Ekstrimnya adalah cuma ada dua kemungkinan bagi manusia kelak jika mereka telah pergi dari dunia ini. Hatta kemungkinan terbaik yaitu masuk surga, ataupun kemungkinan terburuk yakni masuk neraka. Di dua tempat itu manusia kan berlabuh dan menyaksikan bekas amalnya semasa di dunia.
Tapi dua kemungkinan itu adalah kemungkinan ekstrimnya, sedangkan kenyataan yang berlaku di kehidupan kini, tiap manusia memiliki dua kemungkinan saat ia memilih melakukan sesuatu.
Kemungkinan terbaik pasti terjadi kala manusia secara bertahap dan seksama meniti syarat-syarat munculnya kemungkinan itu. Berusaha semaksimal mungkin, berkomitmen tinggi pada pilihan yang telah diputuskan, dan yang terakhir berdoa pada Sang Maha penentu dan pemegang mutlak kehidupan.
Tentunya kemungkinan terbaik ini yang selama ini dicari oleh tiap orang. Kala mereka memutuskan pilihan dan simsalabim, hal terbaik mereka peroleh. Tapi selalu berharap akan datangnya kemungkinan terbaik kadang melenakan manusia tuk menyadari realita bahwa tak selamanya hidup itu sesuai dengan rencana.
Mungkin saja semua rencana itu, dari usaha maksimal, komitmen yang tinggi, hingga doa yang tiada putus tak selamanya berbuah hasil terbaik. Bisa saja yang terjadi justru sebaliknya, kemungkinan terburuk yang malah muncul. Mungkin tak sampai kemungkinan terburuk yang terjadi, karena antara kemungkinan terbaik dan terburuk terbentang sebuah garis kontinum yang bernama kemungkinan baik, agak baik, kurang baik, agak buruk, dan terburuk. Tapi biasanya, seseorang akan lebih tenang kala ia siap menerima kemungkinan terburuk yang bakal terjadi pada dirinya.
Tak selamanya kemungkinan terburuk itu menyakitkan. Ya mungkin untuk beberapa saat, kemungkinan terburuk sangat pahit terasa, tapi selebihnya kemungkinan terburuk kan terasa manis kala nilai-nilai kebenaran dipegang teguh dalam proses yang dijalankan. Tak ada penyesalan saat anda, saya, kita gagal dalam mengusung misi tuk mencapai kemungkinan terbaik kala kita tetap konsisten pada nilai-nilai kebenaran yang kita pegang. Karena kita yakin bahwa setidaknya kesetiaan pada nilai kebenaran dan integritas kan jadi saksi dihadapan Tuhan dan manusia bahwa kita bukan manusia tercela. Yang rela mengorbankan kebahagiaan dan ketenangan jiwa tuk sekedar kebahagiaan dunia yang sementara.
Maka sayapun berpikir, ada kalanya manusia itu harus belajar bersiap menerima konsekuensi terburuk pada apa yang ia lakukan. Setidaknya kerelaan hati dan keikhlasan menerima segala kemungkinan buruk akan membuat manusia lebih menghargai konsistensi dalam memegang kebenaran pada proses menjalankan pilihan yang diputuskan. Karena kebahagiaan sesungguhnya bukanlah terletak pada kemungkinan terbaik ataupun terburuk yang akan didapatkan, tapi terletak pada keteguhan dalam memegang kebenaran dan nilai luhur ketuhanan pada tiap langkah usaha yang diperbuat.
No comments:
Post a Comment