Mencermati Pilkada Jawa barat hari ini(13/4), memaksa beberapa kalangan untuk menyadari potensi kaum muda. Dari 3 pasang calon gubernur jabar, rata-rata telah mencapai usia 50-60 tahun, Dani-Iwan dan Agum-Nu’man. Hanya satu pasangan yang berusia 41 tahun, Heryawan-Dede. Pasangan termuda ini mampu meraup suara 39,4% berdasarkan hasil penghitungan Quickcount. Meninggalkan pesaingnya yang lain ditempat kedua dan ketiga dengan 35,4% untuk Agum-Nu’man dan 25,2% untuk Dani-Iwan.
Fenomena ini menimbulkan tanda tanya dari beberapa kalangan. Karena pasangan termuda ini sebelumnya diprediksi tidak akan mampu berbuat banyak. Bersaing dengan 2 pasangan lainnya yang merupakan calon incumbent membuat peluang mereka nyaris tak terdengar dalam pilkada kali ini. Namun, melihat perkembangan yang ada saat ini membuka mata kita akan sebuah harapan bagi kaum muda untuk berbicara lebih banyak di kancah kepemimpinan nasional.
Kaum muda selama ini seolah terkubur dalam percaturan politik nasional. System regulasi internal partai yang cenderung hierarkis, memaksa setiap kader muda untuk bersabar dalam bersaing dengan kader senior yang lebih diprioritaskan. Merelakan potensi mereka yang besar karena system yang tidak memihak mereka. Maka tidak heran potensi kaum muda ini muncul saat ia telah menempuh hierarki dan memakan waktu yang panjang. Membuat mereka tak lagi fit dalam memimpin.
Salah seorang filsuf spanyol, Ortega, berpendapat bahwa usia 35-40 tahun merupakan usia pemberontakan seseorang dengan rezim dimasa mereka berada, usia 40-55 merupakan usia dimana mereka hendaknya telah memegang tampuk kepemimpinan sedangkan usia antara 60-70 merupakan usia ‘survivor’ agar mereka bisa tetap melanjutkan hidup dan dapat menyaksikan peristiwa-peristiwa yang terjadi saat itu atau saksi sejarah. Berdasarkan pendapat ini, usia seseorang memegang tampuk kepemimpinan idealnya adalah 40-55 tahun. Jangka waktu ideal, 15 tahun semenjak ia memimpin. Bila seseorang masih memegang jabatan hingga melewati masa usia itu, maka terdapat kekeliruan dalam system regenerasi kepemimpinan suatu negara.
Kekeliruan terjadi karena seorang pemimpin memegang tampuk jabatan melebihi rentang waktu ideal. Pak Harto merupakan salah seorang pemimpin yang memegang jabatan hingga melebihi jangka waktu ideal. Tiga puluh dua tahun memerintah, berimbas kepada kaum muda yang seharusnya muncul dalam jangka waktu itu. Menutup pintu bagi kaum muda untuk memegang tampuk kepemimpinan serta mengacaukan siklus kepemimpinan 15 tahun-an. Membuat kaum muda yang ada saat itu mengambil kompensasi atas kekeliruan ini setelah orde baru jatuh. Kompensasi untuk mengambil tampuk kepemimpinan di luar waktu ideal mereka. Dimana seharusnya kaum muda yang ada pada masa itu untuk memimpin bangsa ini. Menciptakan lingkaran setan yang terus berulang di setiap masa.
Melihat kenyataan ini, sudah saatnya kita memutus lingkaran setan degenerasi kepemimpinan. Memberikan kesempatan bagi kaum muda untuk memegang tampuk kepemimpinan. Keunggulan sementara Heryawan-Dede dalam Pilkada Jabar memberikan bukti nyata akan harapan masyarakat terhadap peru bahan yang selama ini dinantikan dari kaum muda.
Oke lah ya.
ReplyDeleteTegar 2008 = 21 tahun
Tegar 2030 = 42 tahun
Gimana?
insyaAlloh...
ReplyDeletesemoga Alloh memperkenankan diri ini menjadi bagian dari perbaikan bangsa...
terus kenapa kalau 42 tahun di 2030?
ReplyDeleteTerus kenapa kalau dah umur 42 tahun?
ReplyDeleteitu membuktikan bahwa bang Habibi bisa berhitung, dan bung Tegar juga bisa berhitung
ReplyDeletegitu aja kok repot