Monday, 21 January 2013

Move On



Sesekali ku melihat laman profilenya kembali. Tak sering, hanya saat dunia ini kurasa begitu sempit. Ah bodohnya aku, keadaan takkan mengubah apapun. Ia, kenangan itu, dan berbagai lakunya. Suatu kali terasa sangat manis, namun tak sedikit pula rasa pahit menghinggap, kadang-kadang candanya menyakitkan tapi sedetik itu pula Ia bergegas menghiburku dengan tingkah konyolnya. Ah, masa-masa itu.

Waktu berlalu cepat, pukul dua dini hari dan belum satupun paperku tersentuh. Ah..padahal besok paper ini harus dikumpulkan. Kuhela nafas dan sejenak kumatikan laptop yang semalaman ini menjelajah laman facebooknya. Suara kursi yang berdecit, terdengar jelas dikeheningan malam. Akupun beranjak pergi, berjalan menjauhi meja kerja yang penuh dengan kertas dan buku-buku tebal. Air wudhu akan menenangkanku.

Gemericik suara air berjatuhan menyeka dan membasuh wajahku, telinga, tangan, dan kaki. Kamar besar dengan fasilitas nomor wahid, kantorku memang royal. Padahal jarak dengan tempat tinggalku tak seberapa jauh. Beberapa kali ku memaksa Pak Idris untuk membiarkanku pulang dan tidak perlu menginap di hotel ini dan nampaknya usahaku tak berhasil. Dengan alasan efisiensi waktu dan jadwal kegiatan yang padat, maka disinilah kuberada, dalam Training yang tak jauh berbeda dari biasanya.

Kuambil baju kurung itu, mukena hijau pemberian ibu. Kusimpan dalam tas ransel yang sesekali kuperhatikan, ia terlihat kumuh, ternyata tas pemberiannya ini masih layak kusandang. Perlahan kupakai mukena yang menutupi rambutku. Kurapihkan beberapa rambut yang nampak keluar dari baliknya. Akupun bersiap untuk menghadap Tuhan, semoga ada sepercik ketenangan yang Ia berikan, Allahu Akbar.

----

“Tidak, bukan itu, tidak ada alasan apapun. Bukan karena kau, ini karena, karena bukan sekarang,”
“lalu apa karena keluargamu, kau lihat, aku sudah banyak berubah, ada yang berbeda dariku.”
Dan ia pun memandangku seolah tak ada lagi yang sanggup ia bantah. Jilbab yang kini menjulur panjang dan baju kurung itu.
“Tapi, ah..pokoknya kita pisah sekarang.”
Ia berlalu meninggalkanku.

---

“Allahu Akbar Allahu Akbar”
Suara adzan subuh membangunkanku dari bayangan itu, kejadian 15 tahun lalu. Kerap kali muncul di saat seperti ini. Kuperbaiki wudhuku dan segera ku kembali menghadapNya. Ya Rabb, kenapa bayangannya terus muncul, tak adakah cara melupakannya.
“sudahlah Din, tak ada guna kau mengingatnya terus, semua sudah terjadi dan saatnya kau berjalan pergi, meninggalkannya dalam kenangan”
“Kau bodoh, seolah tak ada lelaki lain di dunia ini”
“lihat lah Andi, kurang apa lagi, Seorang Direktur, tampan, walau duda, tapi perawakannya masih seperti bujangan.”
Serta beragam nasihat dari orang-orang terdekatku. Ada yang terus membujukku untuk melangkah lagi dengan jejak yang baru, dan ada yang terang-terangan menganggapku tolol karena terus mengingatnya. Mereka semua tak tahu, tak ada yang tahu  perasaanku.

Lamunan itu sedikit memperlambatku, jam di dinding kamar menunjukkan pukul setengah enam pagi. Akupun bergegas merapihkan sajadahku dan mukena yang nampak kusut setelah semalaman kupakai tidur. Segera ku rapihkan buku-buku di meja dan mulai menuliskan paper yang tertunda semalaman. Tak kupikirkan lagi bagus atau tidak paper yang kutulis ini, yang ada dipikiranku, Semoga hari ini ada sesuatu yang berbeda, dari info yang kudapat, pembicara kali ini seorang trainer yang menyenangkan. Desas-desus mengenai ketampanannya cukup membuatku tertarik dan menambah semangatku untuk mengikuti sesi training pagi ini. Semoga hari ini ada sesuatu yang berbeda.

--

“Baik rekan-rekan, tugas kalian harap dikumpulkan di meja depan” Panitia pun berjalan mengelilingi kelas, memperhatikan kami yang sibuk mengumpulkan paper ke meja depan. Akupun sedikit terhambat dengan peniti rusak yang lepas dari jilbabku. Setelah kukumpulkan paperku ke depan, akupun menyerah, Ah kuganti saja peniti ini, percuma jika kupaksakan, Akupun sibuk mencari dan merogoh tas ranselku, di saat sibuk mencari, kudengar sayup suara yang akrab di telinga. Suara itu.
“Selamat pagi mas dan mbak sekalian, Apa kabar hari ini..?? ah nampaknya masih belum focus, masih pada ngantuk ya? yuk kita stretching dulu, biar kita lebih semangat”
Dia. Itu dia.

--

Aku tahu, ia menyadari kehadiranku di ruangan ini. Tapi ah, seberapa keras kau berusaha, tatapan matamu takkan mampu menutupi kegelisahanmu. Akupun berusaha tenang, dan berlagak tak tahu akan kehadiranmu. Sesekali perasaan membuncah itu muncul, oh tidak, setelah 15 tahun lamanya dan perasaan itu tetap sama.

“Ibu Dina, ada yang mau ditanyakan tentang pembahasan di sesi ini?” ia memecah lamunan yang membuatku salah tingkah. “eh tidak, tidak ada Pak.” Ia pun tersenyum dan nampak melanjutkan kembali pembahasannya. Akupun mencoba fokus, tak boleh seperti ini. Ia telah hilang, telah pergi. Saatnya kau melangkah Din.

Sesinya pun berakhir, tak jelas apa yang kurasakan kini, antara kesal, benci, marah, dendam, rindu, ah semuanya teraduk di sini, dalam dada yang makin cepat berdetak. “Din, bisa kita bicara sebentar” ia memanggilku, kini tanpa panggilan Ibu.

Ia nampak serius menyiapkan diri untuk berbicara denganku. Rambutnya yang kini memutih dan berapa kerutan di dahi. Hal sama yang mungkin juga terjadi padaku. “maafkan aku, telah lama ingin kusampaikan langsung, tapi aku takut. Aku takut dan menyesal meninggalkanmu dengan sebuah harapan. Maafkan aku.”

Ketulusan nampak jelas berbicara dari binar matanya. Akupun tersenyum, dan entah kenapa dada ini kembali lapang. Semuanya nampak lepas dan terbebas. “iya,” dan akupun meninggalkannya, Terima kasih Tuhan. Mungkin ini jawabnya.

Love is trembling happiness.  - Kahlil Gibran

No comments:

Post a Comment