Diskursus seni dalam realita, masih bergelut pada legitimasi penerapannya. Konstruksi paradigma masyarakat hanya melihat seni dari dua perspektif berbeda, boleh atau tidak, hitam atau putih. Legitimasi masyarakat ini membuat potensi seni terreduksi secara perlahan. Padahal karakterisitik seni sebagai luapan ekspresi dan emosi, membuatnya berpotensi sebagai dalih dalam mengkritisi suatu hal, misalnya pemerintah.
Mengkritisi pemerintah layaknya memakan buah simalakama. Bila tak berhati-hati, kritik pedas yang terlontar dapat dipersepsi sebagai sebuah tindakan makar. Namun, jika tidak dikritisi, jalannya pemerintahan dapat keluar dari koridor yang telah diregulasi bersama oleh rakyat dalam sebuah konstitusi. Kondisi serba salah yang terjadi dalam konteks penerapannya dapat diminimalkan pada sebuah tools bernama seni yang diharapkan dapat menjadi solusi.
Seni dapat menjadi solusi dari permasalahan ini. Seni dapat dijadikan dalih dalam mengkritisi pemerintah yang selama ini sulit diterapkan. Hakikat seni yang merupakan luapan emosi dan ekspresi menjadikannya bebas nilai (value free) dalam penafsiran. Setiap orang bebas mempersepsi hal yang berbeda dari sebuah karya seni seorang seniman. Meskipun setiap karya mempunyai suatu tema besar yang menjadi pondasi dari karyanya, namun penafsiran lebih lanjut diserahkan pada setiap penikmat seni.
Penikmat seni menafsirkan setiap karya tergantung pada konteksnya. Ada kalanya seorang penikmat seni mencoba melihat suatu karya hanya didasarkan pada keindahannya, namun terkadang seorang penikmat seni hanya menikmati sebuah karya hanya pada aspek materi dan isi yang direpresentasikan saja tanpa melihat keindahan yang mungkin ada. Sehingga tak heran jika nilai, ideologi dan misi seorang seniman terkadang tergambar dari isi dan materi karya-karyanya.
Karya seni berideologi mempunyai suatu misi. Salah satu misi yang terkait dengan karya seni adalah kritik pada pemerintah. Mengkritisi pemerintah yang keluar dari regulasi konstitusi hendaknya dilakukan dengan cara yang elegan karena tak selamanya kritikan pedas berbuah manis. Kritikan yang pedas terkadang tidak efektif dan mempunyai efek bumerang pada pengkritik. Oleh karenanya seniman dan karyanya mempunyai peluang untuk mengkritisi pemerintah dengan cara yang santun dan berbeda dengan pengkritik lainnya. sehingga terkadang secara implisit tak disadari oleh pemerintah.
Seniman berideologi mempunyai nama besar yang tak kunjung redup dan secara cerdas memberikan makna tersembunyi dari karyanya. Iwan Fals dan Taufik Ismail adalah dua diantara banyak seniman tersebut. Seniman yang berkarya dengan sebuah misi. Iwan Fals dengan lagu-lagunya dapat menyitir persepsi masyarakat tentang sebuah pemerintahan yang sakit. Lagu-lagu yang tidak menyiratkan makna sebenarnya namun dipersepsi sama oleh masyarakat sebagai sebuah kritikan pada pemerintah. Sedangkan Taufik Ismail berkarya lewat syairnya yang menggugah batin masyarakat akan sebuah kekeliruan yang terjadi dalam sistem pemerintahan saat itu.
Keduanya berada pada sebuah kondisi pemerintahan yang represif (baca:orde baru) sehingga memaksa mereka untuk membuat karya-karya yang secara implisit menegur pemerintah. Kondisi yang berbeda dialami oleh seniman masa kini. Kondisi masyarakat yang mengalami euforia reformasi melegalkan mereka (baca:seniman) untuk mengkritisi pemerintah secara terang-terangan. Hingga terkadang meninggalkan nilai-nilai ataupun norma yang menjadi border dalam etika berekspresi.
Etika berekspresi pada seniman tempo dulu tercermin dari kecermatan mereka dalam menempatkan kritikan implisit pada karya-karya mereka. Hingga membuat sebagian besar penikmat seni mencoba memahami lebih dalam setiap bait, setiap syair yang diciptakan oleh seniman. Sebuah momen yang tak lagi terlihat pada seniman masa kini yang sebagian besar hanya mengandalkan syair, bait, dan kata-kata vulgar dalam mengkritik pemerintah. Membuat masyarakat tak lagi cerdas dalam menilai sebuah karya seni sebagai bentuk sarana pengawasan dan kritikan membangun untuk pemerintah.
Oleh karenanya pemikiran masyarakat dan bangsa ini tentang reformasi perlu disegarkan kembali. Jangan sampai reformasi yang dicapai 1 dekade yang lalu hanya menjadi sebuah momentum akhir dari perjalanan panjang bangsa ini. Indikasi masyarakat untuk melihat tujuan akhir dari sebuah reformasi tercermin dari upaya melegalkan segala hal atas nama reformasi. Hatta kritikan pada pemerintah. Kritikan yang muncul dari masyarakat tercermin dari setiap bait dan syair yang terlontar dari para senimannya. Hingga ketika seniman berkata tentang sesuatu yang vulgar dan menghina pemerintah dapat diprediksi sebagai cerminan masyarakatnya.
Kondisi ini mendesak kita untuk melanjutkan diskursus seni yang sempat tertunda. Antara seniman masa kini dan seniman tempo dulu. Dimana seniman tempo dulu dapat menempatkan setiap bait karyanya dalam sebuah kerangka kritik yang manusiawi dan elegan. Berbeda dengan seniman masa kini yang terinfiltrasi euphoria reformasi dan memaksa mereka untuk mengkritik pemerintah secara vulgar dan eksplisit tanpa memperhitungkan dampak yang mungkin muncul dari tindakan mereka.
Sumber : Kolom Budaya, Koran Seputar Indonesia, Minggu, 13 April 2008
Alhamdulillah...tulisan ini di publish di koran sindo edisi 13 April 2008..di rubrik Opini Budaya
ReplyDeletewalau ada kesalahan dalam penulisan identitas yang saya lakukan, insyaAlloh sudah saya klarifikasi ke koran sindo...
....PS:saya tau dari internet klo tulisan saya ini di publish...
Tulisan kamu bagus, dan lebih dari itu, sangat bermanfaat bagi mereka yang mampu mengambil manfaatnya.. ^^
ReplyDeleteTerus menulis ya, Tegar! ^^
like this!!!
ReplyDelete