Monday 24 November 2008

Karena Status atau kualitas??

Ingin sedikit beranjak sejenak dari dunia kemahasiswaan. Bosan juga rasanya melulu membahas hal-hal berkaitan politik kampus. Maka saat ini, saya ingin sekedar berbagi informasi tentang pengalaman yang beberapa waktu lalu saya alami.

Begini ceritanya kawan, seperti yang mungkin kawan-kawan tahu semenjak di asrama lah saya menjelma  menjadi “kuli tinta”. Hingga kini sayapun masih layak digelari julukan itu. Bedanya mungkin, dulu saya mengawalinya dengan sangat berat dan kini sedikit lebih mudah. Kalau dulu motivasinya ekstrinsik, sebagai prasyarat turunnya beasiswa, saat ini motivasinya mungkin agak bergeser ke sisi intrinsic dalam diri.

Salah satu penyebabnya mungkin beberapa apresiasi yang saya dapatkan. Setelah berulang kali membuat tulisan, dan berulang kali pula dikirimkan ke media massa akhirnya tulisan saya dimuat. Alhamdulillah, saat itu dimuat di rubrik suara mahasiswa dengan judul moral wakil rakyat. Dengan mencantumkan nama serta fakultas saya berada, sungguh bangga rasanya. Selain karena bangga, mungkin “sakit hati” saya sedikit terobati dengan dimuatnya artikel ini. Karena beberapa waktu sebelumnya beberapa orang sahabat di asrama menembus media massa nasional bersama artikel mereka. Hanum, Ical, Hans, Zulfadli, dan lainnya. Yang membuat saya menjadi iri (dalam artian positif tentunya) pada mereka. Dan akhirnya tercapai juga impian saya.

Waktu pun berlalu, Artikel yang diterbitkan 4 bulan sejak saya di asrama (Berarti lima bulan setelah bulan agustus 2006, yakni bulan Desember)  nampaknya akan menjadi artikel pertama sekaligus terakhir bagi saya. Terbayang-bayang dalam benak setiap kali membuat tulisan dan ternyata gagal tembus. Berulang kali hal itu terjadi, sampai suatu saat di bulan april 2008, akhirnya masa itu datang.

Berawal dari observasi beberapa rekan yang sering menembus tulisan di media massa. Sayapun berusaha mengikuti jejak mereka. Langkah demi langkah saya ikuti. Hingga suatu titik dimana sayapun menyadari bahwa mungkin inilah titik penting dari pencarian saya selama ini. Inilah titik yang mungkin saja (kebanyakan kata mungkin, mohon maaf bila terganggu) yang menjadi perbedaan antara orang-orang yang gagal tembus dengan yang berhasil tembus.

Titik itu ialah identitas yang dituliskan di artikel yang akan saya kirim. Sebuah identitas yang menunjukkan keahlian saya sebagai seorang individu. Lepas dari status saya sebagai seorang penuntut ilmu yang seolah-olah masih mencari kebenaran dan belum diperhitungkan setiap argumennnya. Sehingga sayapun berkesimpulan bahwa status sebagai mahasiswa menjadi semacam penghalang bagi keberhasilan menembus media massa. Karena media seolah tidak melihat status, mahasiswa, yang masih dalam tahap pembelajaran dan tidak layak dijadikan acuan.  Maka kalau bisa diubahlah identitas itu dalam bentuk yang lebih berkelas, seperti peneliti, asisten peneliti, pengamat atau yang lainnya. Yang penting jangan mahasiswa. Akhirnya saya coba dan ternyata berhasil.

Artikel sayapun tembus ke media massa, di bulan april. Tapi mengapa, saya tidak merasa begitu bahagia seperti artikel saya yang pertama. Sayapun tak tau pasti tapi mungkin jawabannya adalah karena saat itu saya melakukan kesalahan dengan mengatasnamakan sebuah status yang tidak (baca : mungkin belum) menjadi hak saya. Seolah saat itu mata saya menjadi gelap untuk melihat kebenaran dikarenakan ambisi yang menggebu untuk menembus media massa. Sayapun sebenarnya sudah meralatnya langsung ke Koran tersebut, dan secara langsung menyampaikan kesalahan ini kepada seorang dosen. Akan tetapi tetap saja saya merasa berbuat yang tak benar. Walaupun tentunya banyak hal yang menjadi considerant saya ketika memilih identitas itu (baca:kelayakan, kepatutan, dan pembenaran)

Akhirnya hingga kini masih tersisa sebuah tanya dalam pikiran saya. Apakah tembusnya artikel saya karena status yang dituliskan disana? Atau karena memang artikel saya berkualitas? Lalu apakah dibenarkan bagi kita melakukan “modifikasi” identitas seperti itu?

Entahlah…

btw...ini tulisannya...

Diskursus Seni dalam Mengkritisi

9 comments:

  1. Ehm, aku ngga tahu sih, tentang perkara semacam itu, Tegar..

    Tapi, daripada berpikir yang engga-engga, mendingan berpikir yang iya-iya. Berpikir yang iya-iya itu, salah satunya sepakat dengan pendapatku bahwa artikel kamu tersebut layak dipublikasi di media tersebut.. Ehehe.. ^^

    Terus menulis, yak! Semangadh! Semangadh!

    ReplyDelete
  2. Masih jadi kuli tinta, Bang?
    Kaya'nya penamaan itu udah ngga cocok lagi deh. Lebih pas kalo "kuli flashdisc" atau "kuli CD".

    Sayangnya, asrama tempat kita berdua dibesarkan kurang mengapresiasi tulisan atau pun logika dari orang2 ngaco seperti saya, Bang.

    Seolah hal yang bermutu melulu berkutat pada politik, ekonomi, sosial, atau pun hal kenegaraan lainnya...

    ReplyDelete
  3. Sini, coba lihat tulisan Bang Jamal seperti apa, siapa tahu sangat bermanfaat.

    Karena urusan manfaat adalah salah satu bagian terpenting dalam urusan mutu, hehe..

    Banyak bidang lainnya yang dapat menjadi sorot suatu tulisan yang bermutu dan bermanfaat, walau hanya menyorot tentang kecenderungan anak zaman sekarang yang menghabiskan waktu luangnya dengan bermain video game..

    Kabarkan dan sampaikan pada dunia, kawan! Lewat gores ujung penamu.. =D

    ReplyDelete
  4. saya tak sepakat dengan kata itu..
    saya lebih sepakat dengan:
    Kabarkan dan sampaikan pada dunia,,kawan!!Lewat lensa kameramu dan photosopmu!!
    yaa,,karena saya lebih bisa berkontribusi lewat hal itu..
    hoho..

    ReplyDelete
  5. Kan itu kata-kataku buat Tegar, Sen. Kalau kubilang buat Senior Arbi mah, kira-kira seperti yang Senior bilang tapi ada tambahan kata jinuin setelah kata sotoshop, hoho..

    ReplyDelete
  6. sopwer jinuin mahal..
    btw,,windows dian emang jinuin ya?!

    ReplyDelete
  7. so pasti..
    keep posting gan!!

    btw,,gw gag di kasih ijo ijo gan?!

    ReplyDelete
  8. ISOnya belum dapet gan, nanti aja yak...

    ReplyDelete