Friday 27 November 2009

Warna warni Ironi Ibukota

Ya ya, hari-hari ku kini adalah hari-hari komuter. Pria angkatan 66 kalau dulu temanku menyebutnya. Berangkat jam 6 (pagi) pulang jam 6 (sore) (walau kerap kali kurang dari jam 6 pagi untuk berangkat, dan pulang lebih dari jam 6 sore). Sesuatu yang berat untuk dibayangkan, terlebih ketika dilakukan. Setiap hari diawali dengan gumaman ketidakpuasan tidur semalam, "ah kenapa sudah pagi lagi, ah kenapa sudah mau berangkat lagi" dan gumaman yang lain.

Tapi setidaknya tidurku yang tak terpuaskan bisa dilampiaskan ketika berada di angkutan umum menuju kantor. Jadi untuk masalah tidur tak terlalu masalah, karena bisa dikompensasi tidur di angkutan umum. Tapi tidak untuk pulang kantornya, karena seringkali banyak hal yang menjadi perhatianku dan itu sewaktu-waktu menyiksa hati.

Rata-rata tiap harinya aku menghabiskan 4 jam yang dialokasikan untuk berangkat dan pulang kantor. Kantorku terletak di daerah thamrin, daerah yang dikelilingi oleh gedung-gedung pencakar langit nan megah. 2 jam perjalanan pergi tak terlalu menyimpan banyak arti bagiku, karena seperti yang kutulis di atas, saat berangkat kantor adalah saatnya melampiaskan waktu tidur yang tidak cukup. tapi 2 jam perjalanan pulang menyimpan banyak hikmah.

Aku keluar kantor pukul 6.30 malam. Menunggu beberapa saat ketika bus yang biasa kunaiki muncul dari kerumunan kendaraan. Sembari melambaikan tangan, aku berlari mengejar bus yang tak berhenti lama. lamat-lamat kuhelakan nafas, nampaknya aku harus biasakan untuk berolahraga lagi, lari sedikit saja nafasku sudah tersengal-sengal. Dan akupun duduk sembari mengatur nafas.

Kala itu gedung-gedung memancarkan sinarnya, kerlap kerlip nya menyita banyak perhatian orang yang berlalu lalang di sepanjang jalan Thamrin, si miskin, si kaya semuanya tanpa terkecuali. Tak berapa lama, lampu lalu lintas di daerah bunderan HI memberi tanda merah. Semua kendaraan berhenti, sesekali beberapa pengendara motor melirik ke kanan kirinya, memastikan kehadiran aparat disekelilingnya, wah ternyata ada, niatan untuk menerobos lampu merah diurungkan. hal yang dilakukan untuk sekedar menghindari sanksi dari polisi yang berdiri tegak ditengah jalan.

Mobil-mobil mewah pun tanpa terkecuali turut berhenti. Yang tadi berlalu lalang kencang mengangkut segelintir orang berpakaian indah dengan segala gadget yang mereka miliki, yang kutatap mereka dibalik jendela usang Bus patas yang kunaiki. Disaat bersamaan, kulihat seorang peminta-minta menengadahkan tangannya meminta sejumput rizki dipinggir jalan, tepat disamping mobil mewah itu. Tak ada perhatian dari si empunya mobil, mereka tetap asik dengan segala gadget dan kegirangan perjalanan mereka. Perjalananku pun berlanjut meninggalkan si peminta dengan segala bayang-bayang kelaparan.

Ingin segera kupejamkan mata tapi apa daya, mataku tak sependapat dengan tuannya. Ia tanpa lelah mengedarkan pandangnya ke lingkungan sekelilingnya, seolah tak puas hanya disajikan sedikit pemandangan ironi di lampu lalu lintas tadi. waktu menunjukkan pukul 7 malam, bus yang kunaiki kini sedang melintasi jalan sudirman. Di sepanjang trotoar kulihat beberapa warung makan instan masih beroperasi, kadang ada kadang tidak, tergantung jadwal penertiban dari satpol PP. dan sesekali kulihat penjaja minuman hangat dengan sepedanya mengayuh sepanjang trotoar. Kucoba melihat raut wajah mereka yang ternyata memancarkan kegembiraan, terlihat dari kayuhan sepeda mereka yang semangat layaknya seorang anak kecil yang baru bisa mengendarai sepeda. Walaupun terkadang wajah gembira itu tak memberi apa-apa bagi perut mereka.

Bus ku sedikit terhambat diperlintasan semanggi. Bus yang berjalan lambat segera dimanfaatkan seorang pengamen jalanan untuk naik menyajikan sedikit hiburan bagi khalayak penumpang. Ia terlihat merapihkan diri, dan mengaitkan seutas tali yang mengikat gitar dibahunya. Suara senar-senar gitar berbunyi, belum ada nada indah yang terdengar, nampaknya si pengamen masih sibuk dengan stem-an gitarnya. Dan kini nampaknya ia telah siap, ia segera memulai aksinya dengan kata-kata pembuka khas pengamen jalanan. Jreeng
dan ia pun mulai bernyanyi. Wow.. Tak disangka suaranya sungguh indah. Perawakannya mirip dengan Aris si juara Indonesian idol walau ia sedikit tinggi. dengan jaket kulit serta jeans yang sudah agak lusuh ia bernyanyi. Ya, suaranya sedikit memberikan kenyamanan bagiku, hingga akupun terlelap.

Tak disadari, akupun telah sampai di pintu gerbang Tol Bekasi Barat. Mataku masih sedikit terpejam menyimpan rasa kantuk yang masih tersisa. kurenggangkan tubuhku yang berderak berbunyi. ah.. sedikit kurasakan kesegaran di tubuhku. dan akupun memandang ke sekeliling bus, dari kursi paling belakang, kulihat hanya tersisa beberapa penumpang. Tanganku merogoh tas ransel kesayanganku, mencari-cari air mineral yang selalu kubawa. ah.. kembali kesegaran menjalari tubuhku.

Bus ku berjalan melintas cepat hingga perempatan Rawapanjang, Bus ku berhenti disana, tertahan oleh lampu lalu lintas. kupandangkan mata keluar jendela dan kulihat masih banyak orang yang berlalu lalang, beberapa komuter sepertiku dan beberapa lagi pengamen jalanan. Diantara mereka kulihat anak-anak kecil berusia sekitar 7-8 tahun. mereka terlihat membawa sebuah gitar dan ada yang membawa botol minuman mineral yang diisi beras sebagai instrumen musik. Mereka berlari lari kecil berkejaran di tengah lampu merah. tak terlihat raut kesedihan di wajah mereka, wajah mereka layaknya anak-anak kecil seumur mereka yang penuh keriangan masa kecil. Tak menjadi masalah bagi mereka hidup dalam kondisi yang berbeda dengan anak seumurannya, yang masih disuapi orang tua, diajak bermain disekolah, dan diberi mainan mewah. Bagi mereka mungkin ini hidup yang wajar, mereka telah terbiasa hidup di tengah kerasnya jalanan. ah.. seandainya mereka tau bahwa negara mereka menjamin setiap jengkal hidup mereka, anak2 terlantar dan orang miskin ditanggun negara. Tapi apakah itu berarti banyak ketika mereka tau bahwa pejabat2 negara ini menjamin mereka? entahlah, aku tak yakin itu, mengurusi diri sendiri saja sulit, apalagi mengurus anak2 terlantar. aku masih sangsi dengan para pejabat negeri ini, mereka belum selesai dengan diri mereka.

Dan akupun sampai di tempatku turun dari bus patas yang membawaku. Berulang kali, tiap malam hari selepas pulang dari kantor, pemandangan-pemandangan itu yang tersaji. kadang mengundang hikmah, dan kadang mengundang kekesalan. Tapi kuharus terbiasa dengan itu, toh tak ada yang bisa kulakukan, selain menahan amarah dan bersabar melihat realita ironi ibukota. Ya, memang, ku harus terbiasa.

- Bekasi, 10 Dzulhijjah-
 

5 comments: