Sunday 29 November 2009

Catatan Sebuah Tugu

Medio 2008

Aku sangat mengapresiasi inisiatif dari Pemda (pemerintah daerah) yang akan mendirikan sebuah tugu di perempatan Rawapanjang Bekasi. Posisinya sangat strategis, terletak di sebuah lahan petak kecil berbentuk segitiga sembarang, tak lebih dari 10 m2 yang menjadi perlintasan kendaraan dari Bekasi menuju Jakarta. Aku baru saja beranjak dari rumah menuju kampus dengan sepeda motor, ketika itu pertama kalinya aku melihat para pekerja bangunan mendirikan dasar-dasar pondasi dari bata dan semen. Mungkin nantinya digunakan untuk menyangga tugu tersebut. Disekeliling tugu telah disiapkan berbagai macam rerumputan dan tanaman hias serta tak lupa patok-patok pagar untuk melindungi tugu dari ulah para vandalist. Sembari mengenderai sepeda motor, pikiranku pun melayang, membayangkan kira-kira tugu apa yang akan dibangun dilahan itu.

Di Jakarta ada berbagai macam tugu untuk memperingati peristiwa-peristiwa penting di negeri ini. Ada tugu proklamasi yang mengingatkan kita akan peristiwa pembacaan teks proklamasi oleh dua orang proklamator. Lalu ada tugu selamat datang (patung selamat datang bunderan HI-red-) yang membawa kita pada sebuah momen di awal tahun 60-an ketika Indonesia membangun tugu tersebut untuk menyambut para tamu dari negara asia peserta Asian Games.

Itu tugu-tugu yang kutahu berada di Indonesia, sedangkan di luar Indonesia ada beberapa tugu yang cukup masyhur. Tugu Liberty (patung Liberty) lambang kebebasan dan Hak asasi di Amerika Serikat (ingat..! hanya di Amerika serikat loh). Lalu tugu Arc de Triomphe (Bahasa Indonesia:Gapura Kemenangan) tugu di Paris yang berdiri di tengah Place de l'Étoile, di ujung barat Champs-Élysées yang dibangun atas perintah Napoleon Bonaparte dengan tujuan untuk menghormati tentara kebesarannya. Tugu Eiffel (haha.. agak maksa sebenernya, tapi tak apalah), dan tugu-tugu lainnya.

Teeet..! Sebuah klakson mobil membuyarkan lamunanku. Langsung kubanting stang menghindari laju mobil dari arah berlawanan, sempat kesal karena mobil itu hampir menabrakku, seenaknya saja dia mengambil jalurku. namun segera kusadari ternyata motorku yang mengambil jalurnya. hehe.. nampaknya keasyikan melamun membuatku kehilangan konsentrasi. Tak penting juga sebenarnya berpikir tugu apa yang akan didirikan disana, karena kini sebuah tugu seringkali hanya dijadikan sebuah simbol beku tanpa makna. Seringkali dingin tanpa sebuah nilai dan makna yang dapat diresapi kehangatannya, padahal disitu substansinya. halah.. sok berfilosofi, sudahlah kendarai saja motor ini dan segera sampai di kampus tepat waktu dan segera kupercepat laju kendaraan.

---
Akhir-akhir 2009
Yap, Untuk kesekian kalinya, aku keluar kantor menjelang maghrib. Disini aku harus memilih, apakah menunggu waktu maghrib yang berarti itu masih sekitar 20 menit lagi, atau langsung menuju halte bus menunggu kendaraanku datang yang itu berarti aku harus singgah dulu nantinya untuk sejenak mencari mushola dan menunaikan sholat Maghrib. Setelah menimbang, mengingat, menimbang, mengingat akhirnya aku memutuskan untuk menunggu waktu maghrib dulu. Agak malas sebenarnya untuk singgah dulu ke tempat lain untuk menunaikan sholat maghrib, selain karena rumitnya turun naik kendaraan, waktu maghrib yang singkat terkadang tak bersahabat dengan para komuter yang akrab dengan kemacetan dan waktu yang ngaret, bisa-bisa malah waktu maghrib terlewat. baiklah,kuputuskan maghrib dulu, baru berangkat.

Kutunaikan sholat maghrib, yang ternyata lebih memberikan ketenangan ketika kini akan berangkat, meskipun saat sholat tadi hatiku seringkali tak tenang, ada saja yang teringat, ya kerjaan itulah, urusan si inilah, dan sebagainya. Aneh, padahal seharusnya ketika sholat hati kita menjadi tenang bukan justru saat selesai sholat. karena ketenangan saat selesai sholat patut dipertanyakan, tenang karena lega telah menunaikan kewajiban, atau tenang karena mendapatkan kekhusyukan?. Ya begitulah, problem yang harus terus kubenahi dari diri.

Akupun berangkat dan menunggu bus di halte depan kantor. Selang beberapa lama akhirnya bus itu muncul juga. Ku berlari lari kecil karena bus itu tak berhenti lama. Didalam bus penuh dengan penumpang yang sejenis denganku, yup siapa lagi selain komuter, kualihkan pandang ke sekeliling bus dan kusadari tak ada bangku yang tersisa. Kusibakkan tanganku mencoba meraih besi pegangan di langit-langit bus. dan kuputuskan untuk menikmati suasana ini sebisa mungkin (baca:tidur), argh..! cukup sulit ternyata untuk nyaman dengan kondisi seperti ini.

Bus ku berlari dan melesat secepat kilat, wussh..
ups.. ternyata itu hanya dalam angan (sebuah usaha untuk menghibur diri). Karena sebenarnya kemacetan menjadi teman yang menemani.. argh.. cukup lama ku berdiri di dalam bus sebelum akhirnya aku mendapat kursi untuk duduk setelah bus ini sampai di gerbang tol bekasi barat dan beberapa penumpang turun. ah.. leganya, akhirnya bisa meregangkan tangan dan kaki.

Ba'da penumpang yang turun di Tol bekasi barat, suasana perjalanan menjadi lancar tak sepadat di daerah semanggi dan cawang. Bus ku pun melaju kencang hingga perempatan lampu merah Rawa panjang. Di sana aku teringat kejadian kira2 setahun yang lalu, saat ku membayangkan sebuah tugu yang baru akan di buat diperempatan ini. kini proyek pembangunan itu sudah selesai dilaksanakan, dan telah berdiri tegak sebuah tugu di tempat itu.

Sebenarnya aku sedikit kecewa dengan bentuk dan struktur bangunannya. Ekspektasiku terlalu tinggi terhadap bangunan yang akan dibangun itu. Ternyata tak ada sebuah maksud dan tujuan luar biasa dari proyek pembangunan itu. Tak ada nilai, makna dan maksud sejarah yang akan disampaikan. Sederhana, sekedar mendirikan bangunan yang digunakan oleh sebuah produk minyak goreng untuk memasarkan produknya. sebuah botol minyak goreng raksasa yang bertuliskan "sunco".

ah..Padahal tempat itu sangat cocok untuk menjadi sebuah simbol yang dapat mengantarkan siapapun yang melihatnya pada sebuah momen, peristiwa, nilai, ataupun sejarah dari leluhur bangsa ini, atau setidaknya perjuangan rakyat Bekasi. Karena kuyakin, bangsa ini masih sangat butuh diingatkan, karena bangsa ini seringkali lupa. Lupa kalau dulu pernah dikekekang dalam tirani Orde baru tapi kini dengan mudahnya memaafkan dan merelakan kesalahan mereka, lupa kalau masih ada koruptor yang bebas tertawa dan lebih suka menonton lakon Cicak vs Buaya. Dan akupun lupa bahwa aku baru saja melewati daerah setia kawan yang berarti sudah terlalu jauh dari tempatku seharusnya turun.. argh.. kebanyakan melamun, beginilah jadinya.

'Sunco' Lebih bening lebih bermutu..

11 Dzulhijjah, ditulis dengan memori-memori yang tersisa

Friday 27 November 2009

Warna warni Ironi Ibukota

Ya ya, hari-hari ku kini adalah hari-hari komuter. Pria angkatan 66 kalau dulu temanku menyebutnya. Berangkat jam 6 (pagi) pulang jam 6 (sore) (walau kerap kali kurang dari jam 6 pagi untuk berangkat, dan pulang lebih dari jam 6 sore). Sesuatu yang berat untuk dibayangkan, terlebih ketika dilakukan. Setiap hari diawali dengan gumaman ketidakpuasan tidur semalam, "ah kenapa sudah pagi lagi, ah kenapa sudah mau berangkat lagi" dan gumaman yang lain.

Tapi setidaknya tidurku yang tak terpuaskan bisa dilampiaskan ketika berada di angkutan umum menuju kantor. Jadi untuk masalah tidur tak terlalu masalah, karena bisa dikompensasi tidur di angkutan umum. Tapi tidak untuk pulang kantornya, karena seringkali banyak hal yang menjadi perhatianku dan itu sewaktu-waktu menyiksa hati.

Rata-rata tiap harinya aku menghabiskan 4 jam yang dialokasikan untuk berangkat dan pulang kantor. Kantorku terletak di daerah thamrin, daerah yang dikelilingi oleh gedung-gedung pencakar langit nan megah. 2 jam perjalanan pergi tak terlalu menyimpan banyak arti bagiku, karena seperti yang kutulis di atas, saat berangkat kantor adalah saatnya melampiaskan waktu tidur yang tidak cukup. tapi 2 jam perjalanan pulang menyimpan banyak hikmah.

Aku keluar kantor pukul 6.30 malam. Menunggu beberapa saat ketika bus yang biasa kunaiki muncul dari kerumunan kendaraan. Sembari melambaikan tangan, aku berlari mengejar bus yang tak berhenti lama. lamat-lamat kuhelakan nafas, nampaknya aku harus biasakan untuk berolahraga lagi, lari sedikit saja nafasku sudah tersengal-sengal. Dan akupun duduk sembari mengatur nafas.

Kala itu gedung-gedung memancarkan sinarnya, kerlap kerlip nya menyita banyak perhatian orang yang berlalu lalang di sepanjang jalan Thamrin, si miskin, si kaya semuanya tanpa terkecuali. Tak berapa lama, lampu lalu lintas di daerah bunderan HI memberi tanda merah. Semua kendaraan berhenti, sesekali beberapa pengendara motor melirik ke kanan kirinya, memastikan kehadiran aparat disekelilingnya, wah ternyata ada, niatan untuk menerobos lampu merah diurungkan. hal yang dilakukan untuk sekedar menghindari sanksi dari polisi yang berdiri tegak ditengah jalan.

Mobil-mobil mewah pun tanpa terkecuali turut berhenti. Yang tadi berlalu lalang kencang mengangkut segelintir orang berpakaian indah dengan segala gadget yang mereka miliki, yang kutatap mereka dibalik jendela usang Bus patas yang kunaiki. Disaat bersamaan, kulihat seorang peminta-minta menengadahkan tangannya meminta sejumput rizki dipinggir jalan, tepat disamping mobil mewah itu. Tak ada perhatian dari si empunya mobil, mereka tetap asik dengan segala gadget dan kegirangan perjalanan mereka. Perjalananku pun berlanjut meninggalkan si peminta dengan segala bayang-bayang kelaparan.

Ingin segera kupejamkan mata tapi apa daya, mataku tak sependapat dengan tuannya. Ia tanpa lelah mengedarkan pandangnya ke lingkungan sekelilingnya, seolah tak puas hanya disajikan sedikit pemandangan ironi di lampu lalu lintas tadi. waktu menunjukkan pukul 7 malam, bus yang kunaiki kini sedang melintasi jalan sudirman. Di sepanjang trotoar kulihat beberapa warung makan instan masih beroperasi, kadang ada kadang tidak, tergantung jadwal penertiban dari satpol PP. dan sesekali kulihat penjaja minuman hangat dengan sepedanya mengayuh sepanjang trotoar. Kucoba melihat raut wajah mereka yang ternyata memancarkan kegembiraan, terlihat dari kayuhan sepeda mereka yang semangat layaknya seorang anak kecil yang baru bisa mengendarai sepeda. Walaupun terkadang wajah gembira itu tak memberi apa-apa bagi perut mereka.

Bus ku sedikit terhambat diperlintasan semanggi. Bus yang berjalan lambat segera dimanfaatkan seorang pengamen jalanan untuk naik menyajikan sedikit hiburan bagi khalayak penumpang. Ia terlihat merapihkan diri, dan mengaitkan seutas tali yang mengikat gitar dibahunya. Suara senar-senar gitar berbunyi, belum ada nada indah yang terdengar, nampaknya si pengamen masih sibuk dengan stem-an gitarnya. Dan kini nampaknya ia telah siap, ia segera memulai aksinya dengan kata-kata pembuka khas pengamen jalanan. Jreeng
dan ia pun mulai bernyanyi. Wow.. Tak disangka suaranya sungguh indah. Perawakannya mirip dengan Aris si juara Indonesian idol walau ia sedikit tinggi. dengan jaket kulit serta jeans yang sudah agak lusuh ia bernyanyi. Ya, suaranya sedikit memberikan kenyamanan bagiku, hingga akupun terlelap.

Tak disadari, akupun telah sampai di pintu gerbang Tol Bekasi Barat. Mataku masih sedikit terpejam menyimpan rasa kantuk yang masih tersisa. kurenggangkan tubuhku yang berderak berbunyi. ah.. sedikit kurasakan kesegaran di tubuhku. dan akupun memandang ke sekeliling bus, dari kursi paling belakang, kulihat hanya tersisa beberapa penumpang. Tanganku merogoh tas ransel kesayanganku, mencari-cari air mineral yang selalu kubawa. ah.. kembali kesegaran menjalari tubuhku.

Bus ku berjalan melintas cepat hingga perempatan Rawapanjang, Bus ku berhenti disana, tertahan oleh lampu lalu lintas. kupandangkan mata keluar jendela dan kulihat masih banyak orang yang berlalu lalang, beberapa komuter sepertiku dan beberapa lagi pengamen jalanan. Diantara mereka kulihat anak-anak kecil berusia sekitar 7-8 tahun. mereka terlihat membawa sebuah gitar dan ada yang membawa botol minuman mineral yang diisi beras sebagai instrumen musik. Mereka berlari lari kecil berkejaran di tengah lampu merah. tak terlihat raut kesedihan di wajah mereka, wajah mereka layaknya anak-anak kecil seumur mereka yang penuh keriangan masa kecil. Tak menjadi masalah bagi mereka hidup dalam kondisi yang berbeda dengan anak seumurannya, yang masih disuapi orang tua, diajak bermain disekolah, dan diberi mainan mewah. Bagi mereka mungkin ini hidup yang wajar, mereka telah terbiasa hidup di tengah kerasnya jalanan. ah.. seandainya mereka tau bahwa negara mereka menjamin setiap jengkal hidup mereka, anak2 terlantar dan orang miskin ditanggun negara. Tapi apakah itu berarti banyak ketika mereka tau bahwa pejabat2 negara ini menjamin mereka? entahlah, aku tak yakin itu, mengurusi diri sendiri saja sulit, apalagi mengurus anak2 terlantar. aku masih sangsi dengan para pejabat negeri ini, mereka belum selesai dengan diri mereka.

Dan akupun sampai di tempatku turun dari bus patas yang membawaku. Berulang kali, tiap malam hari selepas pulang dari kantor, pemandangan-pemandangan itu yang tersaji. kadang mengundang hikmah, dan kadang mengundang kekesalan. Tapi kuharus terbiasa dengan itu, toh tak ada yang bisa kulakukan, selain menahan amarah dan bersabar melihat realita ironi ibukota. Ya, memang, ku harus terbiasa.

- Bekasi, 10 Dzulhijjah-