Wednesday, 13 February 2013

Dua Orang, Beda Zaman, dan Sebuah Persamaan.

Sosok itu berdiri di atas langit-langit rumah, menggelantung dan menatap penuh makna pada seorang penghuni baru yang baru saja menempati 'kediamannya. Silih berganti berbagai jenis penghuni mendiami bangunan besar bergaya tudor di kawasan elit ini, tapi baru sekarang ia merasa bahwa penghuni kali ini berbeda. Gerak-gerik orang itu mengingatkannya kembali pada seorang manusia di kala ia kecil dulu. Tutur kata yang santun, bersahaja, dengan tatapan teduh yang terpancar jelas dari sorot matanya. Ia pun sesekali melihat sosok itu bersujud di keheningan malam sebelum melanjutkan lagi pekerjaannya di sebuah ruangan yang penuh dengan alat serupa tabung bercahaya, cairan, dan kabel-kabel listrik. Ah sungguh, orang itu mengingatkannya pada sebuah kenangan di masa kecil dulu.

Kejadian itu terlampau lama berlalu, ia pun tak dapat menarik persis kenangan yang terendap jauh di dalam memorinya. Yang ia ingat, saat itu dirinya masih bocah ingusan yang diajak menonton aksi pamer kehebatan antara kaumnya dengan seorang manusia. Persis di samping ayahnya ia berdiri dan melihat dari kejauhan dua orang berhadapan di atas panggung. Ia pun mencoba mengingat-ingat suasana saat itu. Di tanah lapang nan tandus, di atas panggung itu, salah satu dari kaumnya berkata.

"Aku dapat segera membawa singgasana itu kehadapan anda yang mulia, sebelum anda beranjak berdiri dari singgasana anda kini"
Jelas terlihat dari kejauhan, ia nampak sangat percaya diri. Pancaran wajahnya penuh keyakinan dan seolah berkata bahwa takkan ada yang mampu menyaingi kekuatannya.
Lelaki dengan panggilan yang mulia nampak mematung dan berpikir sejenak, ia tidak mengatakan sepatah katapun. Ia menunggu seorang lagi, sang penantang yang terlihat berjalan ke tengah panggung, tatapannya teduh dengan sinar cahaya wajah yang tersirat jelas. Dengan santun dan merendah ia berkata.
"Wahai Raja, sesungguhnya tiada kekuatan, daya dan upaya melainkan atas kehendak dariNya. Maka atas izinNya, saya akan membawa singgasana itu sebelum anda mengedipkan mata"

Riuh rendah gemuruh percakapan nampak memenuhi seisi lapangan. Seolah tak ada satupun penonton yang percaya bahwa singgasana yang megah itu dapat berpindah secepat kilat sejauh ratusan kilometer dari daerah di ujung jazirah sana ke daerah bertandus ini. Ia lupa, sungguh lupa apa yang terjadi setelah itu. Ingatan ribuan tahunnya telah melapuk dan hanya menyisakan serpihan-serpihan kecil dari serangkaian puzzle kenangan. Yang jelas saat itu perwakilan kaumnya nampak harus mengakui kekalahan. Dengan sekejap mata, sebuah singgasana telah berdiri anggun di atas panggung. Manusia itu berhasil, ia sungguh hebat.

Ribuan tahun berlalu dan sekarang ia menemukan kembali dan melihat jelas persamaan diantara kedua manusia ini. Sungguh ia tak tahu persis apa sebenarnya yang membuatnya berpikir bahwa kedua orang ini memiliki kesamaan, ingatannya tak lagi setajam dulu. Gerak-gerik, tingkah laku dan sorotan mata teduh keduanya memang mirip, tapi bukan itu, ada hal lain yang membuatnya berpikir bahwa ada kesamaan diantara kedua orang ini. Semacam auara atau sejenisnya, entah apa sebenarnya.

Tetiba sejumput kenangan muncul dari relung ingatan terdalamnya.
Suara itu, bacaan itu yang sama persis seperti apa yang kudengar dari manusia yang ada di lapangan itu dulu. 
Ia pun mencari dari mana suara merdu ini dibacakan. Diikutinya arah suara itu berasal dan sampailah ia di sebuah ruangan di lantai dua. Irama dan bacaan itu sungguh menarik hatinya..
ini, bacaan ini sungguh luar biasa. Terlihat sebuah kitab yang dibaca dengan khusyuk oleh sesosok manusia yang nampak berurai air mata membaca lembaran kertas yang ada dihadapannya.

Ternyata, mereka memiliki kitab yang sama. 

Dan perlahan dirinya pun larut.

Sembari bergumam dalam hati ia berkata, Tak ada kata terlambat untuk sebuah kebenaran. 

1 comment: