Monday 6 October 2008

Seputar Materialis Spirituality

Fakta yang kini ada menunjukkan perkembangan baru dalam gaya hidup komunitas perkotaan. Terutama bagi masyarakat kelas atas yang saat ini banyak memainkan peran sentral dalam kehidupan kota besar. Tak hanya mengagungkan aspek materialistis yang lazim dikalangan mereka tapi juga sisi-sisi spiritualitas yang kini berkembang. Mungkin momen Idulfitri dan juga Ramadhan dapat menjadi sandaran dalam melihat fenomena ini.

Tengoklah suasana yang muncul bersamaan dengan datangnya Ramadhan. Berbondong-bondong seluruh lapisan masyarakat menyambutnya. Tak ketinggalan masyarakat kelas atas pun menyambut datangnya bulan suci ini. Terlebih lagi stakeholder yang berkepentingan dalam dunia kelas atas. Para investor, pelaku pasar, dan pemodal yang berlomba menggaet masyarakat perkotaan untuk menggunakan produk mereka. Dengan media yang menjadi ujung tombak, mereka berupaya mencitrakan ramadhan yang penuh dengan materi dan hedonisme kehidupan.

Ramadhan tak lagi dilihat sebagai wasilah dalam meraih kesempurnaan spiritual. Seperti yang umumnya dilakukan dibulan ini. Tapi justru sebaliknya, trend yang ada memperlihatkan bahwa komunitas ini (baca:masyarakat kelas atas) digiring untuk meng-idealkan diri dalam standar materialistik. Memang hal ini tak kentara terlihat ketika ramadhan. Paling umum hanya menggambarkan ramadhan yang penuh dengan makanan mewah dan lezat. Namun, mari kita refleksikan bersama suasana idul fitri yang lalu. Mungkin momen idul fitri lebih jelas dalam memperlihatkan trend ini.

Idul fitri diidentikan dalam aura materialistis. Baju baru, sajadah baru, kendaraan baru dan berbagai materi yang dapat diindrai. Momen ini tak lagi dijadikan standar bagi terbentuknya insan baru yang telah melewati tahapan proses spiritual. Akan tetapi, ia hanya dijadikan sarana bagi komunitas ini (baca: kelas atas) mengklaim diri telah mencapai tahap peak experience spirituality (kondisi puncak penghayatan spiritual). Yang sekonyong-konyong justru menempatkan diri mereka dalam posisi pseudo spirituality (kondisi spiritual semu).

Pseudo spirituality hakikatnya adalah disonansi yang terjadi saat sisi spiritual dihayati melalui sisi material. Ia (baca:sisi spiritual) tak lagi dihayati sebagai sesuatu yang metafisik namun telah dimaknai sebagai sesuatu yang indrawi. Metafisik yang berarti melebihi kemampuan fisik dalam merespon kondisi sekitar, merupakan penghayatan dari sisi spiritual yang dibutuhkan untuk membangun kondisi puncak penghayatan spiritual (peak experience spirituality). Maka tak heran puasa yang notabene melatih sisi spiritual kita, dapat dijadikan sarana untuk melatih diri dalam mengontrol aspek indrawi yang dimiliki manusia.

Berkat proses metafisik yang tak lagi dijadikan landasan dalam menggapai kondisi genuineness spirituality (kondisi spiritual murni). Dimana ia merupakan buah dari peak experience spirituality, tak pernah menyambangi para materialis spirituality (proses spiritual para pengagum materi). Yang dikhawatirkan menjadi status baru bagi para masyarakat kelas atas.

Kondisi ini akan terus bertahan selama tatanan yang menyusun masyarakat terutama kelas atasnya masih memiliki paradigma yang semu pada sisi spiritual. Yakni para pelaku pasar, investor, dan pemodal yang memiliki peranan besar dalam hal ini. Memang tak patut pula kita menyalahkan para pemegang kunci-kunci keuangan seperti mereka. Karena bisa saja disebabkan hal-hal tertentu yang menjadi variable sekunder akan hal ini. Namun, kenyataan yang kini ada menunjukkan keselarasan dengan hipotesis penulis.

Sehingga nantinya mungkin saja masyarakat kelas atas tak lagi dapat merasakan nikmatnya genuinennes spirituality. Dan justru terjebak dalam status baru mereka sebagai materialis spirituality.

4 comments:

  1. waw berat sekali ,,, sekedar sudut pandang dari orang non-psikologi .... : tapi masyarakat islam yang kubayangkan ada orangnya yang kaya2 & modern , sehingga mobil alphard aja udah biasa dilihat, sejahtera2, zakat dijadikan sumber untuk pembangunan negara dan pemberdayaan masyarakat yang memerlukan bantuan, dan itu keluar dari kantong2 muslimin yang kaya2 tersebut ,,, termasuk ketika lebaran pakaian baru, bahkan mobil baru pun biasa, tapi org2 kaya tersebut juga memberikan hal tersebut kepada yang membutuhkan ,,, akan tetapi pada malam hari mereka bermunajat kepada Allah, sholat mereka selalu tegak, kepedulian dan kekeluargaan mereka selalu terjalin, apakah berarti aku sudah termasuk materialis spirituality ,,, ? ketika kondisi spiritual yang sejati dimaknai sebatas penghayatan apakah ia tidak dapat wujud / di-artikulasikan dalam bentuk kemajuan materi atau malah kalo begini dibilang semu / pseudo)?? atau minimal ada korelasi-nya, karena memang seharusnya iman itu ilmu dan amal -hati, lisan dan perbuatan- , fikrah itu menggerakkan manusia, sholat aja salah satu tujuannya tanha anil fahsya'i wal munkar ,,, ?
    kalau hanya seperti yang pertama (penghayatan saja) maka spiritual-based value ataupun religion memang tak sebaiknya masuk ke ranah publik apalagi peradaban,, karena hanya menjadi candu aja ,,,
    bukankah harus syariat dulu baru makrifat dan hakikat, artinya harus ada perbuatan dahulu, dan syariat ternyata tidak hanya ritual tapi mengatur tentang materi dan bagaimana kita memperlakukannya ,,, maka bagaimana sikap seorang muslim berhadapan dengan materi menurutku juga merupakan ukuran bagi spiritualitasnya ,,,

    ReplyDelete
  2. Overgeneralisasi ah..

    Seolah-olah mereka yang Abang katakan sebagai "masyarakat kelas atas" segitu cemennya. Seolah-olah bahwa "masyarakat kelas atas" puasa-puasaan, sementara "masyarakat nonkelas atas" puasa beneran.
    Seolah-olah baju baru adalah dominasi "masyarakat kelas atas".

    Jangan gitulah Bang. Hati orang siapa tau..
    Lagipula, peluang cari duit kan sayang kalo ngga dimanfaatin. Emang sih mesti dilurusin. Nah dalam upaya pelurusan itu, Abang dimana? Saya dimana? Jangan-jangan baru bisa kritik setelah terlanjur basah.

    Lagipula, tulisan ini idenya kebanyakan Bang. Definisi "masyarakat kelas atas"nya masih kabur. Jadi sepertinya kurang fokus.

    Tapi biar gimana, Abang cakep deh..
    :p

    ReplyDelete
  3. iya setuju....
    emang siapa kita yang berhak menilai keimanan seseorang?

    its better being constructive than deconstructive..
    just change.. being better.. and let someoneelse follow u..
    follw ur good step ofcourse

    ReplyDelete
  4. wah...banyak juga yang komen ya...
    beberapa hari ini koneksi internet di kampus naek turun, jadi baru bisa OL lagi sekarang..
    hm..tulisan ini sebenarnya hanya sekedar hasil observasi dari penulis yang masih amatir dalam melihat fenomena..
    jadi yah..mohon dimaklumi lah bila banyak kejanggalan di hati dan pikiran para pembaca...
    tapi salut atas kritikannya...

    ReplyDelete