Friday 11 January 2013

Si Bungsu


Sembilan belas tahun lalu, pagi hari di bulan januari. Kala itu saya ingat persis, saya baru saja selesai sholat shubuh, dan itu di jam enam pagi. :p . Maklum, anak SD kelas 1 yang baru belajar sholat, masih tahap penyesuaian (banyak alesan). Selesai tahiyat terakhir, saya pun mendengar sayup-sayup suara ibu yang meringis, memegang perutnya yang membesar. “duh..sakit pa”, Ayahku dengan sigap menyadari kondisi ini, istrinya akan segera melahirkan anak ketiganya.

Dengan segera, ayah membawa ibu ke bidan terdekat, saat itu, syukur Alhamdulillah, jarak klinik bidan ke rumah kami sangat dekat, hanyak berjarak tidak lebih dari seratus meter, dekat sekali ya. Dan sayapun hanya melongo menyaksikan ibu yang menahan sakit, dan ayah yang membereskan perlengkapan melahirkan, padahal saat itu saya sedang ujian caturwulan (cawu) dua (dulu cawu, belum semester). Akhirnya, dengan merengek ingin menemani ibu, ayahpun meminta izin kepada wali kelas, agar saya dapat mengikuti ujian susulan beberapa hari lagi. Dan wali kelas sayapun menyetujui. Horay..

Bersama ayah dan adik, saya menunggu di sebuah rumah kecil tipe 36 yang disulap menjadi klinik bidan. Ruang tamu depan dirancang ulang menjadi ruang tunggu dan kamar-kamarnya menjadi bilik bagi pasien. Lama kami menanti, sejak pagi hari sampai menjelang sore. Kondisi ibu pun masih sama, di bilik pasien dengan suara nafasnya yang menggebu, sesekali terdengar suara si bidan yang meminta ibu menarik dan membuang nafas secara teratur.

Pukul tiga atau empat sore (saya agak lupa) di hari rabu, tangisan bayi yang keras membuat kami berucap syukur, terutama ayah yang sedari tadi nampak khawatir dengan kondisi ibu yang telah lama berada di bilik pasieen. Akhirnya ia lahir, bayi laki-laki dengan tatapan matanya yang bulat dan tajam. Dengan segera ayah mengambilnya dari tangan bidan dan mengadzankannya. Si adik laki-laki telah lahir.

--

Satu hal yang paling saya ingat tentang dirinya saat masih balita, terlalu nempel dengan ibu. Hehe. Iya betul, kemana saja ibu pergi, pasti dia selalu ikut, bahkan hingga menjelang SMP, tapi ah itu bagian kecil dari kelucuan dan kenangan yang tersimpan tentang dirinya. Saya ingat juga sedari bayi, selalu mencubit pipi gembulnya yang lambat laun makin menyusut, ternyata ia memiliki bakat kurus seperti ayah. Huhu.

Jenjang akademis sejak TK, SD hingga SMA dilaluinya di Bekasi. Dan dengan gayanya yang santai dan easy going membuatnya agak berbeda dengan abang serta kakaknya. Ia tak terlalu keras dalam belajar, tapi tak terlampau santai juga, tengah-tengah saja. Maka tak heran prestasi akademiknya pun biasa-biasa saja. Sedikit pengecualian ketika SMP yang terbilang sukses, termasuk salah satu siswa dengan Nilai ujian terbaik di SMP.

Ia orang yang supel dan gampang bergaul, emosinya pun tak terlalu meledak ketika marah, dan tak terlampau frustasi ketika sedih. Maka ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa ia dan adik sepupu saya yang seusia dengannya tidak lulus di SMA Negeri, kondisi mentalnya sedikit jatuh. Saat itu kebijakan dinas pendidikan kota Bekasi, mensyaratkan bahwa ujian masuk SMA dilakukan dengan tes dan hanya satu pilihan. Bila gagal dalam tes, maka dengan sangat terpaksa, harus mencari SMA lain (Baca: SMA Swasta).

Maka dengan nilai Ujian nasional yang sangat bagus dan keyakinan dalam mengerjakan ujian masuk SMA, ia pun optimis menembus SMA Negeri yang gradenya pun biasa saja. Tapi takdir berbicara lain, ia dan saudara sepupunya gagal menembus SMA Negeri dan dengan berbesar hati harus meneruskan pendidikan di SMA Swasta.

--

Saya bertekad dan selalu mencamkan pada dirinya bahwa “lu boleh di SMA swasta yang baru berdiri 3 tahun, yang masih dipandang sebelah mata, tapi lu harus bisa buktikan kepada mereka, kepada orang-orang, bahwa lu bisa nembus PTN kayak abang dan kakak lu, buat mereka takjub, dan kalo lu bisa tembus di PTN, wuih.. lu lebih hebat dari abang dan kakak lu yang dari SMA Negeri.”

Motivasi itu terkadang hanya bertahan beberapa lama, setelah itu seringkali menghilang, Tak mudah memang karena lingkungan di sekolah pun sama sekali tidak mendukung. Anak-anaknya yang malas, sering membolos, dan tanpa motivasi, satu kelas pun tidak sampai 20 orang. Tapi Alhamdulillah sedikit demi sedikit kami sekeluarga dapat meyakinkannya bahwa ia bisa, dan InsyaAllah bisa. Kami pun bertekad bahwa membuatnya menembus PTN adalah proyek keluarga.

Menjelang akhir tahun ajaran di kelas tiga, ia pun mulai memilih kemana ia akan meneruskan studi. Dengan perhitungan dan persiapan yang matang, ia pun memilih salah satu fakultas di Universitas negeri di bandung. Gradenya lumayan tinggi, tapi sepertinya masih terkejar, walau dari hasil Try Out baru sekali atau dua kali dia dapat menembus nilai fakultas itu. Ah.. bismillah, insyaAllah kalau Allah menghendaki semuanya mungkin.

Beberapa bulan kemudian setelah Tes SNMPTN yang lumayan sulit dan dengan kebijakannya yang aneh (kuota hanya 30 %) ia yakin sudah memberikan usaha yang terbaik, kini saatnya bertawakal dengan hasilnya. Saat itu bulan juni 2011, dan ia harap-harap cemas menunggu hasil. Karena sejauh ini ia belum ada cadangan untuk melanjutkan kuliah. Pukul enam sore, dibukanya situs SNMPTN, dan ternyata belum ada. Baik, mungkin nanti setelah sholat maghrib.

Setelah sholat maghrib, iapun kembali membuka internet dengan disaksikan oleh seluruh anggota keluarga. Sebuah momen yang tak terlupakan, sebuah proyek bersama dari kami sekeluarga. Dan akhirnya di layar monitor pun tertulis.
“selamat anda diterima di Fakultas Hukum”
Sontak kami sekeluarga berucap syukur, Alhamdulillah, semoga ini yang terbaik baginya dan bagi kami sekeluarga.

--

Ia kini duduk di semester tiga bersama dengan saudara sepupunya yang juga lulus di fakultas dan universitas yang sama (Alhamdulillah), IPK nya lumayan bagus (setidaknya lebih baik dari saya. Hehe), dan aktivitasnya pun beragam dari aktivitas di asrama pembinaan hingga Lingkar studi keilmuannya.
Sungguh sebuah pencapaian yang manis.
Semoga lancar disana dik, beri yang terbaik bagi lingkungan dan orang-orang sekitarmu..


No comments:

Post a Comment