Semangat, tiada kata lain selain menjadi yang nomor 1.
Fastaqim ! , Faidza azzamta fa tawakal 'alallah
Degenerasi kepemimpinan (PEMIMPIN MITOS vs PEMIMPIN KOMPETENSI)
Oleh
Tegar Hamzah
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Konsepsi ratu adil tidaklah sekedar legenda bagi sebagian besar masyarakat jawa. Akan tetapi lebih dari itu, konsepsi ini melahirkan sebuah skema pemikiran yang mengarah kepada pembentukan perilaku bagi sebagian besar masyarakat yang meyakininya. Sebuah perilaku yang terkait erat dengan proses pencarian sosok ‘satria piningit’ yang membebaskan rakyat dari kesengsaraan.
Sosok ini telah menjadi sebuah obsesi bagi sebagian besar masyarakat khususnya masyarakat jawa, tempat dimana legenda ini bermula. Sebuah obsesi untuk membebaskan rakyat dari kesengsaraan. Sang juru selamat pertama kali di sebut-sebut oleh salah seorang legenda yang pernah diperkirakan menjadi raja di mameneng (kediri) melalui ramalan yang dibuat olehnya, dia adalah Jayabaya.
Ramalan Jayabaya tidak saja terkenal di kalangan masyarakat Jawa, tetapi juga penjajah Belanda. Pada era-penjajahan, berkali-kali terjadi gerakan rakyat mengatas namakan Ratu Adil di berbagai penjuru tanah Jawa. Gerakan ini bertujuan mengusir penjajah Belanda. Menurut laporan gubernur J.P Coen kepada direksi VOC di Belada, disebutkan bahwa penyerangan Sultan Agung atas VOC di Batavia (1613-1645) sedikit banyak di latar belakangi mitos Sultan Agung sebagai sang Adil tersebut.
Sejatinya mitos Ratu Adil hanya merupakan fenomena sosiokultural yang imaginatif, dan sebuah hal yang absurd untuk direalisasikan, tetapi mampu memberikan harapan sekaligus semangat “elan vital” bagi masyarakat pribumi guna melawan penindasan.
Pemimpin Mitos
legenda ratu adil memunculkan sesosok pemimpin yang memanfaatkan legenda ini. Pemimpin yang berlandaskan mitos ratu adil dan bukan pada kompetensi yang dimiliki. Pemimpin-pemimpin ini terkenal dengan sebutan pemimpin-pemimpin mitos. Salah satu karakteristik utama dari kepimpinan ini antara lain usia mereka yang telah senja dan pemikiran yang konservatif. Mereka memanfaatkan legenda ini untuk menutupi inferioritas yang mereka miliki yaitu hal-hal yang telah saya sebutkan di atas, usia yang telah senja dan pemikiran yang konservatif dan non-mutakhir.
Soeharto, soekarno, Megawati, dan pemimpin-pemimpin yang pernah memimpin bangsa ini sebelumnya, merupakan beberapa contoh pemimpin mitos. Berbekal dukungan dari sesepuh masyarakat yang mempunyai pengaruh, sesepuh-sesepuh masyarakat yang satu zaman dengan mereka membuat suatu frame berpikir bagi masyarakat awan untuk memahami konteks kepimpinan sesuai keinginan sang pemimpin mitos.
Pemimpin kompetensi
Kompetensi yang dimiliki terkait erat dengan ide-ide segar yang berkembang. Ide-ide ini merupakan racikan pemikiran mutakhir dari orang-orang yang memiliki usia dan kematangan intelektual yang sedang mencapai puncaknya. Namun, seringkali posisi mereka yang telah mencapai puncaknya terbentur dengan berbagai birokrasi dan konstitusi yang belum memihak mereka, sehingga tidak memungkinkan mereka untuk muncul dikancah kepimpinan nasional.
Degenerasi kepemimpinan dan pemimpin mitos.
Berdasarkan usia dan kematangan intelektual, posisi mereka (baca: pemimpin mitos) saat ini tidak memiliki nilai jual yang tinggi. Usia yang telah mendekati 60 tidak memungkin mereka untuk bersaing dalam urusan pemerintahan yang membutuhkan fisik yang prima. Ortega salah satu filsuf spanyol mengatakan bahwa usia 35-40 tahun merupakan usia pemberontakan mereka dengan rezim dimasa mereka berada, usia 40-55 merupakan usia dimana mereka hendaknya telah memegang tampuk kepemimpinan sedangkan usia antara 60-70 merupakan usia ‘survivor’ agar mereka bisa tetap melanjutkan hidup dan dapat menyaksikan peristiwa-peristiwa yang terjadi saat itu atau saksi sejarah.
Rentang usia 15 tahun semenjak mereka memimpin merupakan rentang usia ideal bagi seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya. Untuk itu, bila usia kepimpinan melebihi rentang waktu itu maka akan terjadi degenerasi kepimpinan seperti yang dialami oleh pemimpin-pemimpin yang lahir pada masa orde baru. Yaitu megawati, SBY, Gusdur, dan pemimpin nasional lainnya.
Saat orde baru memerintah selama 32 tahun, mereka tidak mendapat tempat dan menjadi sebuah generasi kepimpinan yang hilang. Untuk itu mereka mengkompensasi ketidak ikutsertaan mereka dalam kepemimpinan nasional saat itu dengan menduduki tampuk kepemimpinan selanjutnya yang bukan menjadi hak mereka lagi.
Memutus lingkaran setan degenerasi kepemimpinan
Bila frame berpikir ini tetap dipertahankan maka akan terjadi diskualifikasi dan inkompetensi kepemimpinan. Dimana setiap masa bukan ditempati oleh tokoh pemimpin seharusnya, akan tetapi pemimpin mitos yang telah habis masa jayanya. Membaca salah satu hadits dari Rosul “setiap pekerjaan yang tidak dikerjakan oleh ahlinya, tinggal tunggu saja kehancurannya”. Setiap masa yang tidak ditempati oleh pemimpin kompetensi, tinggal tunggu saja kehancurannya.
Salah satu solusi dari hal ini adalah mengakomodir terpilihnya pemimpin kompetensi sebagai solusi masalah bangsa. Dengan mengubah konstitusi yang melarang calon perseorangan untuk maju sebagai calon independen pada pemilihan kepala daerah atau pemilihan umum. Sehingga bibit-bibit pemimpin kompetensi dapat tumbuh tanpa terhalang birokrasi partai politik yang lebih berpihak pada kepentingan pemimpin mitos.
solusi selanjutnya adalah menyegarkan kembali perspektif masyarakat mengenai kepemimpinan nasional. Bahwa pemimpin yang adil dan baik tidak selalu diindentifikasikan sebagai ratu adil yang berusia lanjut, terlihat sepuh dan lainnya. Namun, seorang pemimpin yang telah mencapai masanya untuk memimpin sebagai implikasi dari pola regenerasi kepemimpinan nasional.
semangat tegar!! semoga sukses!
ReplyDeletesubhanallah..cie2..bapak ketua MPM qte..sukses ya!!!
ReplyDeletemakasih...kamlito...he..he..
ReplyDeleteyah...semoga gw bisa menyelesaikan karya tulis ini tepat pada waktunya..
makasih yun..
ReplyDeletedoakan saja semoga mendapatkan yang terbaik...
udah kubaca..tapi masih ngga bisa ngasih masukan hiks..hiks..maaf ya..
ReplyDelete