Sunday 27 January 2013

Wanita - Tak Tergapai

Butuh waktu lama bagi Rizka untuk menyadari bahwa tinggal menyisakan beberapa menit lagi sebelum Anton bertandang ke rumahnya. Dilihatnya kembali diri yang nampak mematung di depan cermin. Kini ia bak supermodel, rambut lurus tergerai, eye shadow, gincu merah muda, dan polesan bedak putih yang kini nampak agak menebal.

Diusapnya kembali wajahnya untuk meratakan bedak yang terlihat menumpuk di beberapa sisi. Ia pun menatap kembali wajahnya di depan cermin yang mulai bosan dengan tingkah laku Rizka. Tak puas, ia pun kembali memoles beberapa sisi wajahnya dengan bedak putih yang dirasanya belum menutupi beberapa flek hitam yang mulai bermunculan di bawah kelopak mata.

Ia terdiam sesaat, menyadari betapa menyedihkannya orang yang kini berdiri di depan cermin. Pontang panting tuk sekedar mendapatkan apa yang sedari dulu ia anggap sesuatu yang mudah. Lihat dirinya, Wanita cantik paruh baya dengan senyuman manis layaknya Dian Sastro, dan tatapan mata teduh si cantik Zaskia Mecca.

Tak ada yang kurang darinya, postur tinggi badan semampai dengan kesehatan yang prima. Terlahir dari keluarga terpandang anak dari pejabat di salah satu perusahaan milik negara. Pesona dirinya pun makin lengkap dengan berbagai titel yang nampak elegan tersandang di depan dan belakang namanya, Prof. Dr. dr. Rizka Aziza, Sp.BP.

Ah tidak, 10 menit lagi. Ia pun segera mengganti daster yang dipakainya sedari pagi dengan gaun indah pemberian Anton. Tapi tunggu, dimana gaunnya kini? ia pun berdesis keluh, ah sial, kamarku seperti kapal pecah. Handuk dan pakaian bekas pakai kemarin, masih tergeletak di atas kasur dengan selimut dan bantal tak karuan. Terlihat pula beberapa alat kosmetik, sendal, dan hair dryer masih teronggok tak jelas di atas lantai.

Dibukanya lemari pakaian yang masih menyisakan beberapa pakaian layak pakai. Duh, terserah lah. Ia pun asal mengambil beberapa helai pakaian, rok panjang berwarna hitam dipadu blouse berwarna pink. Dipakainya dengan tergesa, dan simsalabim, 20 menit persiapan yang penuh kekacauan. Semoga kali ini tak seperti cerita yang sudah-sudah.

--

 "Rizkaa.. Anton sudah datang, cepat turun nak.."
Suara seorang wanita terdengar lantang dari bawah. Mama yang selalu mengeluhkan atas segala yang sudah Ia lakukan.
"nduk..mbok jadi perempuan itu jangan terlalu ngoyo, biasa aja, sudahlah, cukup sampai disini. sekarang fokus untuk yang lain."
Sedari dulu, bahkan sejak ia melanjutkan ke tingkatan strata tiga. Nasihat sang ibu tak lebih dari angin lalu yang sekedar menjadi ketakutan sesaat para orang tua. Tak ada yang perlu dikhawatirkan, Ia cantik, terpandang dengan segala keindahan seorang wanita yang berkumpul anggun pada dirinya. Tak sulit tuk sekedar mencari lelaki, kerlingan mata sesaat pada sang Adam cukup membuat pria manapun bertekuk lutut di hadapannya. Jadi tak ada alasan tuk takut.

Ia makin asyik dengan dunianya. Gelar akademis tertinggi dari universitas ternama. Guru besar dengan spesialisasi di bidang kedokteran yang mumpuni. Ia kini tinggi, hingga tak sanggup lagi tergapai oleh siapapun. Profesor cantik, Dokter pintar, terpandang dan dari keluarga kaya. Ah wanita mana yang mampu menyainginya kini. Sesaat setelah penganugerahan gelar guru besar, sesuatu nampak hinggap di hatinya, sesuatu yang kosong dan tak mampu dimaknai. Apalagi yang harus kukejar. Sorak sorai selamat dari rekan-rekan seprofesinya terasa hambar. Ia memasang wajah datar dengan tatapan nanar.
"Wah Rizka, selamat yaaa.."
dr. Rini sahabat baiknya datang dengan kedua putra yang lucu dan menggemaskan, di belakangnya nampak sang suami sedang menggendong anak ketiga mereka, putri kecil yang cantik.
"eh iya, makasih ya rin"
Satu per satu, rekan sejawat yang hadir dengan pasangannya masing-masing menyadarkannya akan satu hal. Mama, kau benar.

Wandi, Ridwan, Ali, Mike, orang-orang yang dulu hadir tanpa diminta oleh dirinya. Menyapanya tiap pagi, membawakan minuman untuknya ketika ia terduduk lelah di ruangan dosen. Mereka yang begitu perhatian pada dirinya. Sinyal-sinyal itu, ah untuk pertama kalinya, ia merasa sangat bodoh. Harusnya Ia tahu maksud itu. Tak ada sesuatu yang cuma-cuma, ada sebongkah harapan dari mereka terhadapnya. Tapi kini, setelah 10 tahun berjalan, satu per satu mereka mundur teratur. Dan kini disinilah ia berada, dalam relung angan-angan yang memuai, hilang dan lepas.

--

Anton, pria setengah abad dan perut buncit yang kerap kali menganggu pandangannya. Sorot mata sang ibu tak lagi dihiraukan oleh Rizka, sorot mata penuh harap yang seolah tak mempersoalkan lagi siapa yang kini hendak meminang putrinya.  
Sebegitu pasrahnya kah ibu? 
Dulu, Satu per satu lelaki tampan dan berpendidikan nampak memandang terlalu tinggi dirinya, Ia masih saja dianggap tak tergapai. Padahal Aku dengan senang hati menerima. Tapi kenapa, Ada apa dengan kalian?? 
Anton memang bukan yang pertama, dan pastinya, setelah ia memandang kembali pada sosok pria tua dihadapannya. Ia berketetapan hati, Kau bukan yang terakhir.
nampak gurat kekecewaan dari wajah sang ibu.

No comments:

Post a Comment