Tuesday, 12 February 2013

Martir

Seandainya Muhammad Bouazizi melihat dan mengetahui bagaimana orang-orang mengenangnya, mungkin saja ia akan bangga dengan apa yang terjadi pasca dirinya wafat. Revolusi timur tengah 2 tahun terakhir tak pelak adalah bukti atas aksi yang dilakukan olehnya. Sarjana Muda yang bekerja keras menghidupi keluarga dengan berjualan sayur keliling. Kondisi yang miris saat tingkat pengangguran yang cukup tinggi memaksa seorang pemuda mengacuhkan gelar sarjananya untuk pekerjaan yang tak lain merupakan pilihan satu-satunya. Impiannya sederhana, dapat membeli mobil pick-up dan tak lagi bersusah payah berkeliling dengan memakai gerobak sayurnya yang terlihat makin ringkih.

Tapi takdir sang khaliq berkata lain, sebelum impiannya tarwujud, para polisi Tunisia yang gagah itu mengambil gerobak sayur yang menjadi satu-satunya penopang hidup keluarganya. Dengan alasan melanggar izin usaha, Bouazizi dipaksa untuk menebus gerobaknya yang senilai dengan jumlah penghasilannya selama sehari, 10 dinar. Namun Bouazizi hanya punya 7 Dollar, tak sebanding dengan nilai yang diminta para polisi itu. Iapun menghampiri polisi-polisi itu dan meminta kebijaksanaan mereka, tapi sayang justru pukulan dan hinaan yang didapatkannya. Mendapatkan perlakuan semena-mena, ia pun melapor ke pejabat wilayah setempat, dan kembali tak ada tanggapan positif dari para pejabat itu.

Bahkan pejabat pun tak bisa berbuat apa-apa, jadi kemana lagi ia mesti mengadu? sedang keluarganya menunggu dengan sebuah harapan. Ia pun berjalan menuju gedung putih tempat para penguasa itu duduk manis diantara tangis rakyat serupa dirinya. Ia membakar diri, menjadi martir atas ketidak adilan yang selama ini berkerak menjadi-jadi di sebuah negeri bernama Tunisia. Semua tersadar, rakyat yang tertidur mulai terjaga akan ketidakberesan pemimpin mereka. Aksi Bouazizi bagai sebuah klimaks, titik kulminasi atas mandulnya pisau keadilan. Hingga tak heran efek dari sebuah aksi yang datangnya dari jerit kemarahan rakyat berbuah revolusi panjang, berturut-turut Mesir, Libya dan beberapa negara timur tengah mengalami hal yang sama. Martir Bouazizi menjadi momentum perubahan.

--

Tak ada yang benar-benar berharap menjadi martir. Martir adalah konsekuensi atas usaha mereka dalam memperjuangkan apa yang mereka yakini. Mungkin Muhammad Toha tak pernah mengira bahwa aksinya dalam meledakkan gudang amunisi Belanda di kota Bandung akan memicu perlawanan para pejuang di beberapa daerah di nusantara. Atau saat Arif Rachman Hakim yang tak pernah menduga bahwa namanya akan diabadikan sebagai nama masjid di FKUI atas perjuangannya yang berujung maut.

Martir ibarat pemicu atas sebuah perubahan, ia tak sekedar aksi heroik beberapa oknum yang ingin disebut sebagai pahlawan. Tapi lebih dari itu, Martir adalah akumulasi dari sekumpulan momen, aksi, dan konsistensi dalam berjuang yang diakhiri dengan pengorbanan tak ternilai. Sehingga menjadi martir tak lebih dari sebuah takdir yang kan datang kepada orang-orang yang terpanggil, mereka yang memaknai arti perjuangan lebih dari apapun bahkan melebihi nyawa mereka sendiri.

Martir berarti saksi, menjadi saksi atas segala usaha yang mereka perjuangkan, menjadi syahid jika seorang muslim menyebutnya. Di hadapan Tuhannya mereka bersaksi dengan raga berkalang tanah dan jiwa berselimut ketenangan, bahwa perjuangan tertinggi telah mereka gapai. Saat tak ada satupun pengorbanan yang sebanding dengan nyawa yang tercerabut dari tubuh bersimbah luka.

Maka tak heran jika syahid adalah cita tertinggi dari seorang muslim bila kehidupan mulia tak jua diperoleh.

isy kariman, aumut syahidan. Hidup mulia atau mati syahid.
 

No comments:

Post a Comment