Wednesday, 27 February 2013

Blogging dan Mikroblogging

Ada perbedaan mendasar antara menulis di mikroblogging semacam Twitter, Plurk, dan sejenisnya dengan blogging seperti Blogspot, Wordpress, dan semacamnya. Perbedaan itu terletak pada konten layanan yang disediakan oleh kedua jenis social media itu. Tentunya kita sudah familiar dengan keduanya, bahwa mikroblogging hanya membatasi penggunanya untuk dapat menuliskan sesuatu sampai 150 karakter saja. Sedangkan blogging berbeda, lebih dari 150 karakter dan dirancang untuk menyediakan layanan yang lebih kompleks dan tidak sesederhana mikroblogging.

Misalnya Twitter, sekedar menuliskan perkataan singkat dan seketika dapat dipublish kepada orang-orang yang mengikutinya (follower). Karena sifatnya yang sederhana, mudah, dan interaktif menjadikan twitter digemari oleh sebagian besar pengguna internet. Proses sharing (retweet) info dan berita yang cepat membuat twitter jadi sarana penyebaran ide dan gagasan yang efektif apalagi jika si orang memiliki banyak follower, tentunya proses distribusi pemikiran akan mudah dilakukan. Ditambah lagi dengan keterbatasan karakter penulisan, memaksa setiap tweeps (pengguna twitter) untuk memaksimalkan ide mereka dalam limit yang telah ditentukan.

Proses memaksimalkan ide dalam satu limit tweet senada dengan ritme dunia maya yang serba cepat dan instan. Kini sangat jarang orang berlama-lama membaca sebuah berita atau informasi lebih dari 10 menit. Kebanyakan hanya membaca kurang dari 5 menit dan akan segera berpindah mencari bacaan yang lain jika inti berita telah didapatkan. Yang penting adalah mendapatkan informasi sebanyak mungkin dengan sistem dan proses skimming. Bahkan terkadang ada beberapa orang yang cukup membaca judul saja, sudah tahu isi beritanya dan lanjut membaca berita yang lain. Proses inilah yang sedikit banyak menjadikan twitter yang instan, cepat, dan sederhana sesuai dengan irama netter saat ini.

Tapi bagi beberapa orang, seperti saya contohnya, beradaptasi dengan twitter sungguh sulit rasanya. Saya yang terbiasa mengartikulasikan ide secara runut dan bertahap disertai dengan bumbu-bumbu pengantar tulisan di dalamnya, menjadikan twitter serasa sulit digunakan. Karena saya merasa bahwa menulis tak sekedar menyampaikan ide dan gagasan kita secara ringkas dan cepat, tapi lebih dari itu, ia merupakan sebuah keterampilan dan seni dalam mempercantik sebuah gagasan.

Maka menulis di Blog lebih cocok dengan saya yang terbiasa dengan proses penulisan yang mirip seorang koki. Seorang koki yang memiliki satu bumbu inti, lalu diambil sebagiannya dan diberikan sejumput air tuk mengembangkannya. Diolah dengan adukan dan tumbukan tangan, sehingga lambat laun siap tuk dicampurkan dengan berbagai bumbu pendamping agar menjadi lebih sedap. Serupa dengan menulis dimana sekeping ide dipaparkan dalam sebuah frase panjang yang ditemani oleh berbagai fakta dan gagasan. Mengolahnya dalam ruang pemikiran kontemplatif yang berbuah kesadaran dan pencerahan.

Tapi memang semuanya kembali kepada masalah kebiasaan saja. Saya yang terbiasa menuliskan sesuatu berputar-putar, jalan-jalan sana sini terlebih dulu sebelum menyampaikan inti dan maksud tulisan menjadi agak terbatasi kala dihadapkan pada sebuah layanan bernama mikroblogging. Mungkin saya harus dapat beradaptasi dengan perkembangan zaman yang serba cepat, tentunya tanpa meninggalkan ciri khas saya dalam menulis.


Tuesday, 26 February 2013

Tempo dan PKS

Mereka ditempa dalam tekanan yang sama. Tumbuh dan berkembang di dalam pusaran hebat konstelasi represi orde baru. Tak banyak yang mengira bahwa kehidupan yang keras justru membawa mereka pada sebuah peran yang dimainkan apik, sejak dulu bahkan hingga kini.Yang satu melalui jalur pergerakan berbasis ideologi keagamaan, dan satunya lagi identik dengan kritik mencerahkan bagi para pencari kebenaran.

Tempo dan PKS, dua institusi yang lahir dari rahim yang sama bernama reformasi. Perbedaan patron dan perspektif dalam berjuang menjadikan mereka silih berganti memainkan porsi perannya masing-masing. Membuat mereka menjadi simbol atas tercapainya cita-cita demokrasi negeri ini. Idealnya, sebuah keyakinan kerap mengemuka, bahwa tak lain mereka datang dari sebuah momen yang sama dan hendaknya masing-masing saling memaklumi bahwa tak ada yang luput dari kesalahan.

Tapi yang ada kini sungguh mengecewakan, satu sama lain bagai berlomba saling menjatuhkan. Tak penting siapa yang lebih dulu memulai, tapi yang jelas sungguh menyedihkan melihat anak kandung reformasi melupakan hakikat perjuangan yang dulu mereka dengungkan. Entah mencari ketenaraan semata atau sekedar mencari sensasi sesaat tapi yang jelas perseteruan keduanya membawa kembali kenyataan pahit bahwa uang berada dibalik ini semua.

Ada yang bilang Tempo dalam hal ini media cetaknya, makin tergerus oleh pesaing yang kian beragam. Baik dari sesama media cetak ataupun media internet yang mampu menawarkan pemberitaan faktual terkini. Tempo pun diberitakan mengalami kerugian yang cukup signifikan di tahun 2012 lalu. Yang lambat laun mimpi buruk kebangkrutan kian tergambar layaknya media-media raksasa di eropa dan amerika sana yang telah gulung tikar terlebih dulu.

Tempo berusaha memutar otak, dan akhirnya ditemukan satu jawaban, mengkritik habis-habisan sebuah organisasi yang lahir dari sebuah perubahan yang selama ini dicitrakan pro pembaharuan oleh mereka yang terkenal dengan pemberitaan tajam dan membuka wawasan baru. Maka diputuskanlah, membawa PKS sebagai tumbalnya.

Hasilnya pun lumayan, sedikit banyak orang-orang kembali tertarik membeli majalah itu dan oplah pun perlahan meningkat. Counter balance dari orang-orang pro PKS pun menambah rasa yang makin menegaskan bahwa isu yang diusung Tempo memang selalu menarik apabila membawa-bawa saudara reformasinya dalam pemberitaan.

Maka dsinilah semuanya bermuara, bisnis yang perlahan menggerus cita-cita yang digaungkan sejak lama. Tapi ya, itulah realita yang ada, tinggal kini bagaimana kita menyikapinya. Apakah turut terjun dalam polemik yang ada, atau membiarkannya berlalu sampai kebenaran yang akhirnya berbicara.

Monday, 25 February 2013

Debit - Kredit Dalam PandanganNya



Keseimbangan dan keadilan telah termaktub dalam sunnahNya. Melingkupi tiap hela nafas dari makhluk ciptaanNya. Banyak yang menyangka bahwa keadilan adalah barang mahal, apalagi di negeri ini, dimana keadilan bagai mutiara yang sulit dicari. Mesti menyelam lebih jauh tuk mendapatkannya, di lautan penuh manipulasi dan kedzoliman. Tapi tidak bagiNya, dimana mekanisme keadilan telah berjalan sedemikian rupa bagaikan debet kredit dalam laporan keuangan.

Debit kredit dalam pandanganNya berlangsung tiap saat. Kala manusia melakukan kesalahan di debet satu kebaikan, dan di kredit satu keburukan atau dengan kata lain, berkurang satu pahala, dan bertambah satu dosa. Tapi menariknya, begitu manusia melakukan kebaikan, justru di kredit dengan 10-100 kebaikan dan di debet semua keburukan. Unik, dan Cuma terjadi dalam hitung-hitungan sang Khaliq.

Maka jangan heran, lingkup keadilannya menguntungkan tiap orang, bahkan untuk seorang yang paling dibenci sekalipun. Seandainya memang keburukan si orang itu sangatlah besar, dan seolah tak ada lagi ruang kebaikan pada dirinya, ia pun masih punya kesempatan tuk mendapatkan kebaikan atau di kreditnya pahala ke dalam tabungan amalnya.

Hal yang mungkin saja terjadi setiap hari, tiap saat. Kala manusia, membicarakan keburukan seseorang dan perlahan kebaikan si manusia berpindah kepada orang itu. Kebaikan yang di debit dari si manusia dan di kredit kepada si orang yang dibenci. Maka terkadang saya berpikir, sungguh beruntung mereka yang dibenci, dan merugilah mereka yang terlalu membenci hingga lisan tak mampu lagi menahan omongan dan berkuranglah tabungan masa depan.

Fenomena unik dan menarik sebagai bentuk kompensasi dan kebaikan sang khaliq pada makhlukNya yang dibenci oleh makhlukNya yang lain. Sehingga mungkin saja suatu saat, ketika kebaikannya terus bertambah dikarenakan banyaknya kebaikan yang dikredit lebih besar dari yang didebet, maka saat itulah mungkin hidayah telah masuk. Dan begitu pula sebaliknya, ketika seseorang yang baik terus di debit kebaikannya hingga suatu titik dimana keburukannya lah yang dikredit, maka saat itulah mungkin hidayah telah pergi darinya. Na’udzubillah.

Sunday, 24 February 2013

Memilih : Dilema Sang Idealis

Menjadi idealis itu terkadang makan hati, apalagi jika sang idealis terjun ke ranah praktis. Banyak hal yang tadinya indah diucapkan dengan penuh keyakinan menjadi hambar dan tak berarti kala menyentuh ranah aplikasi. Semua rencana dan gagasan seringkali berbenturan dengan realita lapangan. Entah berkaitan dengan birokrasinya atau mindset orang-orangnya.

Dari dulu bahkan hingga sekarang tiap orang punya opini masing-masing yang berkaitan dengan pengelolaan sistem pemerintahan yang tepat. Sebuah sistem yang berorientasi melayani masyarakat dan mensejahterakan mereka. Ada yang bilang hal seideal itu dapat terwujud bila pemimpin yang memegang kendali muncul dari kalangan idealis. Yang terbiasa membicarakan hal yang sepatutnya di dalam sebuah pemerintahan. Tapi ada juga yang berkata bahwa konsep idealitas tak sepenuhnya cocok dengan kondisi faktual yang bersifat relatif dan kompleks. Sehingga terkadang seorang idealis mau tak mau harus mampu berkompromi dan memiliki rentang toleransi yang besar terhadap hal yang tidak ideal.


Maka jadi sesuatu yang unik saat seorang aktivis,penggiat gerakan, dan komentator pemerintahan yang identik dengan konsep idealitas mencalonkan diri sebagai kandidat kepala daerah. Dimana posisi itu jelas-jelas kadung dipersepsi dengan kesemrawutan birokrasi dan pola berpikir. Maka jika tidak yakin mampu berkompromi dan mengubah kekusutan itu, yang ada justru cibiran dan kekecewaan kepada sang idealis.


Tapi ya semuanya kembali kepada para aktivis,komentator,dan penggiat yang idealis. Kalau memang merasa mampu silahkan mencoba, tak ada salahnya dan akan menjadi capaian yang luar biasa saat berhasil. Tapi bagi saya pribadi, menjadi aktivis, penggiat dan komentator yang idealis hendaknya membuat mereka menyadari bahwa pilihan profesi yang tepat memang hal-hal yang berbau idealis,yang jauh dari kesan negatif.


Seperti saat komentator sepakbola menjadi pelatih, atau saat penggiat anti korupsi menjadi pimpinan KPK. Karena setidaknya jika mereka gagal disana, tak ada kekecewaan karena nilai-nilai idealitas tak tergerus dan tetap terjaga. Berbeda saat mereka sang aktivis,penggiat, dan komentator idealis turun dalam kubangan lumpur seperti pilkada, capaian keberhasilan belum pasti, malah nilai-nilai dalam kritik idealis yang selama ini mereka agungkan berbenturan dengan fakta kompromi di lapangan,yang serba semrawut.


Sinis? Tidak juga, saya hanya gemes dan terkadang ingin mentoyor kepala sang komentator,aktivis idealis yang terkadang hanya bisa mengkritik karena memang lebih enak mengkritik dibandingkan berbicara praktek faktual di lapangan. Selamat memilih, dan semoga si komentator, aktivis, penggiat idealis tetap di jalan kebenaran

Friday, 22 February 2013

Ke Malang

Perjalanan ke luar kota memberikan saya banyak pengalaman baru yang menyenangkan. Sesuatu yang seringkali tak dijumpai di wilayah domisili saya berada, dalam hal ini Jakarta dan Bekasi. Dimana sajian kedua kota itu sekarang tidak jauh-jauh dari kemacetan dan kepenatan. Fiuh.. 


Tapi berbeda dengan keadaan di luar sana. Di kota-kota yang jauh dari wilayah Jabodetabek. Di sana semuanya berjalan damai, tak ada huru-hara di pagi hari demi menghindari kemacetan karena kondisi jalan yang relatif lengang, tak ada wajah-wajah penuh noda karena polusi belum mencemari udara sekitar. Semuanya berjalan teratur dan penuh harmoni. Keadaan yang saya rindukan terutama saat bertandang ke sebuah kota, kota Malang.

Malang kota yang indah dan penuh pesona. Kota yang dirancang dengan beragam keunikan, bangunan bangunannya yang artistik, dan wisata-wisatanya yang menarik. Kota yang tepat untuk beristirahat dan menghabiskan masa tua karena irama kehidupannya yang selaras dengan alam. Sungguh damai.

Kesan itulah yang benar-benar saya tangkap kala pesawat saya berlabuh di bandara Abdurrahman Saleh dua tahun lalu, bandara yang menjaga kesederhanaannya dan tak terlampau peduli akan gegap gempita modernitas. Sayapun beranjak meninggalkan bandara yang berada di kompleks angkatan udara menuju penginapan. Teringat jelas kala melintasi jalan-jalan kota malang, kesan bersahabat yang berpadu indah antara manusia dan alam.

Kesan sentimentil kini datang lagi saat hari ini saya menyempatkan singgah kembali ke kota ini. Teringat ketika dulu sempat bertemu dengan Irfan Bachdim dan Kim Kurniawan selepas mereka berlatih bersama Persema Malang. Sebuah pertemuan di lobi Hotel Regent yang tak diduga. Lalu saat aura kota Malang yang mistis dan dingin mulai menampakkan wujudnya membuat saya merasa dibayangi oleh sebentuk makhluk halus yang sepertinya telah lama mendiami kamar hotel nomor 243.


Banyak hal yang menjadikan Malang penuh kenangan. Terlebih lagi sekarang, ketika kali kedua saya bertandang kembali ke kota ini. Yang sepertinya akan meninggalkan kenangan cukup berkesan.

Sampai jumpa di sana..

Thursday, 21 February 2013

Gaya si Penulis



Sangat menyenangkan bila mencermati gaya menulis beberapa orang di ragam media, entah itu di Blog, Surat Kabar, ataupun artikel-artikel ringan di dunia maya. Jelas terlihat perpaduan bakat, pengaruh seorang penulis, dan background lingkungan pendidikan menjadi tiga faktor utama yang membentuk karakter kepenulisan seseorang. Sebuah karakter yang sedikit banyak tak memiliki arti apapun jika tiga faktor utama tersebut tidak diolah dalam sebuah pembiasaan mengartikulasikan pemikiran menjadi sebentuk kata dan kalimat.

Faktor pertama yang mungkin mempengaruhi gaya menulis seseorang adalah bakat. Ada yang mengatakan bahwa bakat itu bukan segala-galanya untuk menulis karena yang paling penting adalah bagaimana seseorang membiasakan dan mendisiplinkan diri dalam menulis.

Memang ada benarnya, tapi mungkin bakat itu juga berhubungan dengan passion, minat, dan energi yang meluap-luap. Sehingga biasanya orang yang berbakat akan dengan mudahnya dan senang hati melakukan sesuatu karena ada passion, minat, dan energi disana. Jadi bisa saja jika faktor pertama yang mempengaruhi gaya menulis seseorang adalah bakatnya.

Faktor kedua adalah pengaruh seorang penulis. Ketika awal-awal mencoba menulis, biasanya seseorang akan meniru bagaimana bentuk tulisan yang tepat untuknya, yang sesuai dengan jumlah kosa kata di dalam kognisi. Jadi tidak heran dan merupakan hal yang wajar saat ada seorang murid meniru bagaimana si guru menuliskan sebuah tulisan.

Si guru yang tahu bagaimana perkembangan kosa kata si murid, menyesuaikan bentuk-bentuk kalimat sejauh yang dipahami oleh sang murid. Maka saat seseorang menggemari seorang penulis, bisa jadi buku si penulis sudah matching dengan perkembangan kognisi orang itu. Hingga kecocokan diantara keduanya membuat si orang itu memiliki gaya menulis yang menyerupai si penulis.

Sedangkan faktor yang ketiga adalah background lingkungan pendidikan. Suka tidak suka background pendidikan yang berkembang dalam lingkungan seseorang merupakan salah satu faktor yang berpengaruh pada gaya menulis seseorang. Orang yang dibesarkan di lingkungan pendidikan pesantren tentu saja berbeda dalam hal menulis dengan orang yang dilahirkan di lingkungan pendidikan tinggi.

Orang yang dibesarkan di pesantren mungkin saja gaya menulisnya terkesan alami, bijak, dan penuh dengan frase perenungan nilai-nilai religius. Berbeda dengan orang yang dibesarkan di lingkungan pendidikan tinggi yang mungkin gaya menulisnya terkesan strategic, visioner dan bersemangat.

Jika tiga faktor itu telah tepat dimiliki seseorang, tinggal kini faktor pembiasaan yang berperan. Selalu mengasah diri untuk terus menulis dan menjadikannya tetap tajam dengan artikulasi pemikiran dalam sebuah tulisan. Hingga nantinya impian dalam mewujudkan Pram baru, Andrea Hirata baru, Es Ito Baru, JK Rowling baru, dan Dan Brown baru tak sekedar cita-cita belaka.


Wednesday, 20 February 2013

Sambal Kehidupan

Pencinta sambal mungkin tahu persis bahwa kebanyakan mereka menikmati sambal karena sensasi pedasnya. Memberi warna berbeda pada makanan yang disajikan. Sehingga ada semacam greget yang menggelitik lidah dan terkadang jika kadarnya berlebihan memberi sensasi panas di mulut. Tapi anehnya meski panas dan membuat lidah tak nyaman, tetap saja kebanyakan orang tidak kapok menyantap sambal. Bahkan makin ketagihan untuk mencoba sambal yang lebih pedas.

Mungkin itu sebabnya ada istilah tobat sambal yang begitu populer. Saat seseorang mengaku kepedasan dan tak lagi-lagi mencoba sambal, tapi keesokannya malah kembali menyantapnya. Yang jika dianalogikan dengan kehidupan manusia, saat seseorang mengaku kapok berbuat sesuatu tapi malah melakukan lagi di hari berikutnya.

Sayapun berpikir adakah sebuah efek yang ditimbulkan oleh sambal sehingga walaupun pedas dan membuat lidah kepanasan, sambal tetap jadi pilihan dalam menemani santap makanan. Oh mungkin karena sambal menjadikan nafsu makan seseorang menjadi tinggi. Begitu lahap menyantap makanan agar sensasi pedas cepat hilang dengan cara menutupinya lewat makanan. Atau mungkin menjadikan sambal sebagai alternatif rasa untuk makanan-makanan yang terasa hambar. Daripada mubazir tak termakan maka dipakailah sambal untuk memberi rasa.

Mungkin sambal itu ibarat masalah dalam hidup. Yang terkadang membuat kita kapok tapi malah kembali datang menghampiri. Ada beberapa orang yang memang benar-benar kapok dan tak mau-mau lagi terbelit masalah, namun sebagian lagi menyikapi masalah layaknya pencinta sambal. Tak kapok-kapok menyantap masalah walau itu pedas dan bahkan ingin mencoba yang lebih perih menyengat. Karena ia yakin hidup itu akan menjadi lebih berwarna saat sensasi rasa pedas permasalahan membuat kehidupan tak lagi terasa hambar. Membuat semangatnya dalam menjalani kehidupan layaknya penggemar sambal yang memiliki nafsu makan yang besar.

Jadi memang sesekali tak apa jika sambal kehidupan menghampiri, karena ia tak sekedar masalah tapi lebih dari itu, ia pemberi rasa dalam menjalani hidup yang mungkin datar-datar saja.

Tuesday, 19 February 2013

Rumah Sakit Berbisnis

Seorang teman pernah berkata bahwa di masa mendatang bisnis kesehatan merupakan salah satu dari beberapa bisnis yang memiliki prospek cerah. Kesehatan beberapa tahun lagi adalah isu yang jadi tema utama selain isu energi dan properti. Pertambahan penduduk yang melonjak beberapa dekade terakhir mau tak mau meningkatkan pemakaian energi dan pastinya permintaan akan kebutuhan properti serta yang tak kalah penting kesadaran untuk menjadi sehat.

Ketiganya bersinergi dan menjelma menjadi momok yang menakutkan belakangan ini. Kuota energi dalam hal ini BBM yang katanya makin menipis memaksa pemerintah melakukan penghematan yang merupakan upaya dalam menjaga stabilitas energi. Sehingga tak heran kekhawatiran datangnya krisis energi membuat pemerintah kini mengupayakan pengembangan energi alternatif yang berbasis lingkungan dan dapat diperbarui.

Properti juga tak jauh beda. Harga tanah semakin naik seiring berjalannya waktu. Bahkan terkadang kenaikannya terasa tak logis karena bisa berkali-kali lipat dari harga awalnya. Jika tahun ini misalnya harga sebuah rumah 'hanya' 180 juta, maka jangan heran jika setahun lagi harganya melonjak tajam menjadi 500 juta. Tak tanggung-tanggung dan kadang tak manusiawi bagi manusia-manusia indonesia yang umumnya berada di level ekonomi middle low.

Dua isu itu telah berkembang cukup intens beberapa waktu ini yang mungkin tak seheboh isu kesehatan yang gaungnya masih terdengar biasa-biasa saja. Tapi sebuah kejadian beberapa saat lalu membuat isu kesehatan sepertinya layak untuk diberikan perhatian, isu yang terkait akses dan jaminan kesehatan bagi tiap orang.

Anggaplah dengan kondisi lingkungan yang tak lagi seramah dulu, dan jenis makanan yang makin berbahaya tuk dikonsumsi, menjadikan prosentase orang sehat di indonesia makin rendah. Anggaplah ada seseorang yang harus diopname di rumah sakit karena sebuah penyakit kronis, membutuhkan uang kira-kira 500 ribu hingga 1 juta rupiah dalam semalam. Jadi setidaknya jika di rumah sakit itu terdapat 20 kamar dengan fasilitas standar-standar saja, maka dalam semalam rumah sakit itu bisa meraup minimum 20 juta. wow.. bisnis yang menggiurkan. Ditambah dengan sponsor dari produk obat-obatan dan tender dengan para pemasok alat-alat kesehatan membuat beban biaya gedung dan gaji karyawan (dokter, perawat, dll) menjadi tak terlalu berarti. Toh pemasukan pasti lebih besar dari pengeluaran.

Gambaran di atas memang menjelaskan betapa prospektifnya bisnis kesehatan atau lebih khususnya bisnis rumah sakit. Namun, isu kesehatan yang sensitif dengan aspek kemanusiaan mengakibatkan para pelaku bisnis rumah sakit terkadang berbenturan dengan etika kemanusiaan. Sehingga walaupun ini merupakan bisnis, tapi tetap nyawa pasien menjadi nomor satu, jadi idealnya walau si calon pasien tak mampu membayar, rumah sakit tetap dapat mengutamakan pasien bagaimana pun kondisi ekonominya. Begitu yang saya tahu terutama di banyak negara di dunia.

Tapi ironisnya di sini, di Indonesia, sudah jadi rahasia umum jika rumah sakit hanya mau melayani saat si pasien sudah membayar sejumlah uang sebagai uang muka. Banyak, bukan satu-dua kasus saja dimana rumah sakit tega menelantarkan pasiennya jika keluarga si pasien tak mampu menyiapkan sejumlah uang untuk biaya perawatan. Seperti saat teman saya harus memiliki deposit 5 juta dan menyetorkannya kepada pihak rumah sakit saat Ibunya mengalami kecelakaan. Padahal kondisi ekonominya saat itu tidak memungkinkan tapi berkat bantuan teman-temannya, ia dapat memenuhi permintaan rumah sakit itu. duh..

Lalu baru-baru ini ada kasus terhangat dimana seorang pasien, bayi yang baru berumur beberapa hari, akhirnya meninggal karena tak mendapatkan kamar di rumah sakit. Oke kalau memang itu alasannya, tapi saya yakin jika kondisi orang tua si pasien lebih baik dari sisi ekonomi dan kedudukan, setidaknya Dera (nama pasien) tak perlu mengemis di rumah sakit kelas bawah dan dapat secepatnya mendapatkan perawatan di rumah sakit ternama yang sepertinya tak mungkin kamarnya penuh semuanya.

Banyak hal memang, yang menjadi penyebab wafatnya Dera dan banyak juga yang berargumen, "kenapa tidak dibawa ke rumah sakit internasional saja semacam Carolus, RSPP, yang pastinya punya persediaan kamar". Mencari alasan memang mudah, tapi mindset yang terbentuk di benak orang-orang dengan level ekonomi menengah ke bawah, masih jelas tertanam bahwa yang namanya rumah sakit mahal harus membayar dulu baru dilayani, dan itu memang kenyataan seperti yang saya jelaskan di atas.

Terlepas dari berbagai perdebatan yang mungkin muncul, kasus ini jelas-jelas telah memakan korban. Hingga harapannya kesalahan yang sama tak lagi terulang, sebuah evaluasi yang menyeluruh dari pihak-pihak yang berkepentingan. Sayapun berpikir, betapa beruntungnya Airlangga sebagai cucu dari orang nomor satu di negeri ini. Ketika ia sakit, serentak fasilitas nomor satu tersedia. Perhatianpun sepenuhnya tercurah agar ia dapat sembuh dan sehat seperti sedia kala. Padahal jika dipikir-pikir Dera dan Airlangga memiliki hak yang sama untuk hidup dan menjadi sehat, tapi karena mungkin nasib Dera tak semujur Airlangga yang lahir di keluarga presiden membuat Dera harus kembali cepat pada sang pencipta. Fiuh...

Monday, 18 February 2013

Tidur..

Sungguh kasihan jika melihat kondisi saudari saya ini. Bertahun-tahun berumah tangga dan sudah dikaruniai dua orang anak, hidupnya terbilang masih kurang dari sisi materi. Rumah masih mengontrak, anak sakit-sakitan dan pekerjaan si suami yang masih sama sebagai pengantar barang setelah 15 tahun bekerja, sehingga otomatis penghasilan pun masih sama setelah bertahun-tahun lamanya, kalaupun ada kenaikan tentunya tidak signifikan dengan inflasi keuangan yang gila-gilaan seperti sekarang.

Materi memang bukan segala-galanya tapi setidaknya materi merupakan cerminan akan sebuah kesungguhan dan ketekunan dalam bekerja. Bekerja yang tidak melulu bersifat duniawi tapi juga ukhrowi atau spiritual. Karena filosofinya, materi akan ikut secara sendirinya saat sisi immateri yaitu spiritual dan religiusitas diperbaiki. "perbaikilah akhiratmu niscaya dunia akan menghamba padamu." begitu kira-kira bunyinya. Tapi masalahnya adalah dari sisi ini pun si Saudari ini tak kunjung membenahinya. Sudah tahu hidupnya sangat berat, meminta padaNya pun masih seringkali lalai. Sudah tahu permasalahan banyak, mengiba padaNya pun masih seringkali lupa.

Suatu saat, Ibnu Abbas RA pernah menegur salah seorang anaknya.yang tertidur di dalam waktu subuh. "Bangunlah, engkau tidur saat rejeki dibagi-bagikan". Asumsi saya adalah, si anak ini kembali tidur sesaat setelah selesai mendirikan sholat subuh. Karena hampir tidak mungkin anak seorang sahabat tidak di didik untuk sholat subuh. Itu baru tertidur sehabis sholat subuh dan tarafnya sudah sangat tidak dianjurkan, apalagi tertidur dan melewatkan sholat subuh. Lebih parah lagi. Dan itu yang terjadi pagi ini, saat saya melihat, si saudari ini dan suaminya dengan tenangnya melewatkan sholat subuh, dan hanya mengangguk iya kala diingatkan untuk sholat. fiuh..

Tidur itu nikmat, dan ia rahmat dari sang pencipta bagi hamba-hambaNya yang lelah saat terjaga. Tidur itu pertanda bahwa tubuh ini harus beristirahat sejenak untuk disegarkan kembali melalui mekanisme ketidaksadaran hingga relaksasi perlahan di kala tidur menambah energi seseorang ketika ia bangun nanti. Tidur itu cara mudah melarikan diri dari persoalan. Cukup tertidur maka dengan segera masalah anda seolah hilang. Tapi itu hanya sesaat, setelah bangun barulah anda menyadari kembali bahwa masalah anda masih sama dan belum beranjak pergi. Ironisnya hal ini seringkali dijadikan sarana utama bagi beberapa orang untuk mengobati masalahnya.

Mungkin itu yang dilakukan saudari saya ini. Kala mengetahui bahwa anak-anak sakit, uang belanja menipis, dan otak pun serasa penuh dengan masalah, tidur pun jadi sarana instan dalam menyelesaikan persoalan. Seolah berharap masalah akan berakhir saat ia bangun nanti. Mungkin tidak sebegitunya, tak sampai berharap bahwa masalahnya akan selesai, hanya ingin jeda sesaat dan mengulur waktu dalam kesendirian.

Tiap orang memang punya alasannya masing-masing untuk tidur dan menyelesaikan permasalahannya. Tinggal dilihat sejauh mana apakah cara itu efektif atau tidak dalam menyelesaikan masalah. Logikanya, dengan nasib yang tak kunjung berubah sekian tahun lamanya, idealnya ada sebentuk inovasi dalam berbuat, dan bertingkah laku. Ada sebuah bentuk perbaikan saat tahu bahwa cara lama, seperti tidur, mengeluh, bermalas-malasan, tidak juga memberikan hasil. Tapi memang hal itu sepertinya belum sampai, sebuah kesadaran untuk melakukan revolusi dalam hidup. Entah sampai kapan hanya Allah yang tahu.

Semoga Rahmat dan HidayahNya meliputimu sist..

Sunday, 17 February 2013

Ngemil

Ada dua hal yang membuat pengemil sejati menghentikan aktivitas ngemilnya, pertama karena cemilannya habis, atau yang kedua karena dipaksa berhenti oleh orang lain. Dipaksa itu pun karena dua sebab, sungkan dengan si pemilik cemilan, atau karena si pemilik cemilan dengan terang-terangan meminta anda menghentikan aktivitas ngemil anda. Jelas terlihat dari sorot mata si pemilik yang seolah berkata.."Beli sendiri...minta mulu!"

Ngemil memang asyik, dan semakin asyik kalau cemilan itu punya orang lain. Biasanya jarang-jarang tukang ngemil membeli cemilan sendiri, kalaupun membeli sendiri pasti dihemat-hemat. Kalau bisa cemilan yang dibeli bisa bertahan sangat lama, selama mungkin sampai terkadang lupa kalau di kulkas ada cemilan yang menganggur. Tapi memang cemilan milik orang lain terlihat lebih enak, padahal cemilan punya sendiri yang ada di dalam kulkas sama dengan cemilan milik orang lain. Aneh, fakta pertama untuk cemilan.

Aktivitas ngemil itu mirip-mirip dengan orang yang terindikasi OCD (obsesive compulsive disorder). Tak tahan tuk tidak melakukan sesuatu berulang-ulang. Seolah tangan ini tak bisa berhenti untuk mengupas kulit kacang atau mengambil keripik yang ada di dalam bungkus cemilan. Sehingga jadi sesuatu yang aneh saat berhenti ngemil di tengah jalan, ada rasa gatal untuk kembali mengambil satu lagi cemilan dan melanjutkan lagi ngemilnya. Tapi itu cuma sensasi sesaat, beberapa menit menahan diri dari ngemil, tangan dan pikiran sudah bisa dikendalikan untuk berhenti ngemil. Aneh, fakta kedua untuk cemilan.

Biasanya antara jam sarapan ke jam makan siang ada jeda kosong yang terkadang agak tanggung kalau diisi dengan aktivitas makan berat. Maka ngemil pun jadi pilihan. Terasa menyenangkan memakan cemilan ringan sambil menunggu makan siang. Sehingga tak disangka waktupun berjalan cepat dan tak terasa bobot tubuh bertambah gemuk dan berat. Aneh, fakta ketiga untuk cemilan.

Ngemil itu menyenangkan jika masih ada cemilannya. Jika sudah habis, maka sesaat ada perasaan menyesal saat menghabiskan cemilan tanpa perencanaan yang matang. Padahal bisa saja cemilan itu dimakan nanti di saat-saat yang tepat untuk menemani bekerja, menonton atau aktivitas lainnya. Aneh, fakta keempat untuk cemilan.

Ngemil itu ibarat waktu senggang yang kita miliki. Sangat berharga tuk digunakan sampai-sampai beberapa orang rela mengambil hak orang lain untuk mendapatkannya. Entah bolos kerja, ataupun ijin pura-pura sakit. Sangat berharga hingga tak rela tuk dihabiskan oleh dan bersama orang lain. Waktu luang terkadang membuat kita tak bisa berhenti jika sudah menggunakannya. membuat kita lupa segala hal hingga berakibat buruk bagi diri dan kehidupan. Maka ketika ia pergi, waktu senggang telah hilang, hanya penyesalan yang tersisa karena tidak menggunakannya secara bijak.

Karena waktu luang merupakan nikmat..

Saturday, 16 February 2013

Kesempatan Kedua

Tak ada orang yang luput dari kesalahan, karena fitrahnya manusia memang seringkali lupa. Jadi tak heran pintu pertaubatan dan perbaikan selalu terbuka hingga hari akhir nanti. Harapannya ialah, yang bersalah akan menghapus kekhilafan mereka dengan kebaikan sebagaimana air yang membersihkan noda yang terlanjur mengotori indahnya sehelai kain putih. Hingga nantinya tak ada lagi bekas noda dan kain itu kembali bersih seperti sedia kala.

Kesempatan bertaubat selalu ada tapi seringkali manusia yang lain terlanjur menghakimi dengan mengatakan bahwa yang bersalah takkan ada harapan untuk kembali kepada kebaikan. Kecewa memang, saat kita melihat orang yang kita kagumi melakukan sebuah kesalahan, serasa kebaikan yang ia lakukan dulu tak ada nilainya lagi dimata kita. Tapi mungkin seringkali kita lupa bahwa manusia yang masih hidup memang rentan melakukan kesalahan.

Abdullah Ibnu Mas'ud pernah berkata belajarlah dan ambil hikmah dari orang yang telah mati, karena orang yang masih hidup belum aman dari fitnah. Maka sangatlah naif saat kita terlalu mengagungkan seseorang karena belum tentu si orang itu akan konsisten pada kebaikan, yang patut kita lakukan adalah mendoakan semoga si orang tetap istiqomah hingga ajal menjemput, karena setelah wafatlah baru kita layak menilai seseorang secara utuh.

Sayapun teringat dengan salah seorang tokoh islam yang syahid di medan perang, namanya adalah Thulaihah Al Assad, Thulaihah dari suku Assad. Kalau kita menyimak kisah hidupnya, mungkin kesan pertama kita adalah, Thulaihah takkan punya kesempatan untuk menjadi orang baik. Bagaimana tidak? ia mengaku mendapatkan wahyu dari Allah dan mengaku sebagai Rasul sepeninggal Rasulullah. Iapun sempat berperang melawan Khalid sebelum akhirnya kabur dan menetap di Syam. Coba kita lihat, keburukan apa yang kurang darinya? mengaku nabi, menghapus syariat zakat, dan menghapus beberapa gerakan sholat. Semuanya lengkap.

Tapi yang namanya kehidupan adalah rahasia ilahi. Thulaihah pun bertaubat dan bersungguh-sungguh ingin melunasi kesalahan-kesalahannya di masa lampau. Hingga Abu bakar pun menerima permintaan maaf Thulaihah dan bahkan menganjurkan Khalid bin Walid untuk meminta saran kepada Thulaihah karena ia mengerti betul mengenai wilayah Syam. Meski tak mendapatkan jabatan apapun semasa Khalifah Abu Bakar dan Umar, Thulaihah tak mempermasalahkannya, yang ia tahu, ia harus menunjukkan bahwa ia benar-benar bukan pengkhianat dan telah insyaf sejadi-jadinya.

Maka dengan gagah berani Thulaihah mengikuti berbagai peperangan, diantaranya yang cukup masyhur adalah saat ia berhasil menawan dua pimpinan pasukan persia dan membawanya kepada panglima perang Qadisiyah kala itu, Saad bin Abi Waqqash. Seorang pimpinan persia itu pun mengaku kagum dengan Thulaihah.
"baru kali ini saya melihat seseorang yang sendirian menyerbu pasukan seolah dirinya bagaikan seribu orang." Atas kekaguman terhadap keberaniannya, panglima itupun menyatakan masuk islam dan berperang bersama pasukan muslimin.

Dan puncak kesungguhannya untuk memperbaiki kesalahan adalah saat peperangan Nahawan melawan pasukan persia. Ia kembali pada Rabbnya dengan husnul khotimah sebagai syahid. Titik balik yang sempurna untuk seorang yang bersungguh dalam memperbaiki diri.

Sungguh, kisah Thulaihah memberikan kita banyak hikmah bahwa tiap orang punya kesempatan untuk memperbaiki diri sebesar apapun kesalahannya, tak peduli bagaimana ia dulu tapi yang kita lihat adalah kesungguhannya untuk menutupi khilaf diri di masa kini

Karena Allah maha penerima Taubat.

Friday, 15 February 2013

Togel dan Mimpi


Di kegelapan malam, Maman terbangun dari tidur sambil menghela nafas panjang. Untuk kesekian kalinya, entah tiga kali atau mungkin lebih, dalam seminggu ini ia bermimpi hal yang sama. Di sampingnya berbaring seorang wanita gemuk paruh baya dengan polesan masker putih di wajah dan sebuah jepitan rambut terpasang di kepala. Sosok itu nampak menikmati malam panjang yang penuh dengkuran. Tapi Maman yakin bahwa ia terbangun bukan karena dengkuran si Istri, tapi mimpi itu, mimpi yang sama beberapa hari ini yang membuatnya terjaga.

Ia dengan segera beranjak dari ranjang kayunya, terdengar bunyi reot yang menggema di keheningan malam. Ranjang ringkih ini, yang tak pernah lelah membopong bobot tubuhnya dan sang istri, terlihat makin layak tuk dipensiunkan. Ah tapi nantilah, urusan yang lain masih lebih penting dari sekedar ranjang kasur, kalau istilah si istri
“jangan sok kaya, seenaknya gonta ganti barang, hidup kita ini masih susah, nanti kalau sudah dapat kerjaan yang enak baru berpikir beli yang baru”
Kalau sudah begini, ia pun hanya bisa meringis tanpa bisa memprotes apapun. Keluh si istri sudah jadi santapan rutinnya tiap akhir bulan yang akan semakin mereda seiring tanggal muda yang menjelang.

Di carinya buku itu yang didapatkannya dari penjual buku loak di emperan jalan sekitaran pasar senen tadi siang.
“Bukunya bagus tuh mas, cara cepet kaya menurut primbon jawa. Ada tafsir mimpinya juga” 
Matanya pun berbinar, ini jawaban dari mimpinya dua hari belakangan. Uang sepuluh ribu yang sedianya dibelikan rokok, direlakannya untuk menyambut kesempatan menjadi kaya.

Dibukanya laci meja, lemari baju, tapi buku itu tak kunjung ditemukan. Ia yakin, telah menyimpan buku itu baik-baik di antara tumpukan baju-baju ini, tapi kenapa bisa lenyap begitu saja. Ah iapun ingat, buku itu dipindahkannya ke lemari baju anaknya di kamar sebelah. Tentu saja sangat riskan menyimpan buku itu di lemari baju yang mudah di temukan oleh si istri, yang jika ditemukan akan memancing kembali protes pedas tentang apa yang dilakukannya kini.

Ia pun mengendap berjalan memasuki kamar si anak yang hanya dibatasi oleh sekat triplek dari sebuah kontrakan kecil di kawasan permukiman pluit Jakarta utara. Tempat tinggal yang sangat strategis, karena kemanapun kaki melangkah semuanya serba dekat, dari kamar tidur ke kamar mandi dekat, dari kamar mandi ke ruang tengah dekat. Tak terbayangkan tahun ini adalah tahun ke-limanya menempati kontrakan petak ini, dari satu anak hingga kini tiga anak kecil nampak tertidur pulas berhimpitan dalam ruang pengap ini. Dibukanya lemari baju dari plastik dan mulai mencari buku itu. Nah, ini dia, tertera jelas sebuah kalimat di sampul yang nampak menguning, sebuah tulisan yang tak dimengerti olehnya.

--

Pagi-pagi buta seperti biasanya, ia berangkat menuju gedung perkantoran di daerah Sudirman. Bersama motor Honda butut yang dikendarai, ia berangkat menembus dinginnya pagi, sembari berharap suatu saat dapat mengistirahatkan si motor tua ini. Ah lagi-lagi ia teringat si istri dengan berbagai omelannya, tapi tunggu dulu, hari ini akan berbeda, mimpi itu telah datang tiga kali dan perasaannya mengatakan bahwa mimpi itu pertanda baik. Ia pun berharap si Wahyu dapat menjelaskan apa arti mimpinya berdasarkan buku itu.

Di bawanya buku itu dalam tas kecil di punggungnya dan tak sabar menanti perbincangan dengan salah seorang rekannya di Pantry kantor. Dengan memakai seragam coklat yang mulai tampak lusuh, ia secara seksama menyiapkan minuman dan membersihkan meja kerja karyawan di lantai 6. Setengah jam berlalu dan tugasnya di pagi ini telah rampung, iapun mengisi waktu dengan kembali melihat-lihat buku itu, gambar-gambarnya menarik dan beberapa halaman nampak menguning dan lapuk dimakan usia.

“Yu, lu bisa bantuin gw gak? Tolong cari arti mimpi gw semalem di buku ini.”

Wahyu yang baru saja datang dan belum sempat mengganti baju nampak heran dengan kawannya yang satu ini.

“emang lu mimpi apaan?”

“Gw mimpi ketemu bapak-bapak tua, jenggot panjang sama tongkat ditangannya. Tiga malem ini gw ketemu dia, kira-kira maksudnya apa tuh?”

Wahyu pun tak bisa menjawab, ia hanya dapat membantu temannya mencarikan arti mimpi sang teman di dalam buku yang berjudul. “Primbon jawa biar cepet Kaya”

“dalam buku ini gak ditulis apa arti persisnya, tapi dibilang kalau lu ketemu orang tua kayak gitu, kemungkinan itu jin atau sejenisnya yang bisa lu tanya apa aja”

“oh gitu, jadi gw bisa nanya nomor togel donk?”

Tawa lepas Wahyu terdengar dari ruang pantry.

“jadi lu masih sering masang togel, gila lu, udah ah gw mau kerja, beres-beres ruang supporting dulu”

Dan Wahyu pun berlalu dari hadapan Maman. Nanti malem gw harus Tanya nomor togel sama si orang tua itu.

--

Di malam harinya, ia bertekad untuk bertanya pada si orang tua dalam mimpi. Ia pulang lebih awal untuk mempersiapkan semuanya. Si istri yang menunggu si suami pulang yang berharap sedikit canda rayu di atas ranjang, terpaksa merengut kesal karena si suami telah tertidur pulas. Tak ada pilihan, si istripun ikut menyusul si suami ke pulau kapuk.

Beberapa lama setelah 3 jam tertidur lelap, Maman pun terbangun. Ia belum bertemu dengan si kakek tua. Ia pun berusaha kembali, namun tak kunjung berhasil. Ah kenapa ini. Kenapa orang tua itu tak datang juga. Maman kembali mencoba dan dengan sedikit doa sebelum tidur, ia pun terlelap kembali.

Ia berada dalam ruang kosong berwarna putih, dari kejauhan nampak datang dan semakin dekat sesosok kakek tua yang dinantinya. Nah itu orangnya, itu si kakek tua.

“kek, kira-kira nomor togel hari ini yang muncul apa ya?”

Si kakek hanya tersenyum, dan membalas pertanyaan itu dengan berubah wujud menjadi 3 kucing kecil di dalam sebuah rumah, lambat laun, perlahan rumah itupun menghilang dan seolah hangus berbentuk debu.. Maman terbangun dari mimpi dan merasa bahwa 3 kucing kecil itu berarti angka 3 untuk nomor togel. Ia pun berteriak girang yang sempat membangunkan istri dan tiga anaknya.

“kita bakal kaya, kita bakal kaya..”

Si istri nampak terganggu dan kembali mengeluarkan kata-kata pedas yang tidak dihiraukan oleh Maman.

--

“Pak, sakelar listrik kita ini udah dari kemarin bermasalah, mungkin karena air hujan yang merembes ke dalamnya, tolong dibetulin pak gentengnya, takut nanti ada konsleting.”

“Hm..”

Maman hanya bergumam, ia tak memperhatikan apa yang dikatakan si istri. Ia sibuk dengan kertas togel di tangannya. Nomor tiga, pasti keluar nomor tiga. Berulang-ulang kata-kata itu berputar dalam benaknya, ia yakin kini saatnya ia menjadi kaya.

“Bapak ini, togel terus yang diurusin, rumah kita dulu di urusin, baru togel, itu sakelar listrik kapan dibetulin”

“gak usah protes bu, kali ini pasti tembus, aku pergi dulu ke tempat Bandar, doakan semoga tembus”

Dan si istri pun hanya melihat dari kejauhan ketika si suami beranjak pergi dari rumah kontrakan mereka. Kapan kowe sadar pak.

--
“cihuyy.. gw menangg.. gw menang..”

Maman bagai orang kesetanan. seratus juta di tangan dan segera terbayang kasur baru, motor baru dan pastinya rumah baru untuk ketiga anaknya yang tidak perlu tinggal di kamar pengap mereka lagi.

Suara halilintar sejenak menyadarkannya, hujan deras turun membasahi daerah pluit.  Jadi begini rasanya jadi orang kaya. Si Midah harus tahu, dia kini menjadi suami dari juragan sembako. Terbayang berbagai impian yang kan ia wujudkan nanti bersama sang istri. Ingin segera ia mengabarkan pada anak dan istrinya, tapi hujan deras masih mengguyur pluit dan ia terjebak di rumah Bandar itu.

Hujan pun reda dan ia segera berlari keluar sembari membawa sekoper penuh uang dari si Bandar. Beberapa orang nampak bersungut dan tak menerima kegembiraan Maman. Maman tak ambil pusing, iapun tak peduli pada orang-orang yang mungkin saja merampoknya nanti di jalan. Siapa berani macem-macem, golok gw udah siap melayang.

Di tengah keriangannya, terdengar sayup suara blangwir pemadam kebakaran yang searah dengan jalan pulangnya. Rumah siapa yang kebakaran. Ia pun bergegas mempercepat langkahnya menuju kontrakan. Api membesar, dari kejauhan terlihat daerah permukiman padat pluit hangus terbakar api. Ya Allah, Midah, anak-anak. Dari ujung jalan, terlihat berlari seorang wanita gemuk dengan baju dasternya. “anak kita pak, anak kita terjebak di dalam rumah.” Midah hanya menangis dan Maman pun teringat mimpinya semalam.
Ternyata itu arti sebenarnya..


Thursday, 14 February 2013

27 Tahun Pernikahan.

Dua puluh tujuh tahun memang bukan waktu yang singkat dan bukan pula waktu yang lama untuk hitungan sebuah pernikahan. Angka yang masih standar jika dibandingkan dengan kakek-nenek kita dulu. Tapi kini dengan fenomena kawin-cerai yang merajalela, angka dua puluh tujuh tahun jadi sebuah kebanggaan bagi mereka berdua. Apalagi jika melihat proses mereka bertemu dan menetapkan hati tuk menikah. Sesuatu yang tak pernah terbayangkan oleh orang-orang zaman sekarang.

Mereka bukan aktivis rohis kampus, bukan pula anak dari seorang ustadz yang mafhum dengan proses taaruf. Si lelaki hanya lulusan SAA yang nyaris masuk FKUI kalau bukan karena kondisi waktu itu yang tak memihaknya. Sedangkan si perempuan cuma lulusan madrasah aliyah di Sumatera Barat yang mungkin tak pernah membayangkan bakal menghabiskan sebagian hidupnya di tanah jawa. Mereka hanya dua insan biasa yang berharap sesuatu yang sederhana, semoga dia jodoh saya.

Mereka bertemu setelah si lelaki melihat foto si perempuan yang ditunjukkan oleh sang ibu.
"Gimana? Mau? Dia itu anak salah seorang kerabat kita di kampung, orangnya baik, sholehah, ramah dan.. cantik"
Ia tak bisa menjawab saat itu juga. Ia butuh sebuah saran.
"Tunggu ya bu, istikhoroh dulu. 3 hari lagi semoga sudah ada jawabannya"
Tiga hari kemudian, setelah konsultasi yang panjang ia pun menetapkan hati. Semoga ini yang terbaik.
"Ya sudah bu, coba ajak orangnya kesini, ke jakarta"

Perjalanan si perempuan menuju Jakarta ternyata tak mudah. Ketiadaan maskapai penerbangan murah di kala itu membuatnya menggunakan kapal laut yang memakan waktu 3 hari perjalanan. Sesampainya di Jakarta ia pun akhirnya bertemu dengan si lelaki. Mereka berbincang panjang dan lama ditemani oleh orang tua masing-masing. Singkat kata dan akhirnya keesokan harinya merekapun menikah.

Hah? Cepat sekali..! Gak takut salah milih tuh? Emang udah cinta? Ah paling juga gak lama. dan berbagai pertanyaan yang mungkin muncul setelah membaca cerita mereka. Tiap orang memang memiliki penilaian masing-masing. Tapi jika disimak dari track record keluarga mereka hingga kini, sepertinya mereka memang berjodoh. Alhamdulillah Rumah tangga mereka baik-baik saja hingga sekarang. Materi yang cukup, suasana rumah yang damai, nyaman serta bahagia dengan anak-anak yang beranjak dewasa. Tiga orang anak, Alhamdulillah 2 orang lulusan UI yang telah bekerja di perusahaan milik negara, dan satu orang lagi si bungsu yang masih kuliah di UNPAD.

Hm..Sekali waktu saya pernah menanyakan hal yang serupa kepada si lelaki.
"Emang waktu itu saat memutuskan menikah, udah cinta?"
Si lelaki pun hanya tersenyum dan berkata
"kalau memang sudah istikhoroh dan niat karenaNya semata, insyaAllah Dia yang maha pemberi Cinta akan memberikannya ke dalam hati kita kok"

Baiklah.. nampaknya saya harus banyak berguru pada mereka.

Barakallah Pak, Bu.. semoga langgeng hingga surgaNya.


Wednesday, 13 February 2013

Dua Orang, Beda Zaman, dan Sebuah Persamaan.

Sosok itu berdiri di atas langit-langit rumah, menggelantung dan menatap penuh makna pada seorang penghuni baru yang baru saja menempati 'kediamannya. Silih berganti berbagai jenis penghuni mendiami bangunan besar bergaya tudor di kawasan elit ini, tapi baru sekarang ia merasa bahwa penghuni kali ini berbeda. Gerak-gerik orang itu mengingatkannya kembali pada seorang manusia di kala ia kecil dulu. Tutur kata yang santun, bersahaja, dengan tatapan teduh yang terpancar jelas dari sorot matanya. Ia pun sesekali melihat sosok itu bersujud di keheningan malam sebelum melanjutkan lagi pekerjaannya di sebuah ruangan yang penuh dengan alat serupa tabung bercahaya, cairan, dan kabel-kabel listrik. Ah sungguh, orang itu mengingatkannya pada sebuah kenangan di masa kecil dulu.

Kejadian itu terlampau lama berlalu, ia pun tak dapat menarik persis kenangan yang terendap jauh di dalam memorinya. Yang ia ingat, saat itu dirinya masih bocah ingusan yang diajak menonton aksi pamer kehebatan antara kaumnya dengan seorang manusia. Persis di samping ayahnya ia berdiri dan melihat dari kejauhan dua orang berhadapan di atas panggung. Ia pun mencoba mengingat-ingat suasana saat itu. Di tanah lapang nan tandus, di atas panggung itu, salah satu dari kaumnya berkata.

"Aku dapat segera membawa singgasana itu kehadapan anda yang mulia, sebelum anda beranjak berdiri dari singgasana anda kini"
Jelas terlihat dari kejauhan, ia nampak sangat percaya diri. Pancaran wajahnya penuh keyakinan dan seolah berkata bahwa takkan ada yang mampu menyaingi kekuatannya.
Lelaki dengan panggilan yang mulia nampak mematung dan berpikir sejenak, ia tidak mengatakan sepatah katapun. Ia menunggu seorang lagi, sang penantang yang terlihat berjalan ke tengah panggung, tatapannya teduh dengan sinar cahaya wajah yang tersirat jelas. Dengan santun dan merendah ia berkata.
"Wahai Raja, sesungguhnya tiada kekuatan, daya dan upaya melainkan atas kehendak dariNya. Maka atas izinNya, saya akan membawa singgasana itu sebelum anda mengedipkan mata"

Riuh rendah gemuruh percakapan nampak memenuhi seisi lapangan. Seolah tak ada satupun penonton yang percaya bahwa singgasana yang megah itu dapat berpindah secepat kilat sejauh ratusan kilometer dari daerah di ujung jazirah sana ke daerah bertandus ini. Ia lupa, sungguh lupa apa yang terjadi setelah itu. Ingatan ribuan tahunnya telah melapuk dan hanya menyisakan serpihan-serpihan kecil dari serangkaian puzzle kenangan. Yang jelas saat itu perwakilan kaumnya nampak harus mengakui kekalahan. Dengan sekejap mata, sebuah singgasana telah berdiri anggun di atas panggung. Manusia itu berhasil, ia sungguh hebat.

Ribuan tahun berlalu dan sekarang ia menemukan kembali dan melihat jelas persamaan diantara kedua manusia ini. Sungguh ia tak tahu persis apa sebenarnya yang membuatnya berpikir bahwa kedua orang ini memiliki kesamaan, ingatannya tak lagi setajam dulu. Gerak-gerik, tingkah laku dan sorotan mata teduh keduanya memang mirip, tapi bukan itu, ada hal lain yang membuatnya berpikir bahwa ada kesamaan diantara kedua orang ini. Semacam auara atau sejenisnya, entah apa sebenarnya.

Tetiba sejumput kenangan muncul dari relung ingatan terdalamnya.
Suara itu, bacaan itu yang sama persis seperti apa yang kudengar dari manusia yang ada di lapangan itu dulu. 
Ia pun mencari dari mana suara merdu ini dibacakan. Diikutinya arah suara itu berasal dan sampailah ia di sebuah ruangan di lantai dua. Irama dan bacaan itu sungguh menarik hatinya..
ini, bacaan ini sungguh luar biasa. Terlihat sebuah kitab yang dibaca dengan khusyuk oleh sesosok manusia yang nampak berurai air mata membaca lembaran kertas yang ada dihadapannya.

Ternyata, mereka memiliki kitab yang sama. 

Dan perlahan dirinya pun larut.

Sembari bergumam dalam hati ia berkata, Tak ada kata terlambat untuk sebuah kebenaran. 

Tuesday, 12 February 2013

Martir

Seandainya Muhammad Bouazizi melihat dan mengetahui bagaimana orang-orang mengenangnya, mungkin saja ia akan bangga dengan apa yang terjadi pasca dirinya wafat. Revolusi timur tengah 2 tahun terakhir tak pelak adalah bukti atas aksi yang dilakukan olehnya. Sarjana Muda yang bekerja keras menghidupi keluarga dengan berjualan sayur keliling. Kondisi yang miris saat tingkat pengangguran yang cukup tinggi memaksa seorang pemuda mengacuhkan gelar sarjananya untuk pekerjaan yang tak lain merupakan pilihan satu-satunya. Impiannya sederhana, dapat membeli mobil pick-up dan tak lagi bersusah payah berkeliling dengan memakai gerobak sayurnya yang terlihat makin ringkih.

Tapi takdir sang khaliq berkata lain, sebelum impiannya tarwujud, para polisi Tunisia yang gagah itu mengambil gerobak sayur yang menjadi satu-satunya penopang hidup keluarganya. Dengan alasan melanggar izin usaha, Bouazizi dipaksa untuk menebus gerobaknya yang senilai dengan jumlah penghasilannya selama sehari, 10 dinar. Namun Bouazizi hanya punya 7 Dollar, tak sebanding dengan nilai yang diminta para polisi itu. Iapun menghampiri polisi-polisi itu dan meminta kebijaksanaan mereka, tapi sayang justru pukulan dan hinaan yang didapatkannya. Mendapatkan perlakuan semena-mena, ia pun melapor ke pejabat wilayah setempat, dan kembali tak ada tanggapan positif dari para pejabat itu.

Bahkan pejabat pun tak bisa berbuat apa-apa, jadi kemana lagi ia mesti mengadu? sedang keluarganya menunggu dengan sebuah harapan. Ia pun berjalan menuju gedung putih tempat para penguasa itu duduk manis diantara tangis rakyat serupa dirinya. Ia membakar diri, menjadi martir atas ketidak adilan yang selama ini berkerak menjadi-jadi di sebuah negeri bernama Tunisia. Semua tersadar, rakyat yang tertidur mulai terjaga akan ketidakberesan pemimpin mereka. Aksi Bouazizi bagai sebuah klimaks, titik kulminasi atas mandulnya pisau keadilan. Hingga tak heran efek dari sebuah aksi yang datangnya dari jerit kemarahan rakyat berbuah revolusi panjang, berturut-turut Mesir, Libya dan beberapa negara timur tengah mengalami hal yang sama. Martir Bouazizi menjadi momentum perubahan.

--

Tak ada yang benar-benar berharap menjadi martir. Martir adalah konsekuensi atas usaha mereka dalam memperjuangkan apa yang mereka yakini. Mungkin Muhammad Toha tak pernah mengira bahwa aksinya dalam meledakkan gudang amunisi Belanda di kota Bandung akan memicu perlawanan para pejuang di beberapa daerah di nusantara. Atau saat Arif Rachman Hakim yang tak pernah menduga bahwa namanya akan diabadikan sebagai nama masjid di FKUI atas perjuangannya yang berujung maut.

Martir ibarat pemicu atas sebuah perubahan, ia tak sekedar aksi heroik beberapa oknum yang ingin disebut sebagai pahlawan. Tapi lebih dari itu, Martir adalah akumulasi dari sekumpulan momen, aksi, dan konsistensi dalam berjuang yang diakhiri dengan pengorbanan tak ternilai. Sehingga menjadi martir tak lebih dari sebuah takdir yang kan datang kepada orang-orang yang terpanggil, mereka yang memaknai arti perjuangan lebih dari apapun bahkan melebihi nyawa mereka sendiri.

Martir berarti saksi, menjadi saksi atas segala usaha yang mereka perjuangkan, menjadi syahid jika seorang muslim menyebutnya. Di hadapan Tuhannya mereka bersaksi dengan raga berkalang tanah dan jiwa berselimut ketenangan, bahwa perjuangan tertinggi telah mereka gapai. Saat tak ada satupun pengorbanan yang sebanding dengan nyawa yang tercerabut dari tubuh bersimbah luka.

Maka tak heran jika syahid adalah cita tertinggi dari seorang muslim bila kehidupan mulia tak jua diperoleh.

isy kariman, aumut syahidan. Hidup mulia atau mati syahid.
 

Monday, 11 February 2013

Tentang Saya

Tegar Hamzah Asadullah, Lahir di Jakarta 28 Desember 1986, ia anak pertama dari pasangan Edward J. Lanomi dan Jusmarni. Dibesarkan di Bekasi tempat Ia memperoleh pendidikan dasar di SD Negeri Bumi Bekasi Baru V, pendidikan menengah di SMP Negeri 16 Bekasi dan SMA Negeri 1 Bekasi.

Setelah tamat SMA pada tahun 2005, ia melanjutkan studinya di program studi psikologi, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia hingga memperoleh gelar Sarjana Psikologi pada tahun 2009 dengan skripsi yang berjudul "Hubungan Antara Social Dominance Orientation dengan Group Favoritism : Studi Pada Polisi Lalu Lintas Di Kota Jakarta"

Semasa kuliah ia aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan antara lain di FUSI Psikologi UI tahun 2006, Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) Psikologi UI tahun 2007 dan 2008, serta menjadi bagian dari Program pembinaan mahasiswa PPSDMS Nurul Fikri tahun 2006-2008.

Ia pernah menjadi staf Divisi Human Capital bagian rekrutmen dan seleksi di Bank Syariah Mandiri dalam kurun waktu 2009-2011. Sebagai Recruitment & Placement Officer di PT Permodalan Nasional Madani (Persero) di tahun 2011-2013, dan kini sebagai Corporate Strategist di PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) sejak Agustus 2013.


Bila ada yang ingin berkorespondensi, bisa menghubungi saya lewat

Email : hamzahasadullah@gmail.com
Facebook : /tegar.asadullah
Twitter    : @tegar_hamzah



Pegawai Negeri Sipil

Perjalanan saya di BSM (Bank Syariah Mandiri) dari sekian puluh perjalanan dalam merekrut pegawai berakhir di kota Bengkulu. Seyogyanya saat itu, saya yang akan resign di akhir bulan, tak lagi diberikan 'jatah' merekrut pegawai di luar kota, tapi karena kebutuhan yang mendesak dan SDM di bagian Rekrutmen yang minim, maka sayapun diberikan tanggung jawab terakhir untuk merekrut dan menyeleksi pegawai di wilayah pesisir barat Sumatera.

Bengkulu yang merupakan daerah pesisir baru berdiri sebagai provinsi di tahun 1967. Sebelumnya Bengkulu merupakan Kotamadya yang menjadi bagian dari provinsi Sumatera Selatan. Perkembangan Bengkulu sebagai provinsi nampaknya tak secemerlang Sumatera Selatan ataupun Riau. Tak banyak hal menarik yang saya dapatkan ketika bertandang ke Bengkulu. Paling-paling saya hanya bermain ke daerah pantai panjang, Monumen Hamilton, atau sekilas melihat Rumah Bung Karno ketika dulu diasingkan ke Bengkulu. Selebihnya saya hanya berkeliling kota yang tak sampai 1 jam sudah selesai saya kitari. Mungkin ini yang menyebabkan Garuda Indonesia belum membuka jalur penerbangan ke provinsi Bengkulu.

Hari seleksi pegawai pun tiba, saat itu ada sekitar 60 orang yang mengikuti Psikotes dan Interview. Padahal yang diundang ada sekitar 100 orang peserta, selebihnya tidak hadir. Beberapa orang kawan dari BSM cabang Bengkulu pun mengeluh, mencari pegawai di sini terbilang sulit. Bukan karena jumlah pencari kerja yang sedikit ataupun persaingan antar perusahaan yang ketat, tapi lebih karena mindset yang masih berkembang di masyarakat sana, jadi PNS adalah segalanya.

Di Bengkulu jadi PNS adalah impian, pekerjaannya santai dan waktu kerjanya pun bisa diatur, tak ada aturan yang ketat. Ditambah lagi karena sebagian besar PNS yang diterima adalah 'bawaannya' pejabat atau yang memiliki dana melimpah agar mulus melangkah menjadi PNS, maka mereka pun dengan seenaknya bisa menolak bekerja dan tidak masuk kantor dengan beralasan. "Gw kan udah bayar segini, gw kan saudaranya pejabat ini jadi wajar donk kalau terserah gw kerja kapan aja" dan lain sebagainya.

Maka jadi sesuatu yang spektakuler saat ada seseorang yang bisa lolos murni menjadi PNS di Pemkot Bengkulu. Karena (katanya) hampir 80 persen yang diterima adalah referensi pejabat atau sanggup membayar uang sekian puluh juta. Salah seorang kawan di BSM cabang Bengkulu pun berujar "Aduh Mas Tegar, itu ya temen saya itu si X, dia itu pas waktu kuliah aja kita gak yakin dia bakal lulus kuliah, udah gitu tiba-tiba kemarin dia bisa lolos PNS. Gak mungkin lah dia diterima PNS, bisa diterima kerja aja kita masih ragu, apalagi bisa keteima PNS, ah tapi kami baru ingat, wajar saja dia bisa diterima, dia kan anaknya juragan sawit, duitnya melimpah."

PNS disana itu ibarat deposito, mereka membayar sekian puluh juta lalu akan dicairkan kembali dalam bentuk gaji tiap bulannya dan pensiun di hari tua nanti. Syukur-syukur dapat lebihan dari proyek pemerintah, tapi tak jadi soal bila memang jarang dapat proyekan, status sebagai PNS dan pekerjaan yang santai sudah cukup bagi mereka.

Duh sungguh miris mendengarnya, gaya hidup dengan orientasi santai terkadang jadi sesuatu yang mengerikan. Apapun dilakukan asal bisa hidup enak dan tak perlu lagi susah-susah berpikir, meski dengan membayar puluhan juta agar bisa lolos sebagai PNS. Kini penerimaan PNS tak lagi berdasarkan jumlah kebutuhan pegawai yang berbanding dengan jenis pekerjaannya, tapi lebih karena seberapa banyak yang mampu membayar. Hingga tak heran dana APBD yang semestinya disalurkan untuk membangun infrastruktur dan mensejahterakan masyarakat, kini habis 65 %-nya hanya untuk menggaji mereka-mereka itu. Fiuh..


Sunday, 10 February 2013

Film Aksi Beladiri

Salah satu aktivitas masa kecil yang masih saya lakukan hingga kini adalah menonton film kungfu di layar kaca. Beberapa stasiun TV nasional kerap memutar film-film aksi memukau aktor laga china dan hongkong dalam memamerkan gerak lincah nan indah dalam bertarung. Entah kenapa saya sangat menikmati gaya berkelahi mereka, aksi mereka dalam memainkan senjata bela diri, kemampuan mereka dalam meliukkan dan menggerakkan tubuh dalam sebuah aksi pertarungan. Gerakan mereka sungguh tertata dan presisi, seolah tahu kapan si lawan akan memukul dan kapan harus bertahan dari serangan.

Agak berbeda ketika menonton aksi pertarungan di film hollywood ataupun bollywood. Gaya berkelahinya brutal, dan sama sekali tak menarik tuk disimak. Cuma berbekal kekuatan dan nyali, pertarungan pun terjadi sebatas emosi dan nafsu tuk menyerang. Tak ada yang namanya gerakan meliuk, memutar dan akrobatik. Pertarungan hanya sekedar memukul dan menendang yang berujung pada babak belur di wajah si petarung. Kalau bukan karena jalan ceritanya yang menarik dan efek visualnya yang memukau, mungkin sudah lama saya tinggalkan film-film itu.

Kalau film silat agak mirip dengan film kungfu cina, ada semacam rasa seni dalam berkelahi. Walau tak seasyik ketika menonton aksi jagoan kungfu, petarung silat tak kalah memukau dari aksi jagoan kungfu. Sebut saja si pitung, si buta dari goa hantu, wiro sableng, dan banyak film aksi silat yang cukup melegenda, ditambah lagi saat ini telah muncul genre terbaru dari film aksi milik anak bangsa yang mengangkat seni beladiri silat, The Raid dan Merantau yang mendunia membangkitkan kembali gairah perfilman indonesia yang sempat dikerubuti film hantu dan mesum tak jelas, dan tentunya kembali mengingatkan masyarakat bahwa Seni beladiri Silat tak kalah dari Seni beladiri lainnya.

Dua beladiri ini memiliki nilai-nilai filosofi yang menarik tuk disimak. Adanya falsafah dalam mengendalikan emosi dan nafsu angkara menjadikan beladiri ini tak sekedar ajang unjuk kekuatan. Lebih dari itu si petarung harus terlebih dahulu menaklukan musuh di dalam dirinya sebelum menaklukan lawan yang ada di hadapannya. Maka tak heran seringkali kita lihat bahwa petarung yang lebih tenang dan pintar mengelola emosi yang justru lebih unggul.

Yang paling menarik saat menonton film-film yang penuh dengan aksi tarung adalah kita tidak pernah tahu siapa yang menang hingga film aksi itu berakhir. Besar tubuh, wajah garang dan sederet keunggulan fisik lainnya tak jadi jaminan dalam sebuah pertarungan. Daya tahan dan konsentrasi yang justru berperan besar dalam menentukan siapa yang akan jadi pemenang. Sehingga tak heran yang memenangkan pertarungan mungkin saja si kecil yang tak diperhitungkan.

Maka saya pun melihat, hidup itu tak jauh berbeda dengan film beladiri. Takkan ada yang tahu siapa yang kan jadi pemenang di akhir episode, yang berhasil meraih sukses beberapa puluh tahun lagi. Tinggal kita lihat saja nanti mereka yang paling mampu dalam mengendalikan diri, emosi, daya tahan dan konsentrasi maka dialah yang jadi pemenang sejati.

Saturday, 9 February 2013

Menjadi Spesial



Konon katanya di negara sebesar India dan China, dengan penduduk lebih dari 1 milyar jiwa, membuat seseorang yang lahir dan tinggal di sana harus pintar-pintar dalam mengolah kehidupan.  Kalau sekedar bertahan hidup tentunya tak perlu susah-susah, hanya bermodal pakaian lusuh dan wajah memelas, seseorang dapat hidup disana, tapi kalau ingin lebih dari itu seseorang harus menjadi menonjol dan berbeda dari yang lain.

Tingkat persaingan di sana sangat tinggi hingga memerlukan kerja ekstra keras untuk mencapai posisi yang aman dan nyaman di negara penduduk terpadat. Maka tak heran orang tua di sana mendidik anak-anaknya dengan pendidikan yang keras dan sedini mungkin menanamkan jiwa kompetisi ke dalam kognisi dan alam bawah sadar anak-anak mereka. “Jika kau melihat orang lain melakukan sesuatu, lampaui usaha mereka, kalau orang lain mendapat nilai A, kau harus mendapat nilai A+ jika perlu.” Maka tak heran warga negara keturunan india dan china sangatlah menonjol di berbagai belahan bumi manapun, karena menjadi kompetitif dan spesial telah tertanam sejak kecil di dalam diri mereka.

Menjadi spesial tak kurang merupakan hal yang wajar di dalam sebuah komunitas yang padat. Tiap orang berlomba menunjukkan keahlian mereka agar dilirik dan dipandang istimewa hingga nantinya mendapatkan tempat khusus dengan berbagai keuntungan. Jadi merupakan hal yang wajar saat saya mendengar cerita dari teman-teman yang ikut konferensi di luar negeri ataupun kuliah lintas benua bahwa yang namanya warga keturunan india dan china sangatlah aktif dan menonjol dalam diskusi ataupun aktivitas akademik, walau mungkin bahasa inggris nya pun seadanya,dan apa yang disampaikannya pun biasa saja.

Dampaknya pun mulai terlihat saat ini kala ratusan pemuda india dan china mulai menempati posisi strategis di instansi-instansi ternama di dunia, dari bidang software engineering sampai kedokteran, luar biasa banyaknya. Jelas terlihat kini bahwa menjadi spesial dan istimewa adalah jalan untuk menuju kesuksesan. Memang banyak yang berhasil diantara ratusan pemuda india dan china yang sukses, tapi tak sedikit pula yang akhirnya jatuh dalam jurang frustasi dan depresi. Fiuh.. tak mudah memang menjadi spesial saat ini, apalagi di hadapan dan pandangan manusia. Takkan ada habisnya, karena tolok ukurnya pun terkadang subjektif, tak adil dan tak jelas, yang ada justru kita lah yang akan kelelahan.

Tapi mungkin akan berbeda saat ukuran spesial di mata sang pencipta, yang saya yakini mampu memberikan tolok ukur yang fair dan objektif. Sayapun kembali teringat pada banyak kisah di dalam Alquran, Saat Allah menceritakan beberapa sifat orang-orang mukmin. Mereka orang-orang yang dianugerahi kemudahan di dunia dan kenikmatan abadi di akhirat. Orang-orang yang jauh lambungnya dari tempat tidur saat kebanyakan orang lain terlelap, menyungkur dan sujud di hadapan Rabb semesta alam. Masya Allah, ternyata merekalah orang-orang yang spesial sebenarnya. Diantara jutaan dan milyaran manusia di dunia, merekalah orang-orang yang diberi kemudahan, doa-doanya terkabul dan mendapat perhatian khusus dari sang khaliq. Apalagi namanya kalau bukan spesial saat Allah memperhatikan kita, saat kita meminta dan Ia pun segera memberi, padahal orang-orang di bumi ini luar biasa banyak.

Memang tidak mudah menjadi spesial dihadapanNya, maka dari itu perlu usaha ekstra untuk mencapainya. Jika seseorang menjadi spesial di hadapan bos dan pimpinan dengan sering-sering memperlihatkan diri dan melakukan hal yang istimewa di hadapannya, maka begitu pula dengan Allah. Jadi sering-seringlah menghadiri dan memperlihatkan diri dalam meeting yang dihelat olehNya,  Meeting spesial, meeting romantis di sepertiga malam terakhir, dan meeting usaha di waktu dhuha. Cukup dirutinkan dan mudah-mudahan Allah melihat dan memperhatikan kita diantara milyaran manusia di bumi ini.

*karena menjadi spesial di mataNya lebih berharga dari apapun.