Sebelumnya hidup hanya dipandang enteng olehnya. Dengan kondisi fisik yang prima dan finansial yang kuat membuatnya merasa jumawa. Seolah dunia tergenggam erat di tangan dan sebebas mungkin dikendalikannya sesuka hati. Tak ada yang namanya kekhawatiran yang ada hanya kepuasan mereguk kenikmatan yang dianugerahkan padanya. Maka hidup sekedar dimaknai dalam lingkup kesenangan diri, tak peduli bagaimana kondisi sekitar yang jelas dirinya dapat bersenang-senang, terlebih kini dimana aturan Tuhan pun diabaikan saat keterlenaan dunia memabukkannya.
Usianya masih tergolong muda, 40 tahun. Untuk ukuran seorang ayah yang sudah memiliki anak berusia 15 dan 11 tahun, fisiknya masih terbilang prima. Tapi entah mengapa, beragam kemudahan dunia seolah tak memberikannya ketenangan. Rumah tangga yang tak pernah sepi dari pertengkaran, dan keresahan yang kerap menghampiri. Ketiadaan alternatif solusi membuatnya makin larut dalam kesenangan yang membutakan, membuatnya makin jauh dari Tuhan yang justru menambah peliknya persoalan yang dihadapinya.
Entah tiga bulan, atau mungkin dua bulan yang lalu, tubuhnya lunglai tak bertenaga. Dirinya yang sedang mengendarai sepeda motor tiba-tiba saja terjatuh tanpa ada kekuatan tuk menopang tubuh dan berat motor. Awalnya tak ada kesan khusus dari peristiwa yang dialaminya, menganggap hal itu dikarenakan kondisi tubuhnya yang tidak fit. Perlahan, sebuah kejadian yang bisa jadi sebuah alarm peringatan hanya dianggap angin lalu olehnya, maka kini satu per satu beragam penyakit mempreteli kesehatannya.
Kesehatan yang menurun memaksanya untuk mengurangi aktivitas yang secara tak langsung membatasi dirinya dalam bekerja. Tak ada perubahan berarti di ragam usaha yang dilakukan agar dirinya kembali prima, dan tak terasa tidak ada lagi pemasukan keuangan akibat kondisinya yang menganggur. Tubuhnya pun makin ringkih, beragam penyakit mulai terdiagnosis menyerang dirinya. Gangguan ginjal, hati, dan penyakit gatal eksim di kaki membuatnya merana, tak ada lagi kesenangan yang dulu dinikmati, kini hanya keputusasaan yang makin menjadi.
Puncaknya seminggu yang lalu. Tubuhnya terkapar tak berdaya di tempat tidur tanpa ada tenaga tuk bergerak. Tubuhnya lumpuh tanpa tahu apa sebabnya. Dada sesak dan lambat laun kesadaran pun perlahan hilang. Ia dengan segera dibawa ke ke UGD rumah sakit. Dokter pun belum dapat mendiagnosis apa penyakit yang dideritanya, kamar ICU yang penuh dan ruang UGD yang minim peralatan membuatnya dirawat seadanya. Kondisinya makin kritis saat perlahan denyut jantung dan nafasnya menurun. Suasana saat itu sungguh sangat mencekam. Si istri yang setia mendampingi hanya dapat menguatkan dan meminta si suami tetap kuat dan terus berusaha melawan sakitnya.
"Ayo pa, ingat adek, ingat abang. kamu sayang kan sama mereka berdua. jangan pergi. tolong jangan pergi"
Si istri hanya menangis di tengah usaha dokter memberi pertolongan.
Seluruh keluarga berdoa untuk kesembuhannya. Tak ada lagi harapan kecuali meminta sang Khaliq memperpanjang usianya, karena tiap orang sangat mengetahui bagaimana hidupnya semasa sehat dulu. Semoga ada setitik keajaiban untuknya. Semoga ada kesempatan kedua baginya. Dengan lafadz tahlil, tahmid, tasbih dari si istri yang setia mendampingi di sisinya, ia pun mencoba mengikuti ucapan-ucapan yang dibimbing sang istri. Kalimat-kalimat yang dulu pernah diabaikannya yang kini menjadi satu-satunya harapan agar Tuhan berbaik hati padanya.
--
2 minggu kemudian
Wajah sumringah terpancar jelas dari raut mukanya. Ia tampak lebih segar dari biasanya, dan yang pasti ada semacam cahaya yang jelas terlihat dari dirinya.
"Jangan lupa ingatkan aku ya, takut lupa kalau sudah bekerja"
Sang istri hanya mengangguk pelan disertai senyuman, tanda kebahagiaan bahwa si suami telah banyak berubah.
"Iya insyaAllah pa, jangan lupa bawa sajadah ya. dimanapun kamu sempat, luangkan waktu disela-sela kesibukan"
Disertai kecup manis dikening sang istri, ia pun pergi melangkah, disertai harapan dari sebuah kehidupan baru. Kesempatan kedua dariNya. Semoga Istiqomah.
No comments:
Post a Comment