya dilakukan oleh negara ataupun institusi terkait yang memiliki kepentingan tertentu di wilayah timur tengah. Bukannya dari kedua bangsa yang bertikai. Maka tak heran pertikaian terus terjadi walau telah dimediasi oleh mereka yang berkepentingan. Karena mereka memang tak bertujuan untuk menyelesaikan masalah. Tapi hanya untuk mengambil keuntungan dalam pertikaian. Amerika dalam hal mempertahankan hegemoninya di asia barat dan hutang moril dan materiilnya pada Israel, Liga Arab dalam hal menjaga aset mereka di wilayah arab, dan PBB dalam hal menaikkan kredibilitas mereka sebagai institusi pemersatu negara di dunia.

Jadi tak perlu heran jika untuk serangan yang ke sekian kalinya ini. Amerika sekedar menyarankan Israel untuk memulai gencatan senjata. Liga arab sekedar berunding dan mengecam serangan. PBB hanya berusaha mengatakan pada israel untuk menghentikan serangannya ke palestina. Dimana semuanya merupakan reaksi basa basi terhadap aksi Israel. Namun, diantara reaksi basa basi itu muncul reaksi yang berbeda. Apalagi kalau bukan dari Iran, negara dengan tingkat dendam paling tinggi setelah Palestina terhadap Israel terutama Amerika.

Iran dalam hal ini memang punya sejarah panjang dan buruk dengan Amerika. Tentunya tak lepas dari revolusi iran yang menggulingkan rezim Syah reza Pahlevi. Digantikan Khomeini yang tidak seperti pahlevi yang di back up amerika dalam kebijakan-kebijakannya. Khomeini berbeda, ia anti amerika dan mengutuk tindakan semena-mena amerika pada penduduk dunia dan juga Iran.

Dendam itu yang sampai sekarang dibawa oleh Iran terhadap amerika. Semakin menjadi-jadi kala Iran di embargo oleh PBB yang dipelopori oleh Amerika sebagai penggagasnya. Sehingga kini tak perlu dipertanyakan mengapa Iran begitu membenci Amerika dan secara tidak langsung selalu menjadi oposisi bagi berbagai kebijakan Amerika di dunia.

Tapi memang Iran dalam hal ini kelompok syiah, akrab dengan dendam dan budaya mendendam. Tengoklah sejarah panjang terbentuknya aliran ini. Diwarnai oleh dendam mereka terhadap Abu Bakar, Umar, Usman yang dianggap merebut kekhalifan dari Ahlul Bait Rasululloh Ali Bin Abi Thalib. Dimana hingga kini tak ada satupun i'tikad mereka untuk memperbaiki kesalahan dalam menilai sahabat utama rasul tersebut. Yang mereka ingat selalu dalam ritual hari assyuro mereka. Padahal sudah bertahun-tahun bahkan berabad-abad terjadi tapi tetap saja mereka mendendam dan membenci sahabat utama rasul.

Jadi? pertanyaannya adalah, mereka memang membenci amerika karena amerika menyerang kaum muslimin ataukah karena sifat mendendam mereka yang sudah menjadi karakter yang inhibit pada diri mereka??

Entahlah, yang jelas ada baiknya juga mereka menunjukkan keberpihakan terhadap rakyat palestina. Disaat sebagian besar negara dengan aliran sunni, Ahlussunnah yang mengikuti jejak rasul dan sahabat, bungkam dan diam tak berdaya melihat kekejaman Israel Laknatulloh.


Wednesday 24 December 2008

[buah dari KAUP] Pacaran Sebagai Seleksi Pasangan Hidup..Lanjutan.

Tulisan ini sekedar melanjutkan tulisan sebelumnya. Berkisar penyusunan, pembahasan dan hasil dari alat ukur ini, yaitu pacaran. sebelumnya saya akan mereview beberapa hal, pertama adalah komponen utama dari pacaran.

Adapun komponen utama dari pacaran diidentifikasikan sebagai berikut:
(1)bertemu di suatu tempat yang telah ditetapkan bersama untuk berkasih-kasihan
(2) dilakukan dengan kekasih atau teman lain jenis yang tetap
(3) perilaku menyenangkan yang diinginkan oleh pasangannya yang lain.
hal ini berdasarkan beberapa definisi dari landasan teori, bisa dilihat di tulisan sebelumnya.

Dari ketiga komponen ini diturunkan menjadi item-item berupa tingkah laku. Karena pacaran berupa perilaku. Unik memang, karena pacaran merupakan alat ukur aplikatif yang berbeda secara content dan sistematika penyusunan. Dimana alat ukur yang biasanya dibuat dalam KAUP berupa tes paper & pencil. Yang item-itemnya berupa inventory atau pernyataan yang menggambarkan keadaan diri seseorang.

Dilihat dari tiga komponennya, maka kita dapat membuat beberapa item atau indikator tingkah laku yang diturunkan dari komponennya.
(1).bertemu di suatu tempat yang telah ditetapkan bersama untuk berkasih-kasihan
itemnya:
a. berjalan-jalan ke tempat rekreasi ataupun pusat perbelanjaan sembari bercerita mengenai diri dan perasaan masing-masing.

b. menikmati suasana lokasi pertemuan untuk dijadikan sarana dalam memberikan kenyamanan bagi pasangan.

(2) dilakukan dengan kekasih atau teman lain jenis yang tetap
 itemnya :
a. adanya komitmen berupa lisan ataupun kalau perlu tulisan yang menyatakan bahwa mereka akan saling berhubungan satu sama lain secara spesial. Spesial berarti bentuk yang berbeda dengan jenis hubungan yang lain.

b. komitmen yang dijalankan sifatnya berlangsung dalam jangka waktu relatif lama. tidak sekedar komitmen yang terjadi secara singkat.

c. dilakukan oleh dua orang yang berjenis kelamin berbeda. (bila sama berarti bukan pacaran, berdasarkan sumber yang saya dapatkan)

(3) perilaku menyenangkan yang diinginkan oleh pasangannya yang lain.
itemnya:
a. membelikan hadiah ataupun barang yang diinginkan pasangan selama masa pacaran.

b. memuji dan memperhatikan pasangan secara intensif.

c. walaupun salah seorang pasangan melakukan hal yang tidak menyenangkan, pasangan yang lain tetap memaklumi dengan berperilaku sesuai keinginan pasangannya tersebut.

d. bila terjadi perilaku tidak menyenangkan diantara pasangan. dan itu bukan keinginan dari pasangannya yang lain. maka ini bukan termasuk pacaran.

Setelah kita menyusun item-item dalam sebuah kerangka yang utuh. Maka selanjutnya adalah mencocokkan item tersebut dengan kondisi faktual di lapangan. Pencocokkan dilakukan berdasarkan interview singkat dari beberapa narasumber yang include dalam pacaran. Sehingga nantinya dapat menjawab apakah pacaran sebagai alat ukur dapat digunakan sebagai seleksi dalam memilih pasangan hidup?. Berikut ini beberapa item yang dibahas.
Komponen pertama:
a. berjalan-jalan ke tempat rekreasi ataupun pusat perbelanjaan sembari bercerita mengenai diri dan perasaan masing-masing.
hubungan dengan pemilihan pasangan: berjalan dan bercerita satu sama lain di tempat rekreasi cukup dapat dijadikan sarana untuk menyeleksi pasangan hidup ideal. namun tentunya apakah ketika pacaran hal ini selalu dilakukan untuk menyeleksi pasangan? bisa saja dilakukan disaat dan untuk tujuan tertentu saja.Sehingga tidak dapat melihat apakah pacaran benar-benar dapat menyeleksi pasangan hidup.

Komponen kedua:
b. adanya komitmen berupa lisan ataupun kalau perlu tulisan yang menyatakan bahwa mereka akan saling berhubungan satu sama lain secara spesial. Spesial berarti bentuk yang berbeda dengan jenis hubungan yang lain.
c. komitmen yang dijalankan sifatnya berlangsung dalam jangka waktu relatif lama. tidak sekedar komitmen yang terjadi secara singkat.
d. dilakukan oleh dua orang yang berjenis kelamin berbeda. (bila sama berarti bukan pacaran, berdasarkan sumber yang saya dapatkan)
hubungan dengan pemilihan pasangan: dalam memilih pasangan hidup salah satu yang harus ditekankan adalah komitmen. Karena pemilihan pasangan ini akan berlangsung selamanya, sepanjang hidup. Maka secara tidak langsung komitmen memang dibutuhkan. Tentunya berlangsung dalam jangka waktu yang tidak singkat. Sehingga mungkin saja item-item ini baik dalam menyeleksi pasangan hidup.

Komponen ketiga:
e. membelikan hadiah ataupun barang yang diinginkan pasangan selama masa pacaran.
f. memuji dan memperhatikan pasangan secara intensif.
g. walaupun salah seorang pasangan melakukan hal yang tidak menyenangkan, pasangan yang lain tetap memaklumi dengan berperilaku sesuai keinginan pasangannya tersebut.
h. bila terjadi perilaku tidak menyenangkan diantara pasangan. dan itu bukan keinginan dari pasangannya yang lain. maka ini bukan termasuk pacaran.
hubungan dengan pemilihan pasangan: item-item yang berada dalam komponen ini memang sedikit banyak dibutuhkan dalam pemilihan pasangan. Namun terdapat beberapa hal yang harus diingat. Pemilihan pasangan hidup sifatnya tidak sementara tapi sepanjang usia. sehingga dibutuhkan perilaku yang sifatnya konstan. Apakah subjek selalu dapat menyenangkan pasangannya tersebut? Sehingga berperilaku sesuai keinginan pasangannya dengan menyembunyikan hal-hal yang tidak menyenangkan bagi pasangan. Maka yang akan terlihat adalah hal-hal yang sifatnya bungkus.

Kesimpulan.

Pacaran sebagai alat ukur merupakan alat ukur yang reliabilitasnya rendah. Berdasarkan uji reliabilitas manual dan seadanya yang dilakukan dengan menggunakan teknik pengujian interview sederhana. Dimana sebagian subjek melakukan hal (item) yang berbeda setiap kali berpacaran. Sehingga alat ukur ini belum konsisten dalam menyeleksi pasangan hidup ideal.

alat ukur ini validitas yang rendah. Karena tidak dapat mengukur item-item (tingkah laku) yang nantinya akan dialami oleh remaja dengan pasangan hidupnya nanti. sehingga item-item dalam pacaran secara tidak langsung tidak dapat membedakan individu yang akan berhasil menyeleksi pasangan hidupnya dengan yang tidak.


Diskusi

alat ukur ini tidak reliabel mungkin saja karena alat ukur ini tidak mengukur satu domain yang sama. Bisa saja alat ukur ini tidak mengukur bagaimana remaja dalam menyeleksi pasangan hidupnya. Akan tetapi hanya melihat keinginan remaja untuk mendapatkan hal-hal yang menyenangkan saja dari pasangannya(pacar).


Saran

Alat ukur ini perlu diperbaharui dengan konstruk yang lebih jelas dan diakui kebenarannya. Tidak hanya didasarkan pada keinginan dan hasrat pribadi dari remaja. Sehingga nantinya benar-benar dapat menyeleksi pasangan hidup yang ideal bagi remaja.




Sunday 21 December 2008

[buah dari KAUP] Pacaran sebagai Alat Ukur Seleksi Pasangan Hidup..

            Karena Masih berasa Aura KAUP, dan masih berdebar-debar menunggu hasilnya. Maka tadi secara tidak sengaja, iseng-iseng membuat bagian awal (lagi) dari proposal KAUP. Bedanya yang jadi alat ukur itu sebuah perilaku, behaviour. ini nih..
----------------------------------------------------------

BAB I
Pendahuluan

1.a. Latar belakang

            Ketika memasuki usia remaja, hal yang paling mengasyikkan adalah menikmati berbagai perubahan. Perubahan dalam aspek fisik, kognitif, dan psikososial (papalia, 2007). Tentunya yang membuat mengasyikkan adalah bertambahnya kualitas maupun kuantitas dari organ tubuh terkait aspek fisik, kognitif, maupun psikososial. Misalnya dari segi kuantitas adalah ukuran badan yang menjadi besar dan tumbuh pesat(ini fisik), otak yang bertambah volumenya(mungkin kognitif), dan teman-teman yang semakin banyak(bisa dibilang psikososial). Sedangkan dari segi kualitas misalnya gerakan tangan semakin luwes karena motorik halus yang semakin terasah(ini fisik), pola pikir telah beranjak dari concrete operational ke tahap format operational yang membuat remaja bisa berpikir abstrak(mungkin kognitif), dan terakhir adalah hubungan yang semakin erat dan dalam dengan teman-teman sebayanya(dan ini bisa dibilang psikososial).

            Dari ketiganya (baca:aspek fisik, kognitif, psikososial), aspek psikosial yang nampaknya paling menonjol dari remaja. Mungkin bisa kita lihat dari kondisi faktual yang kini terjadi. Dalam media-media, baik elektronik maupun cetak, masa remaja dicitrakan sebagai masa yang penuh dengan interaksi sosial yang mendalam dengan lawan jenis. Menghadirkan sisi-sisi penuh romantika antara dua insan remaja.

            Romantika diantara keduanya dianggap lumrah bagi sebagian pakar psikologi. Dalam teori perkembangan erikson bahkan dijelaskan teori dan manfaat hubungan romantika ini, yang sering kita sebut dengan pacaran. Menurut erikson dalam papalia (2007) ada beberapa fungsi pacaran yaitu sebagai sarana rekreasi, sumber kesenangan, sebagai status & prestasi, membantu proses sosialisasi, memberikan kesempatan untuk membentuk identitas diri, untuk memperjelas identitas diri dan untuk memisahkan diri dari keluarga, sarana untuk menyeleksi pasangan hidup.

            Terkait masalah menyeleksi pasangan hidup. Berarti secara tidak langsung pacaran dijadikan alat ukur untuk menyeleksi kemungkinan pasangan hidup bagi remaja. Dalam mengidentifikasi pasangan hidup ideal pada remaja dibutuhkan alat ukur yang reliabel, valid, dan memiliki item-item yang baik. Maka apakah pacaran dapat menjadi alat ukur seperti ini?

I.b. Permasalahan

Terdapat 3 masalah yang diangkat dalam penelaahan alat ukur ini adalah sebagai berikut:

a. Apakah item-item dalam pacaran yang disusun konsisten untuk menyeleksi pasangan hidup ideal bagi remaja ?


b. Apakah pacaran dapat memprediksi keberhasilan remaja dalam menyeleksi pasangan hidup ideal ?

c. Apakah item-item dalam pacaran yang disusun dapat membedakan individu yang memiliki kemungkinan mendapat pasangan hidup ideal dengan yang tidak?

I.c. Tujuan

            Untuk mengetahui apakah pacaran konsisten mengukur kemungkinan remaja mendapatkan pasangan hidup ideal dan dapat membedakan remaja yang tidak mendapatkannya.

BAB II
LANDASAN TEORETIS

II. a.    Pacaran
II. a. 1. Definisi pacaran

             Menurut sebuah situs yang saya baca ia mendefinisikan pacaran sebagai berikut. Pacaran adalah bercintaan atau berkasih-kasihan (antara lain dengan saling bertemu di suatu tempat pada waktu yang telah ditetapkan bersama) dengan kekasih atau teman lain-jenis yang tetap (yang hubungannya berdasarkan cinta-kasih). Singkatnya, pacaran adalah bercintaan dengan kekasih-tetap. Itu definisi bakuKamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Unsur-intinya ada dua yaitu ‘bercintaan’ dan ‘kekasih-tetap. ‘pacaran’ yang ditulis dalam situs tersebut dan dikemukakan oleh Muhammad Shodiq berdasarkan

             Definisi lainnya adalah pacaran dilakukan dalam jangka waktu tertentu dengan menitikberatkan pada aktivitas berkasih sayang yang menuntut satu atau lebih pasangan memperlihatkan perilaku menyenangkan yang diinginkan oleh pasangannya yang lain. (hamzah, 2008).

II. a. 2. Komponen pacaran

             Adapun komponen utama dari pacaran diidentifikasikan sebagai berikut: (1)bertemu di suatu tempat yang telah ditetapkan bersama untuk berkasih-kasihan (2) dilakukan dengan kekasih atau teman lain jenis yang tetap (3) perilaku menyenangkan yang diinginkan oleh pasangannya yang lain.

II. b. Remaja

Karakteristik remaja secara umum menurut Steinberg (1999), yaitu:

1.      Aspek Biologis.  Pubertas, yakni perubahan penampilan reamaja secara fisik (seperti pertumbuhan dada pada perempuan, pertumbuhan rambut pada wajah laki-laki, dan peningkatan berat tubuh secara dramatis pada perempuan ataupun laki-laki)

2.      Aspek Kognitif. Kemampuan berpikir yang lebih canggih dari sebelumnya (masa kanak-kanak). Seperti: berpikir tentang hypothetical situation, konsep abstrak.

3.      Aspek Sosial. Perubahan status sosial dalam hubungannnya di rumah, sekolah, dan dalam peer group.

II. c. Teori Penyusunan Tes
II. c. 1 Validitas

             Validitas tes berhubungan dengan apa yang diukur dan seberapa baik tes tersebut mengukur konstruk yang diinginkan tersebut. Seluruh mekanisme untuk menentukan validitas tes mempunyai hubungan dengan performa dalam tes dan hasil observasi yang dilakukan terhadap tingkah laku tertentu. Oleh karena itu, dibutuhkan kriteria yang dapat dijadikan acuan atau perbandingan (Anastasi dan Urbina, 1997).

             Hubungan antara skor tes dengan kriteria disebut dengan koefisien validitas. Validitas menampilkan sejauh mana tes tersebut mengukur konstruk yang ingin diukur. Berdasarkan tujuan penggunaan tes, terdapat tiga macam validitas; yaitu content description, criterion prediction, dan construct validation.

II. c. 2. Reliabilitas
           Reliabilitas merujuk pada ketepatan, kebergantungan, konsistensi, atau repeatability (dapat diulang) hasil tes (Kaplan dan Saccuzzo, 1997). Reliabilitas adalah konsistensi dari skor yang didapat oleh orang yang sama ketika individu tersebut melakukan tes yang sama pada kesempatan yang berbeda, atau dengan serangkaian tes berbeda tapi dengan item yang ekivalen, atau dilakukan di bawah variabel-variabel kondisi pengujian yang lainnya (Anastasi dan Urbina, 1997).

II. c. 4. Analisis Item

             Ada dua jenis analisis item yang dilakukan dalam pendekatan kuantitatif, yaitu analisis kesukaran item (item difficulty analysis) dan analisis daya beda item (item discrimination analysis).

------------------------------------------------
             Untuk saat ini nampaknya cukup. Terlalu panjang takutnya gak sempat dibaca juga nantinya. Lagipula lagi males nerusin. Ada yang berminat meneruskan??mungkin fakta-faktanya sekalian. Bisa Valid, Reliabel. Atau mungkin sama sekali tidak valid dan reliabel?? kira-kira apa ya hasilnya?

Saturday 20 December 2008

Teori Konspirasi atau Setting-an

Sewaktu dulu menjadi MABA. Tak pernah terpikirkan sama sekali bahwa momen di hari terakhir PSAU, Class Consolidation, merupakan sebuah skenario yang direncanakan. Nampaknya skenario itu berhasil mengelabui maba atau mungkin hanya saya. Yang nampaknya begitu polos sehingga menilai kejadian tersebut apa adanya. Dimana secara garis besar, saat itu para senior berupaya menggugah rasa kebersamaan MABA dengan membuat kekacauan dan keributan yang diharapkan membangun kesolidan dari maba, seperti itulah singkatnya. Ketika itu belum ada sama sekali skema di otak saya bahwa kejadian itu merupakan sebuah rekayasa yang dirancang untuk tujuan tertentu. Merujuk kepada Kolb serupa dengan structured experience-nya. 

Menariknya adalah kejadian itu sedikit banyak membangun skema kognitif saya. Bahwasanya dunia ini tak selalu dapat dimaknai hitam putih. Ada banyak kemungkinan yang dapat dimaknai dari sebuah peristiwa. Yang terlihat tak selalu seperti apa yang dipersepsi. Slogan seeing is believing nampaknya bukan menjadi premis umum dalam hal ini. Walaupun sebuah peristiwa terlihat seperti apa yang kita lihat, namun mungkin saja itu hanya sebuah skenario dari satu frase yang disebut konspirasi.

Konspirasi atau selanjutnya kita sebut saja teori persekongkolan adalah teori-teori yang berusaha menjelaskan bahwa penyebab tertinggi dari satu atau serangkaian peristiwa (pada umumnya peristiwa politik, sosial, atau sejarah) adalah suatu rahasia, dan seringkali memperdaya, direncanakan diam-diam oleh sekelompok rahasia orang-orang atau organisasi yang sangat berkuasa atau berpengaruh. Sehingga tak lain dan tak bukan ada sebuah kekuatan tersembunyi yang mengendalikan sebuah peristiwa agar dipersepsikan sama sesuai keinginan mereka. Bila dikaitkan dengan class consiladation PSAU mungkin agak-agak mirip.

Nah, berlanjut lagi. menindak lanjuti berbagai peristiwa akhir-akhir ini yang sempat terekam dalam memory saya, saya pun berpikiran, mungkinkah teori konspirasi bermain di dalamnya?. Ada dua peristiwa sejauh pengamatan saya. Pertama isu BHP (badan hukum pendidikan) dan kedua adalah hiburan lempar sepatu dari Muntazer Al Zaidi wartawan stasiun TV Al Baghdadiya.

Untuk yang pertama, ini murni hanya aksi berpikir nyeleneh dari saya. Karena berpikir bahwa sulit saja membayangkan bahwa ada dua penyikapan yang berbeda. Satu sisi ada yang berteriak lantang menolak. Bergerak berdasarkan kondisi faktual yang ada. Dan di lain sisi ada yang mengangguk bijak tanda sepakat dengan RUU BHP. Padahal keduanya berasal dari entitas yang sama bernama rakyat. Itu berbicara idealnya. Berbicara sedikit konspiratif, keduanya pun saya yakin dikoordinasikan oleh satu kekuatan kebaikan yang saya yakin sebagian besar sama. Bagi yang bersama saya dalam gerakan ini pasti tahu apa yang saya maksudkan. Sehingga saya melihat seperti adegan dagelan ketika kedua kelompok ini bertentangan mempertahankan pendapat masing-masing. Jadi Intinya hendak seperti apa dan mau dibawa kemana?

Yang kedua, hampir sama sebenarnya. tapi mungkin agak sedikit besar cakupannya. Saya berpikir mungkin saja Al Muntazher dirancang untuk memberangus pers di Irak. Sehingga ada sebuah alasan bagi pemerintahan Al Maliki untuk mengintervensi pers disana. Mengandalkan alasan keamanan dan stabilitas negara, mempreteli pers disana sehingga tak punya taji untuk memberitakan kebenaran.

Kembali, seperti yang sudah saya tuliskan di atas. Teori Konpiratif sifatnya adalah dugaan dan penjelasan yang tak dibatasi lingkupnya. Sehingga setiap orang bebas mengungkapkan pendapatnya sepanjang dapat menjelaskan dengan fakta dan data yang kuat. Sama halnya dengan tulisan ini, mungkin bedanya minus fakta dan data yang akurat. Jadi jangan terlalu serius lah membaca tulisan ini. Yang hanya sekedar mewacanakan sebuah perspektif baru yang mungkin tak biasa..hehe..



Wednesday 10 December 2008

In God We Trust ; All Others Must Use Data



Kalau anda mencermati mata uang US alias koin dan kertas Dollar Amerika Serikat, pastinya anda akan menemukan hal menarik disana. Karena di sana tertulis sebuah kalimat yang menjadi moto resmi pemerintah Amerika Serikat. Terlepas dari pelaksanaan dan mungkin saja ketidak singkronan antara moto tersebut dengan kenyataan kini. Tapi sekali lagi saya mengapresiasi kalimat itu. In God We Trust.

Kepada tuhan kami percaya. Sebuah pernyataan yang menurut saya menunjukkan ketawakalan dan ketauhidan tingkat tinggi. Dimana segala hal kita tambatkan padaNya. Keluh-kesah, senang-sedih, canda-tawa bermuara padaNya. Mengharapkan yang terbaik darinya. Betapa menariknya bila Amerika benar-benar menunjukkan sikap seperti itu. sehingga nanti setidaknya Amerika dapat sedikit meninggalkan nilai-nilai materialis yang menjangkitinya selama ini. Dan dapat menjadi rahmatan lil alamin (loh??).

Omong-omong, saya pun berpikir bahwa kalimat tersebut kurang lengkap dan perlu ditambahkan sebuah kalimat lagi. Berhubung saat ini kita berada di zaman digital yang membuat akses terhadap informasi sangatlah mudah. Maka segala hal merujuk pada evidenc atau bukti. Sehingga zaman ini selain disebut sebagai zaman digital pantaslah nampaknya disebut sebagai based evidence and power information era. oleh karena itu saya pun berasumsi kalimat penambah itu adalah kata-kata All others must use data.

In God We Trust; All Others Must Use Data. Hanya kepada tuhan kami percaya. Apapun yang datang darinya kami siap menjalankannya. Segalanya kami serahkan padanya dan kepadaNya lah kami kembali. Selebihnya siapkan bukti dan informasi yang kuat. Karena tak ada satupun yang dapat dipercaya selain yang punya data. Apapun itu, Bukti tertulis, lisan, tulisan atau apapun itu. Dan tentunya DIA pusat segala data.

Hanya kepadaNyalah kami percaya....In God We Trust...and All Others Must Use Data.

*diselaselaKAUPdanPELATIHANyangmenggila,semogamenyejukkanhati*

Wednesday 3 December 2008

Nama menciptakan Maknanya..

What's in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet.
William Shakespeare

Kalaulah para eksistensialis istiqomah pada prinsip mereka. Hampir dapat dipastikan mereka sepakat dengan pendapat saya. Bahwasanya labelling mendahului meaning. Nama mendahului makna. Sama halnya dengan eksistensi mendahului esensi


Contohnya begini, apa yang menyebabkan air dikatakan air dan tidak dikatakan lembut? ataupun fleksibel? ataupun apalah namanya itu sesuai dengan sifat yang dimilikinya. Dan mengapa pohon disebut pohon padahal secara esensi mungkin saja tak ada hubungannya dengan karakter dan sifatnya. Po- Hon, apa hubungannya dengan makhluk bertubuh keras dengan lembaran-lembaran hijau di puncak tubuhnya?. Begitupun manusia, kenapa ia harus dipanggil manusia dan tidak dipanggil batu, kaki, atau yang lainnya?. Sehingga selanjutnya memunculkan pertanyaan besar, mengapa segala sesuatu harus dinamakan seperti sekarang ini??. Masih bingung? Mari kita sejenak membahas tentang konsep yang sedikit banyak terkait dengan hal ini

Nama terkait erat dengan konsep. dimana konsep merupakan sebuah bentuk representasi dan simplifikasi simbol-simbol elemen kehidupan. Sehingga setidaknya bila telah terbentuk sebuah konsep dalam pikiran manusia, ia telah mampu mengaitkan segala hal yang terjadi padanya dengan konsep yang telah ia miliki. Memang agak rancu dan terkesan overlapping dengan pengertian analogi. Tapi yang harus ditekankan disini adalah nama menjadi point penting pada pembentukan konsep ataupun makna itu sendiri. Dimana konsep takkan terbentuk bila tak ada nama sebelumnya. Eksistensi yang melampaui esensinya.

Segarkan ingatan kita tentang kehidupan nabi Adam di surga. Ketika ia diminta oleh Alloh menamakan setiap makhluk yang ada di sana. Apakah Adam melihat sifat dari makhluk itu terlebih dulu ataukah menamakan dulu baru selanjutnya makna akan muncul dengan sendirinya?. Nampaknya menurut saya adam sekedar menamakan saja tanpa (mungkin) mempertimbangkan sifat dan makna yang bisa saja melekat pada makhluk tersebut.

Sehingga menurut saya nama yang menciptakan makna. dan bukannya makna yang menciptakan nama. Karena segala sesuatu tak selalu membutuhkan makna terlebih dulu untuk dinamakan. karena kalau saja setiap hal diperlakukan begitu, tentunya kini tak ada nama-nama besar yang mewarnai dunia. nama-nama semacam Ibrohim, Ismail, Umar, Abubakar dan lainnya yang sudah memiliki maknanya sendiri.

 

Monday 24 November 2008

Karena Status atau kualitas??

Ingin sedikit beranjak sejenak dari dunia kemahasiswaan. Bosan juga rasanya melulu membahas hal-hal berkaitan politik kampus. Maka saat ini, saya ingin sekedar berbagi informasi tentang pengalaman yang beberapa waktu lalu saya alami.

Begini ceritanya kawan, seperti yang mungkin kawan-kawan tahu semenjak di asrama lah saya menjelma  menjadi “kuli tinta”. Hingga kini sayapun masih layak digelari julukan itu. Bedanya mungkin, dulu saya mengawalinya dengan sangat berat dan kini sedikit lebih mudah. Kalau dulu motivasinya ekstrinsik, sebagai prasyarat turunnya beasiswa, saat ini motivasinya mungkin agak bergeser ke sisi intrinsic dalam diri.

Salah satu penyebabnya mungkin beberapa apresiasi yang saya dapatkan. Setelah berulang kali membuat tulisan, dan berulang kali pula dikirimkan ke media massa akhirnya tulisan saya dimuat. Alhamdulillah, saat itu dimuat di rubrik suara mahasiswa dengan judul moral wakil rakyat. Dengan mencantumkan nama serta fakultas saya berada, sungguh bangga rasanya. Selain karena bangga, mungkin “sakit hati” saya sedikit terobati dengan dimuatnya artikel ini. Karena beberapa waktu sebelumnya beberapa orang sahabat di asrama menembus media massa nasional bersama artikel mereka. Hanum, Ical, Hans, Zulfadli, dan lainnya. Yang membuat saya menjadi iri (dalam artian positif tentunya) pada mereka. Dan akhirnya tercapai juga impian saya.

Waktu pun berlalu, Artikel yang diterbitkan 4 bulan sejak saya di asrama (Berarti lima bulan setelah bulan agustus 2006, yakni bulan Desember)  nampaknya akan menjadi artikel pertama sekaligus terakhir bagi saya. Terbayang-bayang dalam benak setiap kali membuat tulisan dan ternyata gagal tembus. Berulang kali hal itu terjadi, sampai suatu saat di bulan april 2008, akhirnya masa itu datang.

Berawal dari observasi beberapa rekan yang sering menembus tulisan di media massa. Sayapun berusaha mengikuti jejak mereka. Langkah demi langkah saya ikuti. Hingga suatu titik dimana sayapun menyadari bahwa mungkin inilah titik penting dari pencarian saya selama ini. Inilah titik yang mungkin saja (kebanyakan kata mungkin, mohon maaf bila terganggu) yang menjadi perbedaan antara orang-orang yang gagal tembus dengan yang berhasil tembus.

Titik itu ialah identitas yang dituliskan di artikel yang akan saya kirim. Sebuah identitas yang menunjukkan keahlian saya sebagai seorang individu. Lepas dari status saya sebagai seorang penuntut ilmu yang seolah-olah masih mencari kebenaran dan belum diperhitungkan setiap argumennnya. Sehingga sayapun berkesimpulan bahwa status sebagai mahasiswa menjadi semacam penghalang bagi keberhasilan menembus media massa. Karena media seolah tidak melihat status, mahasiswa, yang masih dalam tahap pembelajaran dan tidak layak dijadikan acuan.  Maka kalau bisa diubahlah identitas itu dalam bentuk yang lebih berkelas, seperti peneliti, asisten peneliti, pengamat atau yang lainnya. Yang penting jangan mahasiswa. Akhirnya saya coba dan ternyata berhasil.

Artikel sayapun tembus ke media massa, di bulan april. Tapi mengapa, saya tidak merasa begitu bahagia seperti artikel saya yang pertama. Sayapun tak tau pasti tapi mungkin jawabannya adalah karena saat itu saya melakukan kesalahan dengan mengatasnamakan sebuah status yang tidak (baca : mungkin belum) menjadi hak saya. Seolah saat itu mata saya menjadi gelap untuk melihat kebenaran dikarenakan ambisi yang menggebu untuk menembus media massa. Sayapun sebenarnya sudah meralatnya langsung ke Koran tersebut, dan secara langsung menyampaikan kesalahan ini kepada seorang dosen. Akan tetapi tetap saja saya merasa berbuat yang tak benar. Walaupun tentunya banyak hal yang menjadi considerant saya ketika memilih identitas itu (baca:kelayakan, kepatutan, dan pembenaran)

Akhirnya hingga kini masih tersisa sebuah tanya dalam pikiran saya. Apakah tembusnya artikel saya karena status yang dituliskan disana? Atau karena memang artikel saya berkualitas? Lalu apakah dibenarkan bagi kita melakukan “modifikasi” identitas seperti itu?

Entahlah…

btw...ini tulisannya...

Diskursus Seni dalam Mengkritisi

Thursday 20 November 2008

[Forum NgomPol] Tulisan Terakhir : Tiga Golongan dalam Suksesi

Change will not come if we wait for some other person or some other time. We are the ones we've been waiting for. We are the change that we seek.
-Barrack Obama-

jika kita harus melakukan sesuatu yang tidak populer, sebaiknya sekalian saja dilakukan dengan segenap hati. karena dalam politik, pujian tidak didapatkan dengan takut-takut
-Marcuss Tullius Cicero- Negarawan dan Orator Ulung Romawi

Proses suksesi kepemimpinan secara alamiah membagi setiap orang dalam tiga golongan besar. Golongan yang Pro Status Quo, Golongan poros tengah, dan Golongan reformis-revolusioner.

Golongan yang pro Status Quo lazimnya disebut dengan kelompok incumbent. Calon dari kelompok incumbent ini terkadang adalah kandidat yang pernah menduduki jabatan ini sebelumnya. Ataupun kalau tidak, pastilah kader dari pemimpin yang sedang menjabat. Mereka biasanya membawa program dan slogan yang sama dengan pendahulu mereka. Kalaupun tidak mereka sekedar memolesnya dengan dandanan baru yang lebih menjual. Mungkin karena telah terbukti berhasil menarik simpati pemilih sehingga menutup pikiran mereka untuk mencoba berkreativitas dengan program dan slogan yang baru.

Selanjutnya adalah golongan poros tengah. Acapkali disebut sebagai penjembatan antara golongan yang saling bertentangan. Fungsi mereka sebenarnya sangat strategis. Melihat adanya pertentangan ekstrim antar golongan-golongan yang ada, pemilih cenderung memilih alternatif yang muncul dengan sosok yang lembut dan berbeda dengan golongan lain. Yang dirasa dapat membawa mereka pada kondisi yang lebih baik ketimbang memilih golongan yang sibuk dengan pertentangan antar mereka.

Sedangkan golongan reformis-revolusioner bertolak belakang dengan golongan incumbent. Mereka hadir dengan program dan slogan yang tak biasa. Menghidangkan perubahan bagi arah kebijakan lembaga yang akan dinakhkodainya. Mereka membawa program dan slogan mereka pada tataran nilai dan keyakinan pemilih. Meyakinkan pemilih bahwa program dan slogan ini bukan sekedarnya saja. Ini adalah sebuah bentuk pergerakan bersama berdasarkan prinsip dan nilai yang kita yakini. Sehingga mereka tak ragu membawa pemilih untuk melihat mimpi besar bagi kejayaan diri mereka, ataupun lingkungan disekitarnya.

------------------

Jikalau diadaptasikan dalam realita bermasyarakat di kampus saya. Maka yang kini muncul mungkin golongan pertama dan ketiga dalam tulisan ini. Golongan pertama tak membuat saya bernafsu untuk meng-eksplor lebih jauh. Karena mungkin saya telah akrab dengan apa yang mereka bawa setahun belakangan.

Untuk golongan ketiga saya memberikan nilai lebih. Selain karena adanya pemberitaan miring mengenai mereka dari dunia maya selain MP. Adanya bentuk nilai dan keyakinan yang mereka bawa meyakinkan saya akan adanya sebuah perubahan. Seperti yang dikatakan Obama. Perubahan itu tidak datang sendiri, kitalah yang harus membuatnya. Dan untuk itu janganlah ragu untuk menjadi tidak populer. Karena pujian tidak didapatkan dengan takut-takut (Cicero, 605 Masehi). Hingga mimpi tak lagi jadi pelengkap malam ditengah lelap para penghuni bumi.

Sedangkan golongan kedua? Kalah sebelum berperang mungkin, entahlah, saya juga tidak tau menahu.

Yang jelas saat ini saya sedang sangat menikmati suguhan manis para lakon dalam politik kampus di Psikologi..

Sunday 9 November 2008

Saat Hujan Turun

Hujan, entah sudah berapa kali ia hadir dalam hidupku. Berjuta, ataupun bermilyar kali mungkin, ia menemani hari-hari ku. Hadirnya menjadi bagian tak terpisahkan dari cerita unik berbagai episode kehidupan. kadang kala ia mengiringi kebahagiaan perjalananku . dan terkadang ia menjadi sosok penambah perih di hati.

Aku menyukainya. Terlepas dari berbagai peran yang ia jalani. Karena ia menjadi simbol, bahwa masih ada rahmat bagi dunia ini. Bahwa masih ada kasih sayang Dari Rabb yang menguasai semesta alam. Hingga akupun berpikir, telah banyak yang dilupakan manusia. Akan rasa syukur bahwa masih ada setitik kenikmatan dengan turunnya ia.

Ia hadir begitu sering akhir-akhir ini. Dan akupun berpikir ada waktu-waktu favoritku untuk menunggunya datang. Bagiku waktu favorit untuk menunggunya datang adalah di sore hari. Sembari menunggu senja serta melepaskan lelah setelah seharian menjalani aktivitas. Kehadirannya membawa kenikmatan tersendiri.

Waktu favorit dan menyenangkan bersama dirinya tak hanya dimiliki oleh diriku seorang. Ternyata sahabat-sahabatku pun punya waktu-waktu menyenangkan bersama dirinya. Ada yang di sore hari sama seperti diriku, ada yang di pagi hari, siang hari, ataupun malam hari. Semuanya memiliki maknanya masing-masing menurutku.

Hujan di pagi hari.
hanya segelintir sahabatku yang menikmati hujan di pagi hari. Bukan saja karena hujan membawa sedikit efek bagi kelancaran aktivitas di hari itu. Tetapi juga hujan di waktu ini dimaknai sebagai awalan dari suramnya hari bagi sebagian orang. Gelap, basah, dan membuat orang enggan tuk memulai aktivitas di pagi hari. Orang yang menikmati hujan di pagi hari terkadang mempunyai keinginan untuk terus bersama hujan. Meresapi indahnya hujan dan enggan melanjutkan aktivitas. Larut bersama kehadiran hujan hingga melupakan hal lainnya di sepanjang hari nanti. Hanya satu orang sahabatku yang memilih waktu ini.

Hujan di siang hari.
Sebagian sahabatku lebih menikmati hujan di siang hari. Karena bersama hujan bagi mereka merupakan sebuah telaga kesejukan dari panasnya siang. Pengiring aktivitas dan kepenatan kerja di siang hari. Mereka tak mempermasalahkan jika hujan menghambat aktivitas. Karena bagi mereka iringan hujan cukup menjadi penyegar bagi kelelahan di siang hari. Yang menjadi teman bagi aktivitas mereka yang sangat padat.(sahabat-sahabat ku yang memilih hujan di siang hari memang orang-orang yang memiliki aktivitas sangat padat. Dan uniknya tak sekedar padat, mereka men-schedule seluruh aktivitasnya dan bukan sekedar aktivitas insidental)
 
Hujan di sore hari.
aku dan sebagian sahabatku saja yang memilih waktu ini. Sangat asyik memang menikmati hujan di sore hari. Melihat siang melepaskan diri untuk disampaikan pada penghujung hari. Moment-moment peralihan yang diiringi gemeritik suara hujan. Membawa suasana hati menjadi tenang dan tenteram. Kami (aku dan sahabatku) memang orang-orang yang meresapi sebuah proses. Sehingga terkadang cenderung melankolik dan terjebak dalam romantisme sesaat. Tapi itulah Khami.

Hujan di malam hari.
Untuk waktu ini banyak dan bahkan sebagian besar sahabatku memilihnya. Mereka sangat menikmati hadirnya hujan yang mengiringi ditutupnya hari itu. Kehadiran hujan seolah menjadi sebuah orkestra yang menemani mereka mengobati lelah setelah seharian beraktivitas. Mereka menjadikan hujan sebagai sarana untuk menutupi berbagai masalah. Biarkan masalah di hari itu tertutup oleh suara hujan yang mengiringi tidur mereka. Sehingga, serahkan saja semuanya pada hujan, sedangkan kini, biarlah kita tidur untuk menanti hari esok.

Itulah beberapa momen yang menjadi saat-saat menyenangkan dalam menikmati turunnya hujan. Bagiku dan sahabat-sahabatku. Sehingga menurutku waktu-waktu dalam menikmati hujan menjadi citra bagiku dalam memahami mereka. Mencoba melihat mereka lebih dalam sebagai seorang sahabat dan saudara.

 

Thursday 6 November 2008

Seleksi ataupun Eleksi [Lingkup Fakultas,UI, ataupun Negara]

Bagi saya pribadi, penghujung tahun 2008 ini menjadi momen katarsis. Karena banyak peristiwa yang dapat dijadikan sarana untuk 'melarikan' diri. Khususnya dari segala macam aktivitas akademik semacam kaup-kaup(an), konseling-konseling(an), ataupun pelatihan-pelatihan(an)*agak maksa memang*. Membuat saya setidaknya punya bahan untuk dijadikan obrolan selain masalah akademis. Bersama rekan saya di forum gosip wadin-hamzah, ataupun rekan-rekan lain seperjuangan. 

Momen itu adalah momen eleksi ataupun seleksi pimpinan sebuah lembaga (karena ada satu pemilihan yang tidak mau disebut eleksi). Yang ternyata menumpuk menjadi satu di akhir 2008. Untuk lebih lengkapnya saya akan merinci satu per satu:

1. Seleksi dekan Fakultas Psikologi UI
Panitia seleksi telah dibentuk. Mereka bertugas menyusutkan calon menjadi 3 orang yang nantinya akan dipilih berdasarkan hasil FPT di depan Rektor dan jajarannya. calon pun telah banyak yang mengambil formulir. kalau tidak salah ada 6 orang yang mengambil. Tapi sayang ternyata hanya empat orang yang mengembalikan formulir. mereka adalah Dr Tjut Rifameutia, Dr Guritnaningsih, Dr Wilman Dahlan, dan Dr Hamdi Muluk (urutan tidak berarti apa-apa,sungguh..). Mereka yang mengembalikan formulir akhirnya di uji publik-kan oleh panitia pemilihan dekan kepada civitas akademika psikologi. Berbagai pertanyaan banyak yang mengemuka ketika para kandidat selesai mempresentasikan visi dan misi mereka. Hingga sampailah hari pengumuman dimana hanya 3 orang yang akan maju untuk FPT di depan rektor. Mereka adalah ketiga orang yang sebutkan di awal minus yang keempat. Ketiganya di uji di depan rektor hari ini (06/11), dan disiarkan secara langsung lewat streaming melalui situs resmi UI. Pengumumannya? sudah ada ternyata. Yang terpilih adalah Dr Wilman Dahlan, yang punya core competence di bidang PIO (psikologi industri dan organisasi). Yah..semoga dapat mengemban amanah ini dengan baik.

2. Eleksi KaBEM-WaKaBEM dan MPM F.Psi UI
Tak hanya dekannya saja yang dipilih. Lembaga kemahasiswaannya pun turut serta memilih pimpinannya yang baru. mereka adalah:
Untuk BEM: Muhammad Akhyar '06 - Jayaning Hartami '07 dan Robby Zuharfi '06-Fajar Erika '06
Untuk MPM: Khairun Nisa '06, Humeira Fauzia '06, Hanif Rafi '07, Puti "07, Ovilla Nanci '08, Andriani Cendra '08, Cyntia Rusdian '08, Ekotyas '08, Puri '08, dan Sylvinna '08
Mereka adalah calon-calon penerus lembaga eksekutif dan legislatif di F.Psi UI. Bedanya dengan seleksi dekan yang telah ketahuan siapa orangnya yang terpilih, mereka saat ini belum pasti menjabat. Tergantung hasil suara dan musyawarah angkatan (untuk MPM angkatan). Yah..Marilah kita berdoa semoga mereka sukses dalam menempuh proses ini. Dan yang terpilih adalah yang terbaik..amin..

3. Eleksi BEM UI
Nah..kalau yang ini agak lebih luas. Setelah tadi hanya lingkup lokal saja, berkisar fakultas, sekarang mari kita berbicara lingkup Universitas. Untuk BEM UI, seperti pemilihan dekan, banyak yang mengambil formulir. Ada sekitar 7 orang yang mengambil formulir. Saya hanya mengetahui sebagian saja. Bagi teman-teman yang tahu silahkan di share di sini. Mereka adalah Tiko MIPA '05-Nanda FISIP '05, Ihsan Fasilkom '05-Gonjez FISIP '05, Randy Bagasyudha F.Psi '04-Yura FH '05, Yudha FISIP '05-(saya gak tau wakilnya), Adan FIB '05-(pasangannya, sampai posting ini selesai, belum ada..), dan lainnya (saya gak tau lagi)
Untuk yang mengembalikan Formulir?, karena keterbatasan informasi dan jaringan, saya belum mengetahuinya. Maaf yak... tapi tetap, seperti yang lain, semoga yang terbaik bagi UI, siapapun pemimpinnya.

4. Eleksi Presiden Amerika Serikat
Untuk yang satu ini, mari kita sedikit meng-global. Sama seperti seleksi dekan F.Psi UI. Hasil dari Pilpres amerika ini telah ada. Dan seperti harapan banyak orang, Barrack Husein Obama yang terpilih. Tak banyak yang dapat saya utarakan untuk Obama selain harapan yang lebih baik bagi kebijakan luar negeri amerika. walaupun saya pribadi sangat menyangsikan hal itu. Karena saya meng-insyafi bahwa ada metastructur yang bermain dalam pilpres Amerika.

Sementara hal-hal inilah yang menjadi bahan katarsis bagi saya. Semoga banyak hal lain yang dapat dijadikan katarsis sebelum saya nantinya benar-benar mengalami 'burn out'...halah..semoga saja tidak. Doakan saja...

*ditulisditengahKaupKonselingPelatihanSkripsiyangmulaimenggila*

........

Monday 3 November 2008

Antara Nyunnah dan yang tidak

Untuk berbicara mengenai Nyunnah (sesuai dengan sunnah) atau tidak. Agaknya frame berpikir saya sedikit banyak dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama adalah lingkungan dimana saya dibesarkan. Saya diasuh dan tumbuh berkembang di lingkungan masyarakat kompleks perumahan. Masyarakat yang unik ketika interaksi penghuninya hanya sebatas senyuman basa-basi dan tegur sapa seadanya. Dimana ketika saya mulai beranjak besar berdirilah sebuah masjid yang gagah nan elok di lapangan kompleks tersebut. Maka mulailah babak baru dalam kehidupan saya.

Hari-hari saya lalui di masjid ini. Belajar baca Alquran, bahasa arab, ataupun sekedar bermain bersama kawan di lingkungan masjid. Banyak hal yang saya dapatkan dalam proses perkembangan yang saya jalani. Hingga ketika saya beranjak besar, saya pun mulai belajar untuk memahami Islam lebih dalam dengan kajian-kajian yang diadakan setiap pekannya di masjid tersebut.

Pekan demi pekan saya nikmati sebagai sebuah rangkaian indah dalam hidup. Saya pun mulai akrab dengan berbagai kitab yang ada dalam setiap kajian. Fiqih Sunnah karya Sayid Sabiq disertai Tamamul Minnah Syeikh Al Albani sebagai pembanding. Minhajul Muslim karya Syeikh Abu Bakar Al Jazairi, Kitab Tauhid karya Al Imam Muhammad Bin Abdul Wahab yang lebih dikenal dengan nama Syeikh At Tamimi di Indonesia. Serta tidak ketinggalan karya monumental Imam Nawawi, Riyadhus Shalihin (dan semua buku karangan manhaj yang mengatasnamakan Assalafusshalih). Semuanya menjadi bagian dalam proses pencarian makna Islam dalam hidup saya.

Itu hal pertama yang mempengaruhi frame berpikir saya dalam melihat sunnah. Hal kedua adalah proses pembinaan selama 2 tahun di asrama tercinta. Jujur, pertama kali saya masuk ke asrama ini, saya mengalami disonansi kognitif. Banyak hal yang berbeda dengan apa yang telah saya dapatkan dulu di masjid. Berbagai hal dalam melihat sunnah dan aplikasinya di lapangan. Diantaranya adalah bersikap hati-hati dalam melihat persoalan mengenai sunnah dengan memakai berbagai sudut pandang. Objektifikasi yang di kedepankan dan bukannya hawa nafsu serta Ashobiyah golongan. Sayapun menyadari akan kebenaran hal ini. Dimana dulu saya seringkali memahami sunnah sangatlah sempit. Tidak mendalam dan mencari esensi dibaliknya. Namun meskipun begitu, saya begitu bersyukur pernah melewati masa-masa kehidupan dalam lingkungan masjid.

Waktu pun berlalu. Saya telah lama tidak mengikuti perkembangan terbaru berita-berita di masjid. Info terakhir yang saya dengar dari ayah, terjadi perselisihan diantara pengurus masjid tentang suatu hal. Perlu dijadikan catatan disini perselisihan tersebut mungkin sepele oleh sebagian orang termasuk orang yang hormati di sana (guruku). Yakni perlukah dibuat sebuah menara di masjid yang saat ini sedang dalam proses pembangunan atau tidak?. Sebagian orang disana tidak setuju dengan dibangunnya menara. Alasannya karena tidak Nyunnah. Sedangkan orang yang saya hormati itu mengatakan bahwa boleh dibuat menara. Alasannya karena tidak ada hubungannya dengan bid'ah.

Mendengar ini dari ayah membuat saya tertawa seketika. Pola berpikir yang aneh ketika mengatakan bahwa tidak boleh dibuat menara karena tidak nyunnah. Padahal menurut saya tidak nyunnah bukan berarti segalanya dilarang dan masuk kategori haram. Ditambah bahwa hal ini tidak ada hubungannya dengan ibadah. Saya pun memaklumi niat baik dari sebagian orang itu untuk komitmen dalam mengikuti sunnah Rasul. Akan tetapi sungguh konyol ketika ini dijadikan alasan untuk membolehkan atau tidak membolehkan sesuatu. Sehingga seolah-olah kita memposisikan sunnah sederajat dengan hukum wajib dalam Islam. Padahal telah jelas dalam Al Quran bahwa Alloh membenci orang yang bersikap berlebihan. Saya pun setuju dengan orang yang saya hormati itu, ketika ia mengatakan bahwa hal ini tidak ada hubungannya dengan bid'ah. Karena sesuatu yang tidak nyunnah bukan berarti bid'ah. Sedangkan yang bid'ah sudah pasti tidak nyunnah.

Haaah...!
Itu masih dalam lingkungan mikro dekat masjid rumah saya. Bagaimana dalam tataran makro? saya tidak habis pikir, urusan remeh temeh seperti ini yang dijadikan pokok bahasan utama. Dikala masih banyak hal lain yang lebih penting untuk dibahas dan dicari solusinya bersama.

Saturday 1 November 2008

Tribute to Kawan Sejawat merangkap Sahabat

Bila dikisahkan, pertemuan saya dengan dirinya tidaklah istimewa. Sebuah momen yang tidak disangka merupakan awalan dari perjalanan panjang kami berdua di fakultas psikologi UI. Mengawal trias politica menuju kasta idealnya di kampus kami.

Saat itu hari pertama untuk briefing PSAU hari kedua. Dengan semangat yang meluap, saya berusaha untuk datang ke tempat briefing. Direncanakan briefing PSAU diadakan di belakang MUI, sama halnya dengan briefing PSAU sebelum-sebelumnya. Namun apa daya, hujan pun mengiringi langkah saya menuju MUI. Dan akhirnya pasrahlah saya menerima guyuran hujan yang begitu lebat. Basah-basahan keadaan saya ketika sampai disertai muka kedinginan. Untunglah ada orang baik yang mau dan rela meminjamkan jaketnya kepada saya. Yang dikemudian hari saya ketahui bahwa ia Ketua FUSI 06.

sebenarnya bukan dia yang ingin saya bicarakan dalam tulisan ini. Tapi orang lain yang sembari menunggu briefing dimulai mengajak kami (baca:maba laki-laki psiko 05) menghabiskan waktu dan melupakan kejadian buruk para maba yang sebagian besar kehujanan, di sore hari, di selasar MUI.

Dia dengan gayanya yang khas bertanya kepada kami rasanya PSAU hari pertama. Karena kapasitasnya sebagai panitia PSAU (klo gak salah humas). Diiringi lelucon-lelucon kecil yang setidaknya membuat kami sejenak melupakan rasa dingin dari tubuh. Ia pun sebenarnya sempat bertanya kepadaku "lo yang nyalon jadi ketua angkatan kan?" dan terpaksa saya balas pertanyaannya hanya dengan senyuman miris. Singkat kata berakhirlah momen itu.

Selanjutnya interaksi saya dengannya selama empat tahun ini sebatas interaksi secukupnya dan seadanya. Ditambah sayapun jarang bermain ke tempat 'kerja'nya, dilapangan futsal Fakultas Psikologi. Walaupun kami sering bertemu di Lembaga kemahasiswaan tertinggi di IKM Psikologi, Senat mahasiswa. Namun tetap saja saya sangat minim berinteraksi dengannya.

Maka sangat shock-nya saya ketika melihat ia maju sebagai CaKaBEM Psiko UI. Yang notabene seharusnya bila mengikuti tradisi, saat itu adalah 'jatah' angkatan 2005 mengambil alih roda regenerasi. Sebenarnya saya tidak mempermasalahkan dan mengganggu gugat majunya dia sebagai CaKaBEM Psiko UI. Tapi sebagai bagian dari angkatan, loyalitas sebagai sebuah kesatuan memanggil saya untuk membela kandidat dari kalangan sendiri.

Interaksi dan mungkin diskusi yang sedikit demi sedikit mengubah pandangan saya tentangnya. Terutama dalam masa-masa SUKSESI. Kami sering berinteraksi saat kampanye dimana sayapun saat itu menjadi salah satu kandidat (tapi dalam ranah berbeda). Dan saya pun sampai pada sebuah kesimpulan. "kalau dia yang jadi ketua BEM, impian bahwa legislative dan eksekutif bisa berjalan sebagai partner dapat terwujud".

Dan ternyata hingga berjalannya kepengurusan selama 11 bulan ini, kami pun setidaknya dapat memfungsikan diri dengan baik. Sebagai eksekutif dan legislatif. Partner yang dapat saling membantu, mengingatkan dan mendorong munculnya sinergisitas. Dimana hal ini memicu tumbuhnya produktivitas antar kedua lembaga yang dapat ditularkan pada lembaga lain.

Selain itu, saya seolah-olah mendapatkan bonus dari hubungan profesional antar kedua lembaga ini. Yakni saya juga mendapatkan sosok sahabat dari dirinya. Yang membantu saya dalam menyelesaikan permasalahan yang ada. Yang dapat memberikan lelucon konyol dan menyegarkan dikala hati sedang galau.
Ini contohnya..
SMS dari Saya
"Tolong sampein salam gw buat dia yak.. I 'miss' him..hehe" miss disini berarti kehilangan dan gak keliatan beberapa hari ini.
SMS dari dia
"haha..hari senen gw peluk deh lo gar.. :p"
Dan sungguh tak terduga. Ternyata dia menepati janjinya. Setidaknya ada orang yang dapat memberikan support, semangat, dan juga keanehan(di kala saat ini pelukan antara dua orang laki2 sering disalah artikan) di kala masa-masa berat saat ini.

hehe..terima kasih bos..atas semuanya..

Untuk
Mufti Wirawan.
KaBEM Psikologi UI 2008

 


Thursday 30 October 2008

Langkah Awal sebuah Perubahan..

Ada yang datang dan ada juga yang pergi. Sebuah keniscayaan yang muncul sebagai imbas perputaran roda generasi. Yang tua digantikan yang muda bagai senja melahirkan pagi.

Begitu pula kejadiannya di fakultasku psikologi UI. Berkali-kali dan hingga kini beranjak menuju fitrah hakiki. Sebagai Ustadziatul a'lam sang guru sejati. Bagi seluruh mahasiswa di kampus ini.

Berawal dari eksistensi wajihah perjuangan. Menuju satu tujuan sebarkan kebaikan ke semua kalangan. Tidak mengenal kata pengecualian. Asalkan muslim, marilah kita bersama menggapai tujuan. Terukir indah dalam nuansa persaudaraan. Layaknya jiwa bersinergi dengan badan.

Itu peristiwa beberapa waktu yang lalu. Saat para pendahulu meretas jalan berliku. Yang kami nikmati dengan tanpa rasa malu. berpuas diri dengan apa yang telah berlaku. hingga tibalah janji sang penguasa waktu.

Ia datang mencabut nikmat yang dirasa. Menjadikan hati-hati kami ciut menghadapi masalah di depan mata. Tak lagi ada satu rasa bersaudara. Seperti pendahulu kami mencontohkannya. Kami meraba dan sulit menerka. Memilih jalan yang sudah ada.

Ah..betapa bodohnya kami. Melihat segalanya dari satu persepsi. Di kala dunia luas tanpa segi. Tatkala pendahulu kami memulai jalan dari salah satu sisi. Dan kami pun mulai menapaki lagi. Jalan yang dulu pernah mereka lalui. Menjadi Ustadziatul A'lam bagi kampus ini.

Dari SINI kita kan Memulainya saudaraku. Dan dari SINI Kita menapaki jalan menuju satu tempat yang kita rindukan.

Surga seluas langit dan bumi.

   

 
  

Friday 24 October 2008

[Forum NgomPol]: Tulisan Pertama -SDO dan Dunia Kemahasiswaan-

Pratto dan sidanius, dua orang pakar psikologi sosial, mengatakan bahwa Social Dominance Orientation (SDO) menjadi trend yang kini berkembang dalam dinamika antar kelompok. Kelompok tak lagi bergelut dalam usaha untuk mempertahankan eksistensi kelompoknya. Tapi juga tengah berusaha agar mereka dapat mendominasi kelompok lain.

hal ini dimungkinkan terjadi ketika saat ini kelompok-kelompok dalam masyarakat terdifferensiasikan menjadi sebuah hierarki. Ada kelompok yang berada dalam hierarki tertinggi dan ada kelompok yang berada dalam hierarki terrendah. Patokan yang menjadi landasan kita dalam menentukan tinggi rendahnya hierarki tersebut adalah positive social value yang didapatkan kelompok.

positive social value tersebut beragam. dari namanya saja kita dapat mengambil makna bahwa ia(baca:positive social value) adalah sebuah nilai-nilai positive yang di dapatkan kelompok dalam kehidupan sosial. Misalnya keleluasaan untuk berobat di rumah sakit, akses luas ke tempat-tempat tertentu, nama baik yang menjual, dan sebagainya. Sehingga tentu saja membuat setiap individu dalam kelompok hierarki tertinggi berupaya semaksimal mungkin untuk mempertahankannya.

Ada banyak cara bagi kelompok untuk mempertahankan positive social value(PSV). Salah satunya dengan menekan kelompok hierarki rendah dengan berbagai diskriminasi aturan. Yang tentu saja dapat mereka lakukan karena mereka mempunyai PSV. Orang yang ingin masuk ke sebuah tempat di halangi karena dianggap tidak memiliki kedudukan yang sama dengan mereka. Padahal bisa saja mereka tidak membolehkan bukan karena status yang berbeda. Tapi karena mereka tidak ingin kepuasan dan hal-hal positif yang mereka miliki terbagi ataupun hilang karena adanya individu dari kelompok lain.

Maka kini, mari kita generalisasikan dengan kondisi aktual kita saat ini. Khususnya saya yang berada dalam dunia kemahasiswaan. Dimana ternyata praktek-praktek SDO telah lazim digunakan meski banyak diantara kita yang tidak mengerti apa itu SDO.

Kelompok (dalam hal ini para mahasiswa satu golongan, ideologi, dll ) yang telah mendapatkan positive social value bertahun-tahun pasti cenderung mempertahankannya. Hal ini sudah tidak terbantahkan untuk kita akui berdasarkan teori SDO. Terlihat dalam suasana suksesi kepemimpinan lembaga kampus. Dimana kelompok 'dominan' a.k.a yang mendapatkan PSV, memperjelas alur kaderisasi yang memastikan mereka tetap berada pada hierarki tertinggi. Segalanya diupayakan hingga mungkin terlihat arogan bagi beberapa pihak yang notabene berada pada hierarki rendah.

Ada usaha untuk mempertahankan hierarki dari kelompok 'dominan' dan kemarahan kelompok sub-ordinat (hierarki terrendah) untuk merebut PSV. Sehingga terjadi sebuah revolusi dan pemberontakan dari kelompok ini terhadap kelompok dominan. Yang kini terlihat dalam ajang suksesi. Baik di tingkat UI ataupun fakultas.

Di tingkat UI tentunya dari kelompok 'dominan' telah memilih wakilnya untuk meneruskan tongkat estafet kepemimpinan. Sebagai upaya mempertahankan PSV. Dan sebagai implikasinya perlawanan dari kelompok sub-ordinat tentu saja mengemuka. Telah ada beberapa calon setahu saya dari kelompok ini. Ada dari fakultas saya sendiri, psikologi, dan ada yang berasal dari fakultas di belakang psikologi, FASILKOM UI.

Nah, itu di tinggkat UI, kalau di tingkat fakultas beragam kejadian juga memberikan gambaran realita dua jenis kelompok ini. Kelompok dominan yang pernah bertahta selama beberapa waktu mulai mencari celah dengan menggaet 'pangeran' dari kelompok eksekutif berkuasa. Yang terdiri dari kombinasi kelompok aristokrat (begitu saya menyebutnya) dan kelompok veteran perjuangan 2007(klo yang aware sama pemilu atau suksesi pasti tau..hehe..). Dimana kelompok aristokrat saat ini mencoba peruntungannya dengan mencalonkan wakilnya sebagai BEM 1. Setelah bertahun-tahun lamanya tidak mencalonkan 'orang' dan hanya 'mendompleng' kepada kelompok tertentu, contohnya dengan kelompok veteran perjuangan 2007.

Setelah menyimak kedua realitas di dunia kemahasiswaan tingkat UI dan fakultas. Saya dapat menyimpulkan bahwa SDO bukanlah sesuatu yang negatif selama ia bermanfaat untuk mahasiswa lainnya. Dan tentunya selama menggunakan aturan bermain yang fair dalam mempertahankan PSV. Karena SDO adalah fitrah manusia, apalagi yang berada dalam lingkungan kelompok yang memiliki PSV yang tinggi.

*diiringi tepuk tangan meriah oleh audiense dalam forum NgomPol Wadin-Hamzah*
hehe..    

Forum diskusi dibuka

Berkali-kali ku berpikir dan berkali pula diriku berdecak heran. Masih sempatkah mereka memikirkan hearing kepada kami? Tatkala sebuah perhelatan akbar berada di depan mata. Kalaulah mereka konsisten untuk meramaikan perhelatan ini, setidaknya mereka menyelesaikan dulu segala kelengkapan yang dibutuhkan untuk bertarung selama perhelatan ini digelar. Sebelum akhirnya memikirkan hearing.

Dikala yang lain berpikir dan menyusun artileri peperangan. Mereka masih sibuk dengan hearing dan proses pencarian sosok yang tepat bagi pucuk pimpinan tertinggi eksekutif. Untungnya sang tokoh utama sudah berhasil 'dikontrak' (selama tulisan ini diturunkan itulah berita terakhir yang terdengar dari tembok2 psikologi yang katanya bisa berbicara). Walaupun banyak juga yang heran tak percaya. “Kenapa orang itu?” whatever lah..terserah mereka. Tapi satu yang kusayangkan. Orang itu sebenarnya pernah  kudekati untuk bergabung di barisan legislative.

Ia telah mencapai sebuah titik dimana tiada pilihan selain bergabung bersama di legislative 1 tahun ke depan. Semua argumentasi dan penolakan yang ia lontarkan kubalas dengan berbagai penjelasan logis yang masuk akal. Ia seorang tipe pemikir, tapi gagal dalam hal manejemen diri. Sangat cocok dengan legislative yang membutuhkan tipe konseptor. Bila memang ia masih bermasalah dengan manajemen diri, tenang saja ‘jam kerja’ legislative tidak terikat kuat seperti eksekutif, sangat fleksibel. Memungkinkan ia sedikit demi sedikit memperbaiki diri.

Tapi kembali lagi, itu semua tergantung pada keputusan akhir darinya. Dan dengan sangat disayangkan ia membuat statement yang membuat ku tak lagi bisa membujuknya. “saya sudah berjanji pada diri saya sendiri untuk memperbaiki akademis saya, jadi nampaknya saya tidak akan kemana-mana tahun depan”. Speechless..tak tahu apa yang harus kuucapkan dan akhirnya ia kutinggalkan. Membiarkannya pada keputusan yang telah ia pilih.

Kembali, seperti yang sudah kuceritakan diawal, Ia telah ‘dikontrak’. Sehingga secara tidak langsung melanggar janji yang telah ia buat pada dirinya sendiri. Terkejut? Sedikit, kecewa? Mungkin ada. Tapi pastinya yang paling membuatku tak habis pikir kekuatan seperti apa yang bisa mengubah putusannya? haruslah kekuatan yang melebihi diriku yang hanya seorang diri. Mungkin kekuatan kelompok (jamaah mereka bukan kami?hehe), atau mungkin kekuatan materi?(hm..hm..) Entah lah, yang jelas perhelatan akan segera dimulai dan mari kita saksikan bersama.

*dengan diiringi bunyi gong yang menandakan forum diskusi NgomPol wadin-hamzah secara resmi dibuka*
-gratis untuk umum-hehe

Monday 20 October 2008

Kita dan Mereka

Hari ini sejenak ku memaknai peristiwa yang berkelabat lewat di depanku. Satu hal yang dapat kukatakan. Mereka bukan bagian dari KITA. Setelah mereka secara diatremal memposisikan diri tuk mengambil jalannya sendiri. Tak masalah jika itu merupakan sebuah rencana yang sudah di susun sedemikian rupa. Tapi menjadi konyol ketika itu dibuat sebagai upaya tuk menegaskan ke-ego-an mereka.

Eksistensi serasa tuhan bagi mereka. Asalkan muncul di permukaan semua inferioritas urusan belakangan. Tak jadi soal yang namanya ideology.Yang penting gerak dulu, berpikir dan memaknai urusan ke seribu. Hingga mungkin membabi buta adalah sebuah habituasi perilaku. Ah.. Mereka sungguh berpijak pada pijakan yang lemah.

Berbeda dengan KITA. Landasan berpijak yang kokoh di atas manhaj perjuangan. Menjadi sebuah motor bagi gerakan para pejuang. Serasa dipandu oleh jalan panjang para syuhada, sholihin yang telah mendahului KITA.  Hingga dapat ku berteriak dengan lantang “Kami berpijak pada landasan yang kuat, dan tak mungkin tergoyahkan oleh tipu muslihat kalian”

Jelaskah perbedaan KITA dan mereka??

“berapa banyak orang ada di tengah kita, tetapi bukan kelompok kita, dan berapa banyak orang yang tercatat bagian dari kita. Tetapi tidak ada di tengah kita. Sesungguhnya kekitaan ‘kita’ terletak pada kebersamaan menanggung bebab dakwah dan jalan panjang perjuangan.” –pilar asasi, Alm. Ust Rahmat Abdullah-

-untuk Om dan adek, jangan ragu tuk bergerak saudaraku. Jalan perjuangan masih panjang.-

Friday 17 October 2008

warisan kepemimpinan

Seorang leadership inspirator suatu saat pernah memberikan petuah pada mahasiswa (yang katanya) calon pemimpin masa depan. Lazimnya sebuah petuah, pastilah isinya tak jauh dari sebuah arahan. Setidaknya anjuran agar si para calon (yang katanya) pemimpin masa depan ini agar menjadi para pemimpin yang baik.
 
Terdapat satu hal dari berpuluh hal dalam isi petuah yang sejak itu hingga kini selalu terngiang dan meng-hegemoni pikiran saya. Yakni seorang pemimpin yang baik hendaknya memastikan bahwa penerusnya nanti jauh lebih baik dari dirinya. Kaderisasi yang dapat memberikan ‘surga’ bagi penerusnya dan bukannya ‘neraka’ ketika mereka menerima tampuk kepemimpinan darinya.

Tengoklah kondisi actual yang kini terjadi. Tak usah jauh melihat dunia, karena ia sulit untuk kita affirmasi keobjektifannya. Lingkungan kampus di sekeliling saya dapat menjadi sebuah bukti nyata dari kebobrokan system kaderisasi dari sebagian pemimpin. Tentunya para bos dan pimpinan lembaga kemahasiswaan di kampus saya.

Entah karena amanah yang berat atau karena saking nyamannya berada dalam posisi strategis. Para pemimpin ini kerap kali lupa akan fungsi pewarisan yang merupakan salah satu domain dari system kaderisasi. Padahal dengan adanya hal ini sebuah lembaga atau organisasi dapat survive. Paling tidak dalam jangka waktu beberapa tahun ke depan. Baiklah, saya tahu bahwa factor X ikut berperan dalam hal ini. Dimana mungkin saja yang meneruskan tampuk kepemimpinan selanjutnya bukanlah dari golongannya. Karena mungkin saja(sekali lagi) mungkin saja setelah hasil pemilihan ternyata yang memenangkan pertarungan (baca:pemilu?) bukan dari golongannya. Yang membuat si pendahulu ‘ogah’ untuk mewariskan sesuatu. Boro-boro mewariskan, ngobrol aja tak sudi..hehe

Tapi kalau yang menang (menang?) dari golongannya tetap saja terdapat kesalahan yang dilakukan oleh pemimpin sebelumnya. Ia tidak memberitahukan atau mungkin lupa atau mungkin belum sempat menginformasikan beberapa kesalahan fatal yang harus diperbaiki penerusnya. Sehingga ketika berjalan ia masih saja berkutat untuk membereskan masalah yang di’waris’kan oleh pendahulunya. Maka tak heran beberapa lembaga bahkan berjalan di tempat karena saking banyaknya masalah yang diwariskan. Aneh…justru masalah yang diwariskan.

-Untuk pemimpin kelembagaan UI periode selanjutnya-
Sabar-sabar dalam menghadapi kepengurusan mendatang. Karena nampaknya kepengurusan mendatang tambah berat bagi anda semua.



Monday 6 October 2008

Seputar Materialis Spirituality

Fakta yang kini ada menunjukkan perkembangan baru dalam gaya hidup komunitas perkotaan. Terutama bagi masyarakat kelas atas yang saat ini banyak memainkan peran sentral dalam kehidupan kota besar. Tak hanya mengagungkan aspek materialistis yang lazim dikalangan mereka tapi juga sisi-sisi spiritualitas yang kini berkembang. Mungkin momen Idulfitri dan juga Ramadhan dapat menjadi sandaran dalam melihat fenomena ini.

Tengoklah suasana yang muncul bersamaan dengan datangnya Ramadhan. Berbondong-bondong seluruh lapisan masyarakat menyambutnya. Tak ketinggalan masyarakat kelas atas pun menyambut datangnya bulan suci ini. Terlebih lagi stakeholder yang berkepentingan dalam dunia kelas atas. Para investor, pelaku pasar, dan pemodal yang berlomba menggaet masyarakat perkotaan untuk menggunakan produk mereka. Dengan media yang menjadi ujung tombak, mereka berupaya mencitrakan ramadhan yang penuh dengan materi dan hedonisme kehidupan.

Ramadhan tak lagi dilihat sebagai wasilah dalam meraih kesempurnaan spiritual. Seperti yang umumnya dilakukan dibulan ini. Tapi justru sebaliknya, trend yang ada memperlihatkan bahwa komunitas ini (baca:masyarakat kelas atas) digiring untuk meng-idealkan diri dalam standar materialistik. Memang hal ini tak kentara terlihat ketika ramadhan. Paling umum hanya menggambarkan ramadhan yang penuh dengan makanan mewah dan lezat. Namun, mari kita refleksikan bersama suasana idul fitri yang lalu. Mungkin momen idul fitri lebih jelas dalam memperlihatkan trend ini.

Idul fitri diidentikan dalam aura materialistis. Baju baru, sajadah baru, kendaraan baru dan berbagai materi yang dapat diindrai. Momen ini tak lagi dijadikan standar bagi terbentuknya insan baru yang telah melewati tahapan proses spiritual. Akan tetapi, ia hanya dijadikan sarana bagi komunitas ini (baca: kelas atas) mengklaim diri telah mencapai tahap peak experience spirituality (kondisi puncak penghayatan spiritual). Yang sekonyong-konyong justru menempatkan diri mereka dalam posisi pseudo spirituality (kondisi spiritual semu).

Pseudo spirituality hakikatnya adalah disonansi yang terjadi saat sisi spiritual dihayati melalui sisi material. Ia (baca:sisi spiritual) tak lagi dihayati sebagai sesuatu yang metafisik namun telah dimaknai sebagai sesuatu yang indrawi. Metafisik yang berarti melebihi kemampuan fisik dalam merespon kondisi sekitar, merupakan penghayatan dari sisi spiritual yang dibutuhkan untuk membangun kondisi puncak penghayatan spiritual (peak experience spirituality). Maka tak heran puasa yang notabene melatih sisi spiritual kita, dapat dijadikan sarana untuk melatih diri dalam mengontrol aspek indrawi yang dimiliki manusia.

Berkat proses metafisik yang tak lagi dijadikan landasan dalam menggapai kondisi genuineness spirituality (kondisi spiritual murni). Dimana ia merupakan buah dari peak experience spirituality, tak pernah menyambangi para materialis spirituality (proses spiritual para pengagum materi). Yang dikhawatirkan menjadi status baru bagi para masyarakat kelas atas.

Kondisi ini akan terus bertahan selama tatanan yang menyusun masyarakat terutama kelas atasnya masih memiliki paradigma yang semu pada sisi spiritual. Yakni para pelaku pasar, investor, dan pemodal yang memiliki peranan besar dalam hal ini. Memang tak patut pula kita menyalahkan para pemegang kunci-kunci keuangan seperti mereka. Karena bisa saja disebabkan hal-hal tertentu yang menjadi variable sekunder akan hal ini. Namun, kenyataan yang kini ada menunjukkan keselarasan dengan hipotesis penulis.

Sehingga nantinya mungkin saja masyarakat kelas atas tak lagi dapat merasakan nikmatnya genuinennes spirituality. Dan justru terjebak dalam status baru mereka sebagai materialis spirituality.