Saturday 2 February 2013

Operation High Level - Part 1

"Jadi, kau bisa menolongku Wan?"
Pengalaman bersama orang ini mengingatkannya akan banyak hal, bahwa tak selamanya berbisnis dengan seorang teman akan berbuah manis. Tak tega rasanya menolak permintaan orang ini. Menelepon berkali-kali ke nomor hape-nya yang mungkin hanya beberapa orang saja yang tahu, Wakilnya, beberapa staf ahli, dan mungkin satu dua pimpinan. Dari mana orang ini tahu nomorku?

"Baik, apa yang bisa saya bantu"
disela rapat yang sedang di-skors, ia mengangkat telepon dari orang itu.
"jadi begini, aku ingin minta maaf terkait permasalahan dulu, sekalian memberi sesuatu untukmu, sebagai bentuk permintaan maaf dari seorang kawan"
orang diseberang sana berucap lirih, disertai harapan akan permintaan yang semoga terpenuhi.
"Tenang, itu kejadian lampau, kita sama-sama mafhum atas kesalahpahaman itu, tiap orang pernah melakukan kesalahan,saya sudah maafkan sejak dulu "
Ia berusaha meredam kenangan-kenangan buruk bersama orang ini, manipulasi, intrik dibelakang dirinya, pemalsuan berkas-berkas itu, ah semua itu seolah berputar kembali di benaknya.
Istighfar Wan, bersyukur akhirnya kau bisa lolos dari dakwaan.

"tapi aku bener-bener ingin memperbaiki kesalahan, bisa kita bertemu di kafe priok besok malam?"
"eh kafe priok? tempat apa itu?"
ada rasa curiga yang makin menyeruak dibenaknya, tapi.. Ah jangan terlalu berpikiran negatif.
"itu Wan, restoran yang baru dibuka di daerah Penjaringan jakarta utara, deket dengan rumahmu bukan? Tempat yang asyik untuk berdiskusi." 
Wandi berpikir sesaat ketika mendengar ajakan orang ini. tak ada salahnya, anggap silaturahmi biasa.

"jadi bagaimana? kau bisa?"
"Eh, saya cek agenda dulu, kemungkinan besok malam ada rapat pimpinan di senayan. Nanti kalau oke saya kabari lagi nanti"
"oke, aku tunggu kabarnya, terima kasih "
"sama-sama, no problem. eh maaf saya tutup dulu, rapat akan dimulai, nanti saya hubungi lagi wassalamualaikum"
"Waalaikumsalam"

Orang itu menutup telepon. Di sebuah kamar kontrakan berukuran empat kali enam meter, ia terpekur sendiri, menyadari sebuah tindakan yang tak mungkin ditolaknya.
"Ingat, kalau ingin keluargamu selamat, ikuti perintah kami"
Suara misterius itu mengusik kedamaian yang baru dititinya kembali. Seminggu yang lalu selepas keluar dari bui, ia yang bertekad melanjutkan hidup yang tenang menyadari bahwa tak mudah tuk kembali pada jalan kebaikan. Baru beberapa saat bercengkrama bersama anaknya yang beranjak besar dan istri tercinta yang sangat dirindukan,  ia menerima telepon dari seseorang.
"Dengan bapak Rian, bagaimana rasanya menghirup udara bebas? nikmat bukan?
"siapa kau?" Emosinya sedikit terpancing dengan perkataan orang ini.
"anda tak perlu tahu siapa kami, yang jelas sebuah tugas akan menanti anda. tunggu instruksi selanjutnya dari kami"
"hei, siapa ini"
dan sambungan telepon terputus. Orang gila, tak perlu dihiraukan.

Keesokan harinya, ia yang terbangun di kontrakan kecil di daerah Slipi jakarta pusat, menyadari sesuatu. Istri dan anaknya belum kembali sedari pagi. Kalau tak salah pergi ke pasar seperti pagi yang lalu-lalu. Ia beranjak keluar dari kamar dan menuju pintu depan kontrakan. Matahari mulai meninggi dan sedikitpun tak ada tanda kehadiran anak dan istrinya. Kemana mereka, sampai sekarang belum kembali juga. Kekhawatiran dan ketakutan mulai berkecamuk di dadanya. Pikiran-pikiran negatif sesekali muncul saat ia teringat kembali sosok yang menghubunginya tadi malam.

Lamunannya pecah oleh suara dering telepon. nomor yang semalam. 
"Halo, siapa ini?"
"Halo juga bapak Rian, siap untuk menerima tugas?"
"Kau gila, sinting, apa maksudmu dengan tugas" kata-kata pedas tak mampu lagi ditahannya, orang ini ingin mencari gara-gara.
"Hei kawan, tenanglah sedikit, suara kerasmu bisa membangunkan anakmu yang sedang tertidur, ia nampak pulas dipangkuan ibunya."
Seketika perkataan orang ini bagai menyengatnya, ia terpaku, Nina, Andi. 
"apa yang kalian lakukan terhadap keluargaku, tolong, jangan sakiti mereka, silahkan, apa yang harus kulakukan, tapi tolong jangan libatkan mereka."
Sosok diseberang sana tertawa. "Sudah paham dengan kondisimu kini? baik ini yang harus kau lakukan. Dua hari ini, kau hubungi nomor yang akan kukirimkan lewat SMS. itu nomor Ruswandi Wahab, pasti kau mengenalnya. Ajak dia, bujuk dia sampai dia mau bertemu denganmu. Besok kau buka sebuah paket yang kami kirimkan ke rumahmu lalu ikuti instruksi yang ada di dalam paket itu, kau mengerti?"

ia mencerna perkataan orang itu yang serasa bertabrakan di otaknya, entah terlalu cepat atau dirinya yang terlampau kalut. "eh tapi aku sudah tak ingin lagi mengganggu Wandi, terlebih atas apa yang kulakukan padanya dulu."
"Kau bodoh atau idiot?? kau belum sadar nyawa keluargamu jadi taruhannya."
"baik baik, oke, kuturuti keinginanmu, tapi tolong, aku ingin berbicara dengan mereka sebentar saja"
sosok diseberang sana memberikan gagang telepon pada Nina.
"ayah, aku takut,"
"tenang sayang, semua akan baik2 saja"
"jangan tinggalkan kami, aku.."
Orang itupun mengambil gagang telepon dan berbicara kembali pada Rian. "Oke cukup, jadi sudah jelas? jangan main-main atau kau takkan bertemu mereka lagi selamanya." dan di seberang sana suara telepon tertutup terdengar memilukan. "tunggu tunggu, jangan kau.." dan Rian pun hanya tertunduk lesu. Tak disangka, begitu sulitnya tuk kembali lurus.

-cont'd

foto : http://osmd.files.wordpress.com/2012/03/dilema.jpg

No comments:

Post a Comment