Saturday 9 March 2013

Demokrasi Melodrama Ala PDIP

Di negeri ini, Indonesia tercinta, siapa yang teraniaya dimasa lalu niscaya mendapatkan simpati lebih banyak dimasa depan. Kesengsaraan, ketidak adilan yang mereka terima dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai pembenaran untuk mendukung mereka yang teraniaya. Agar nantinya mereka yang dizalimi bisa bangkit kembali dan berjuang melawan ketidakadilan yang menimpa mereka. Sungguh mengharukan dan sangat melodramatis, pantas jika di negeri ini tayangan sinetron sangat laku dipasaran.

Beberapa contoh melodrama dari mereka yang teraniaya terlihat jelas beberapa tahun ini. Untuk yang baru saja terjadi seperti kasus Jokowi dan Dahlan Iskan. Saat Jokowi dibilang 'bodoh' oleh gubernur jawa tengah dan saat Dahlan Iskan seolah di 'bully' oleh anggota DPR. Untuk kasus Jokowi terjadi saat ia tak bersedia mereklamasi Pabrik Es Saripetojo untuk dijadikan Mall sesuai dengan perintah sang gubernur. Sehingga saking kesalnya, terlontarlah kata-kata 'bodoh' dari mulut si Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo, kepada Jokowi yang dianggap tak tahu apa-apa mengenai masalah reklamasi ini.

Sedangkan kasus Dahlan Iskan berlatar belakang keteguhan Dahlan yang tak mau jika BUMN hanya dijadikan Sapi perah oleh beberapa oknum anggota dewan, hingga membuat anggota DPR meradang karena Dahlan berbicara terlalu banyak dengan mengatakan bahwa ia telah mengantongi nama-nama anggota yang memeras direksi BUMN. Kedua tokoh tadi merespon dengan cara yang mirip-mirip, act like a victim, berperilaku sebagai korban yang ujungnya mendapatkan dukungan dari masyarakat dengan dukungan media.

Gaya Dahlan dan Jokowi sesungguhnya tak asing lagi di negeri ini. SBY dan Megawati telah lama mengadaptasi gaya penokohan seperti ini. Seperti saat SBY seolah dizalimi dengan dipecat sebagai menteri oleh presiden saat itu, dan saat Megawati seolah dianiaya oleh pendukung PDI versi Suryadi lewat peristiwa 27 juli 1996. Kedua tokoh ini telah secara apik mengolah emosi dan simpati masyarakat untuk sebuah daya dorong dan dukungan yang bermanfaat nantinya ketika mereka menokohkan diri dalam pemilu. Terbukti jelas saat SBY dan Demokratnya memenangkan Pemilu 2009 dan saat PDIP serta Megawati memenangkan Pemilu tahun 1999.

Tak ada yang salah dari demokrasi melodrama macam ini, sah-sah saja selama masih dalam koridor yang wajar. Bahkan sangat cerdik karena dapat melihat sebuah celah tuk mendapatkan dukungan walau lewat sebuah drama pencitraan. Untuk sekarang dan sampai seterusnya demokrasi melodrama nampak masih mendominasi ruang berpolitik di negeri ini, bahkan hingga kini saat pilkada di beberapa daerah telah berjalan beberapa waktu lalu.

Demokrasi melodrama tak melulu mengenai siapa yang disakiti dan dipojokkan, karena kini demokrasi melodrama telah bertransformasi secara unik di sebuah partai yang lahir lewat demokrasi macam ini, PDIP dan Ketumnya Megawati. Dimana Mindset melodrama nampak masih tertanam kuat dibenak para pengikutnya yang kemarin bertarung di Pilkada Jabar dan Sumut. Intinya satu, telah terjadi kecurangan dan mereka terzalimi hingga kalah dalam versi hitung cepat.

Wacana melodrama apa daya telah terlanjur mengemuka. Hingga masyarakat mulai jengah dan melihat adanya ketidakcerdasan dari mereka yang menggugat hasil pemilukada. Boleh-boleh saja mengklaim menang seperti pasangan PDIP di Sumut yang mengatakan telah memenangkan pilkada dengan prosentase 32 persen berdasarkan hasil perhitungan manual mereka, atau seperti Oneng di Jabar yang sepertinya akan menggugat hingga level MK.

Tapi coba setidaknya imbangi cara demokrasi melodrama yang masih tradisional dengan konteks kekinian yang lebih scientific dan ilmiah. Kalau memang mau mengklaim menang, coba belajar ilmu statistik dulu dan memahami dulu apa itu yang namanya quickcount, seberapa besar validitasnya dan seberapa reliabel hasilnya. Kalau memang mau menggugat hingga MK, coba jangan emosional dulu dan siapkan data serta informasi tertulis yang valid yang tidak sekedar omongan saksi dari satu-dua orang. Sertakan etika politisi yang berilmu karena sekarang sudah tak zamannya lagi mengedepankan emosi belaka saat berdemokrasi.

Yasudahlah, gregetan saya melihat mereka-mereka ini... Singkat kata, selamat berjuang. Mari buka-bukaan hingga MK, jangan anarkis dan bawa-bawa preman. Negeri ini sudah cukup merasakan dampak kerusuhan yang mengatasnamakan demokrasi.

3 comments:

  1. haha.. oneng bukannya magister dari UI y gar?

    ReplyDelete
    Replies
    1. yoi far, tapi sepertinya, bawaan ceweknya masih sulit diapus.. keseringan PMS kayaknya tuh.

      Delete