Monday 3 November 2008

Antara Nyunnah dan yang tidak

Untuk berbicara mengenai Nyunnah (sesuai dengan sunnah) atau tidak. Agaknya frame berpikir saya sedikit banyak dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama adalah lingkungan dimana saya dibesarkan. Saya diasuh dan tumbuh berkembang di lingkungan masyarakat kompleks perumahan. Masyarakat yang unik ketika interaksi penghuninya hanya sebatas senyuman basa-basi dan tegur sapa seadanya. Dimana ketika saya mulai beranjak besar berdirilah sebuah masjid yang gagah nan elok di lapangan kompleks tersebut. Maka mulailah babak baru dalam kehidupan saya.

Hari-hari saya lalui di masjid ini. Belajar baca Alquran, bahasa arab, ataupun sekedar bermain bersama kawan di lingkungan masjid. Banyak hal yang saya dapatkan dalam proses perkembangan yang saya jalani. Hingga ketika saya beranjak besar, saya pun mulai belajar untuk memahami Islam lebih dalam dengan kajian-kajian yang diadakan setiap pekannya di masjid tersebut.

Pekan demi pekan saya nikmati sebagai sebuah rangkaian indah dalam hidup. Saya pun mulai akrab dengan berbagai kitab yang ada dalam setiap kajian. Fiqih Sunnah karya Sayid Sabiq disertai Tamamul Minnah Syeikh Al Albani sebagai pembanding. Minhajul Muslim karya Syeikh Abu Bakar Al Jazairi, Kitab Tauhid karya Al Imam Muhammad Bin Abdul Wahab yang lebih dikenal dengan nama Syeikh At Tamimi di Indonesia. Serta tidak ketinggalan karya monumental Imam Nawawi, Riyadhus Shalihin (dan semua buku karangan manhaj yang mengatasnamakan Assalafusshalih). Semuanya menjadi bagian dalam proses pencarian makna Islam dalam hidup saya.

Itu hal pertama yang mempengaruhi frame berpikir saya dalam melihat sunnah. Hal kedua adalah proses pembinaan selama 2 tahun di asrama tercinta. Jujur, pertama kali saya masuk ke asrama ini, saya mengalami disonansi kognitif. Banyak hal yang berbeda dengan apa yang telah saya dapatkan dulu di masjid. Berbagai hal dalam melihat sunnah dan aplikasinya di lapangan. Diantaranya adalah bersikap hati-hati dalam melihat persoalan mengenai sunnah dengan memakai berbagai sudut pandang. Objektifikasi yang di kedepankan dan bukannya hawa nafsu serta Ashobiyah golongan. Sayapun menyadari akan kebenaran hal ini. Dimana dulu saya seringkali memahami sunnah sangatlah sempit. Tidak mendalam dan mencari esensi dibaliknya. Namun meskipun begitu, saya begitu bersyukur pernah melewati masa-masa kehidupan dalam lingkungan masjid.

Waktu pun berlalu. Saya telah lama tidak mengikuti perkembangan terbaru berita-berita di masjid. Info terakhir yang saya dengar dari ayah, terjadi perselisihan diantara pengurus masjid tentang suatu hal. Perlu dijadikan catatan disini perselisihan tersebut mungkin sepele oleh sebagian orang termasuk orang yang hormati di sana (guruku). Yakni perlukah dibuat sebuah menara di masjid yang saat ini sedang dalam proses pembangunan atau tidak?. Sebagian orang disana tidak setuju dengan dibangunnya menara. Alasannya karena tidak Nyunnah. Sedangkan orang yang saya hormati itu mengatakan bahwa boleh dibuat menara. Alasannya karena tidak ada hubungannya dengan bid'ah.

Mendengar ini dari ayah membuat saya tertawa seketika. Pola berpikir yang aneh ketika mengatakan bahwa tidak boleh dibuat menara karena tidak nyunnah. Padahal menurut saya tidak nyunnah bukan berarti segalanya dilarang dan masuk kategori haram. Ditambah bahwa hal ini tidak ada hubungannya dengan ibadah. Saya pun memaklumi niat baik dari sebagian orang itu untuk komitmen dalam mengikuti sunnah Rasul. Akan tetapi sungguh konyol ketika ini dijadikan alasan untuk membolehkan atau tidak membolehkan sesuatu. Sehingga seolah-olah kita memposisikan sunnah sederajat dengan hukum wajib dalam Islam. Padahal telah jelas dalam Al Quran bahwa Alloh membenci orang yang bersikap berlebihan. Saya pun setuju dengan orang yang saya hormati itu, ketika ia mengatakan bahwa hal ini tidak ada hubungannya dengan bid'ah. Karena sesuatu yang tidak nyunnah bukan berarti bid'ah. Sedangkan yang bid'ah sudah pasti tidak nyunnah.

Haaah...!
Itu masih dalam lingkungan mikro dekat masjid rumah saya. Bagaimana dalam tataran makro? saya tidak habis pikir, urusan remeh temeh seperti ini yang dijadikan pokok bahasan utama. Dikala masih banyak hal lain yang lebih penting untuk dibahas dan dicari solusinya bersama.

8 comments:

  1. sampe ada yang maksa pake ghamis melulu demi sunnah, padahal yang pake ghamis ga cuma RosuluLLAH, abu jahal dan abu lahab juga pake ghamis

    ReplyDelete
  2. mungkin perlu dikaji lagi buku fiqih prioritas yusuf qardhawi yang sudah pasti pada males bacanya...


    atau tidak mau baca?

    ReplyDelete
  3. (mungkin) enggan,, bagi sebagian orang...

    ReplyDelete
  4. klo yang ini (agak) berlebihan nampaknya..

    ReplyDelete
  5. ahh... capek...


    gitu aja kok repot... (siapa hayoo???)
    *lari sekenceng mungkin*

    ReplyDelete
  6. kebanyakan baca majalah As_Su**ah kali ya?!
    Tapi bapak saya langganan majalah itu..
    hoho!!

    ReplyDelete
  7. Yaah kita lihat dulu esensi menara itu, penting apa enggak.. Atau setidaknya lihat dulu apa semua fasilitas penting sudah terpenuhi secara layak. Bukannya apa-apa, saya pernah lihat sebuah masjid (Al Faruq, Kukusan, Depok) yang tengah membangun menara yang tinggi. Sayangnya tempat wudhunya kurang memuaskan.. dan kamar mandinya tidak layak pakai..

    Kalau dipikir2 kan orang kalau sholat perlu bersuci.. Nah gak semua orang yang sholat di situ punya rumah dekat situ. Ada juga yang pejalan kaki. Kalau mereka ingin beristinja tentu butuh kamar mandi yang layak, airnya cukup. Jadi yang lebih dibutuhkan ya kamar mandi, bukan menara.. Lagi pula menara yang tinggi kan ditujukan untuk lebih memperluas suara azan.. sayangnya orang yang dengar azan belum tentu pada datang ke masjid.

    Ya kalau apa yang penting itu sudah terpenuhi baru deh boleh bangun menara. Masjid di rumah akhi Ega bagaimana, apakah sudah memenuhi standar minimal?

    Akh Ega,, kelihatannya kita sama-sama berubah ya (^_^) ?? Semoga kita ke arah yang jauh lebih baik....

    ReplyDelete