Sunday 24 February 2013

Memilih : Dilema Sang Idealis

Menjadi idealis itu terkadang makan hati, apalagi jika sang idealis terjun ke ranah praktis. Banyak hal yang tadinya indah diucapkan dengan penuh keyakinan menjadi hambar dan tak berarti kala menyentuh ranah aplikasi. Semua rencana dan gagasan seringkali berbenturan dengan realita lapangan. Entah berkaitan dengan birokrasinya atau mindset orang-orangnya.

Dari dulu bahkan hingga sekarang tiap orang punya opini masing-masing yang berkaitan dengan pengelolaan sistem pemerintahan yang tepat. Sebuah sistem yang berorientasi melayani masyarakat dan mensejahterakan mereka. Ada yang bilang hal seideal itu dapat terwujud bila pemimpin yang memegang kendali muncul dari kalangan idealis. Yang terbiasa membicarakan hal yang sepatutnya di dalam sebuah pemerintahan. Tapi ada juga yang berkata bahwa konsep idealitas tak sepenuhnya cocok dengan kondisi faktual yang bersifat relatif dan kompleks. Sehingga terkadang seorang idealis mau tak mau harus mampu berkompromi dan memiliki rentang toleransi yang besar terhadap hal yang tidak ideal.


Maka jadi sesuatu yang unik saat seorang aktivis,penggiat gerakan, dan komentator pemerintahan yang identik dengan konsep idealitas mencalonkan diri sebagai kandidat kepala daerah. Dimana posisi itu jelas-jelas kadung dipersepsi dengan kesemrawutan birokrasi dan pola berpikir. Maka jika tidak yakin mampu berkompromi dan mengubah kekusutan itu, yang ada justru cibiran dan kekecewaan kepada sang idealis.


Tapi ya semuanya kembali kepada para aktivis,komentator,dan penggiat yang idealis. Kalau memang merasa mampu silahkan mencoba, tak ada salahnya dan akan menjadi capaian yang luar biasa saat berhasil. Tapi bagi saya pribadi, menjadi aktivis, penggiat dan komentator yang idealis hendaknya membuat mereka menyadari bahwa pilihan profesi yang tepat memang hal-hal yang berbau idealis,yang jauh dari kesan negatif.


Seperti saat komentator sepakbola menjadi pelatih, atau saat penggiat anti korupsi menjadi pimpinan KPK. Karena setidaknya jika mereka gagal disana, tak ada kekecewaan karena nilai-nilai idealitas tak tergerus dan tetap terjaga. Berbeda saat mereka sang aktivis,penggiat, dan komentator idealis turun dalam kubangan lumpur seperti pilkada, capaian keberhasilan belum pasti, malah nilai-nilai dalam kritik idealis yang selama ini mereka agungkan berbenturan dengan fakta kompromi di lapangan,yang serba semrawut.


Sinis? Tidak juga, saya hanya gemes dan terkadang ingin mentoyor kepala sang komentator,aktivis idealis yang terkadang hanya bisa mengkritik karena memang lebih enak mengkritik dibandingkan berbicara praktek faktual di lapangan. Selamat memilih, dan semoga si komentator, aktivis, penggiat idealis tetap di jalan kebenaran

No comments:

Post a Comment