Saturday, 16 March 2013

Dibalik Ruang Sidang

Ruangan itu makin terasa mencekam, pendingin udara seolah tak hentinya menghembuskan aura ketakutan yang tak kunjung hilang dari pikirannya.

Oh tolonglah, aku tidak bersalah, bukan aku yang melakukannya. Bodohnya aku, kalau saja bukan karena orang itu. Ah.. sial

“Berdasarkan bukti-bukti yang ada jelas terlihat bahwa Saudara Rios terlibat dalam pembunuhan yang terjadi pada..”

“mohon maaf yang mulia tapi saya rasa pernyataan yang disampaikan penuntut sudah terlalu jauh dan...”
Terdengar suara ketukan palu yang menggema di seluruh ruang sidang.

“Harap tenang.. kepada kuasa hukum terdakwa diharapkan untuk menunggu pernyataan dari penuntut umum selesai dibacakan.”
Hakim pun kembali menyandarkan tubuhnya di atas kursi singgasana sidang, jelas terlihat raut wajah penuh keletihan darinya.

“terima kasih yang mulia, peristiwa pembunuhan yang terjadi pada malam 10 Agustus 2012 merenggut nyawa dua orang korban berinisial NA dan PA, 29 tahun dan 32 tahun, warga di daerah Penjaringan Jakarta Utara. Motif pembunuhan berdasarkan keterangan dari dua orang saksi memperlihatkan bahwa terdakwa memiliki permasalahan dengan salah seorang korban dalam hal hutang piutang. Selain itu terdakwa juga dianggap memiliki dendam yang diakibatkan oleh pertikaian mengenai pengelolaan lahan parkir illegal. Ditambah lagi terdakwa yang saat itu berada di TKP terindikasi menggunakan obat-obatan terlarang sejenis heroin dan dalam pengaruh alkohol berdasarkan hasil tes urin. Di TKP juga ditemukan sepucuk senjata yang diduga dipakai oleh terdakwa untuk menembak korban. Berdasarkan fakta dan bukti yang ada maka tersangka terancam dijerat dengan pasal...”

Pernyataan panjang lebar dari jaksa penuntut umum nampak terdengar sayup-sayup di telinganya. Rios tak mempedulikannya, yang terbayang dalam benaknya kini adalah jeruji penjara yang akan ditempatinya beberapa puluh tahun kedepan. Sebuah kemungkinan yang tak lain membunuh harapannya untuk hidup.
Sidang ditunda setelah pembacaan pembelaan yang cukup panjang dari kuasa hukumnya. Tak satupun uraian kata pembelaan dari sang pengacara yang terekam dalam pikirannya. Semuanya bagaikan mimpi buruk, berulang kali ia berusaha tuk terjaga dari tidur panjang tapi kenyataan berbicara sebaliknya, ini bukan mimpi, ini sebuah realita yang harus dihadapinya. Sembari menuju ruang tahanan, ia berjalan didampingi kuasa hukumnya yang terus memberikan angin segar optimisme,  kondisi kalut dan ketakutan membuatnya hanya menganggukkan kepala mendengar pernyataan dari pengacaranya.

“Tenangkan dirimu, kau tak perlu berbicara banyak, kurasa pernyataanmu kemarin cukup menggambarkan situasi sebenarnya saat itu. Jangan terpancing dengan pernyataan mereka, jawab sesuai apa yang terjadi. Mereka tidak punya cukup bukti untuk menjeratmu, keterangan dua saksi itupun meragukan, satu orang dinyatakan memiliki masalah mental, kebenaran pernyataannya diragukan, sedangkan yang lain memiliki catatan kejahatan yang mengerikan dan kurasa dari hal itu saja kita dapat melihat kualitas kesaksiannya. Lihat? Dua orang saksi dan sebuah bukti yang lemah. Kita lihat putusan sidang besok. Semoga yang terbaik.”

Hanya kalimat terakhir yang terekam di benak Rios. Semoga yang terbaik.  Ya, semoga yang terbaik.

--

Rios kembali berjalan memasuki ruang sidang yang akan memutuskan nasibnya kelak. Persidangan yang berlarut-larut dan kondisi sel yang mengerikan membuatnya frustasi. Ia pun kerap kali mengutuki kebodohannya yang tak sengaja datang mengunjungi rumah seorang kawan lama. Kawan itu pun menawarinya dengan berbagai 'barang baru' dan 'segar', heroin itu dan alkohol yang terhampar bebas di dalam ruangan penuh dentuman lagu pesta. Ia terus menolak tawaran dari kawannya itu, alkohol dan obat-obatan telah lama ditinggalkannya, ia kini bersih. Tapi entah bagaimana sebotol softdrink dari si kawan membuat kepalanya sedikit pusing. oh tidak, ada apa ini.

Beberapa orang nampak meninggalkan ruangan yang menyisakan dirinya, kawannya dan seseorang yang tak dikenalinya yang terlihat makin mabuk. Dalam kondisi setengah sadar, ia pun sempat mendengar adu mulut diantara kedua orang itu yang samar-samar terlihat olehnya saling memegang dan mengarahkan senjata, dan tak lama setelah itu iapun terjatuh tak sadarkan diri diiringi suara letusan senapan.

Keesokan harinya ia pun terbangun dengan sebuah kenyataan bahwa dirinya dijebak, entah apa yang terjadi dan siapa yang melakukan semua ini. Tiba-tiba beberapa dakwaan telah sampai padanya dengan tuduhan melakukan tindak pidana pembunuhan dan penggunaan obat-obatan terlarang. Dua tahun sudah dan ia tetap pada keyakinannya bahwa ia tak bersalah, tak pernah terbayangkan dalam pikirannya menghilangkan nyawa seseorang dan ia tahu, ia takkan mampu melakukannya bahkan kepada orang yang sangat dibencinya.

Pintu ruang sidang berwarna coklat tua membangunkannya dari lamunan, tak terasa jarak dari ruang sidang dan sel tahanan yang jauh, cukup membuatnya mengenang kembali rekaman peristiwa naasnya ini. Disinilah ia berada sekarang, persidangan yang membawanya pada sebuah kenyataan.
Tuhan, aku telah berjanji padaMu, dan kepadaMu lah kini aku berharap.

--

15 tahun berjalan

"Terima kasih tuan.. kau sangat baik."
Gadis kecil itu nampak riang menerima bunga pemberiannya, tapi tidak dengan wanita disamping anak itu. Nampak jelas terlihat sorot mata penuh rasa jijik. Tak apa, toh bukan sekali ini saja ia menerima perlakuan seperti itu.

"Rios, saatnya tiba.."
seorang berbadan besar nampak berdiri disampingnya. Membantu membereskan barang dan pernak-pernik bunga yang dijualnya untuk diangkut kembali kedalam mobil.  Terlihat warna sirine yang menyala dari mobil itu yang kan membawanya kembali.
15 tahun berjalan, dan masih banyak waktu tuk memahami hidup ini.

No comments:

Post a Comment