Tuesday 24 February 2009

Trend Sentralisasi

Awalnya sentralisasi identik dengan paham sosialis. sebuah ideologi yang muncul sebagai reaksi atas liberalisme. Berbeda dengan Liberalisme yang menjunjung tinggi individualitas, Sosialisme menitikberatkan pada koletivitas terhadap usaha individu dalam kelompok untuk saling mensejahterakan satu sama lain. maka tak heran jika ciri utama dari paham ini adalah pemerataan sosial dan penghapusan kemiskinan. Yang dimungkinkan terjadi jika terdapat satu komando kepemimpinan terpusat (sentral) yang berwenang dalam menyetarakan hak-hak individu.

Hal ini pernah terjadi di Indonesia. 32 tahun di dalam rezim orde baru nampaknya dijadikan pelajaran. Dimana sentralisasi pemerintah mengakibatkan terhambatnya sebagian besar sistem ekonomi, sarana/prasarana di daerah. Idealnya hal ini tidak terjadi, jika pemerintah dapat mengalokasikan secara adil pendapatan pusat pada daerah ataupun pendapatan daerah yang disetorkan pada pemerintah pusat. Namun, yang terjadi justru sebaliknya alokasi tak jelas dan disalahgunakan oleh pimpinan daerah kala itu.

Tentunya Indonesia belajar dari pengalaman. Sistem sentralisasi berubah menjadi desentralisasi saat reformasi bergulir. Kewenangan daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri akhirnya terwujud. ditambah dengan adanya UU tentang Otonomi daerah, jadilah sistem ini (desentralisasi) menjadi sebuah trend yang diminati pada fase-fase awal reformasi. Namun kini, trend tersebut nampaknya telah hilang kepopulerannya. setidaknya di tataran yang lebih mikro. Mari kita tengok satu persatu.

1. Universitas Indonesia
keuangan dan administrasi kini terpusat. Hingga setiap persoalan yang terkait keuangan dan administrasi harus diketahui oleh pihak rektorat. Dekan pun dipilih oleh rektorat. Dimana salah satu kriteria utama yang saya dengar dalam pemilihan dekan adalah sejauh mana si calon dekan dapat menyanggupi dan bersedia menerima arahan dan putusan dari rektor. Kalau ia sepenuh hati patuh pada rektor, maka terpilih lah ia. Saya pun berpikir Bahkan untuk sekedar meminta izin tempat memakai ruangan di fakultas nantinya harus mengurus ke rektorat. Betapa merepotkannya.

2. Sistem dan Struktur DK
dulu desentralisasi, dimana setiap daerah ada pemimpinnya masing-masing. Kini menjadi terpusat, menghegemoni keseluruhan sistem, dan tak ada lagi pemimpin daerah. kini yang ada hanya koordinator, gubernur kalau memakai istilah dari salah seorang kawan. Boleh-boleh saja jika karakter masing-masing daerah dipahami dengan baik oleh pusat. Namun yang terjadi adalah kesan otoriter dan arogan. Tanpa mempertimbangkan kekhasan setiap daerah dan individual differences tiap anggotanya. Tapi tetap, saya berpandangan mungkin ini yang terbaik untuk saat ini.

3. Stasiun TV Nasional
Pemerintah memastikan bahwa mulai Januari 2010, lembaga penyiaran stasiun televisi nasional akan dihapuskan. Sehingga nantinya yang dapat beroperasi secara nasional hanya TVRI. Keputusan ini merujuk pada UU No 32/Th.2002 tentang Penyiaran Berjaringan dan Peraturan Menkominfo No 32/Per/M.Kominfo/12/2007 mengenai penerapan sistem jaringan lembaga jasa penyiaran televisi. Mungkin maksudnya baik agar terjadi desentralisasi penyiaran dan tidak lagi ada sentralisasi penyiaran yang hanya berada di Jakarta. Tapi saya melihatnya sebagai sebuah sentralisasi informasi pada satu stasiun televisi yakni TVRI saja.

Itu beberapa contoh dari trend sentralisasi yang berkembang. Menariknya adalah hal ini terjadi kala negara kita menggaungkan sistem desentralisasi. Padahal dulu saat indonesia identik dengan sistem sentralisasi, dalam lingkup yang mikro banyak yang menerapkan sistem desentralisasi. Mungkin ini yang namanya kompensasi dan reaksi atas kekecewaan sistem sentralisasi Indonesia terdahulu. Entah lah, yang jelas Sentralisasi kembali menjadi trend dan sepertinya lebih baik dalam aplikasi di lapangan dibandingkan rezim orde baru.

13 comments:

  1. gosipnya, BOPB juga mo pake sistem sentralisasi loh..
    silakan cari kebenarannya sendiri ^__^

    ReplyDelete
  2. serius??
    wui,,
    tambah tambah saja universitas kita ini,,

    ReplyDelete
  3. kebalikan ya ama trend otonomi daerah?

    ReplyDelete
  4. emang bakal ada bedanya sama yang sekarang i? kayanya ga juga, mestinya UP juga tuh, tapi pasti bingung ya, soalnya di FIK agak alot (sangat) kalo UP

    ReplyDelete
  5. Ada postifnya juga, karena dengan sentralisasi, gak akan ada lagi raja-raja kecil yang arogan..

    ReplyDelete
  6. Tegar said: "sejauh mana si calon dekan dapat menyanggupi dan bersedia menerima arahan dan putusan....."
    Emang sentralisasi biasanya jadi lahan subur buat KKN (Kenalisme, Kawanisme dan Nurutisme).
    Seperti kata pepatah "tak kenal maka tak kawan, tak kawan maka tak nurut"
    Kalo gw jadi pemimpin yang punya wewenang sebesar itu gw juga bakal pilih orang-orang yang 'sevisi'(baca: nurut) dengan gw. Gak peduli penerimaan masyarakat kayak gimana, toh bukan gw ini yang langsung berhadapan dengan masyarakat.

    Oiya sentralisasi juga menuntut pemimpin untuk turun langsung ke bawah. Susah buat pemimpin bertipe 'koala' untuk beradaptasi dengan sistem terpusat. KOALA yang kerjanya makan daun ekaliptus di atas pohon trus turun kebawah kalo maw minum aja (punya keperluan). kalo karakternya gak kuat-kuat amat mending desentralisasi daripada besar pasak daripada tiang.

    ReplyDelete
  7. sejauh mana si calon dekan dapat menyanggupi dan bersedia menerima arahan dan putusan dari rektor.
    Emang biasanya sentralisasi biasanya jadi lahan subur buat KKN (Kenalisme, Kawanisme dan Nurutisme).
    Seperti kata pepatah "tak kenal maka tak kawan, tak kawan maka tak nurut"
    Kalo gw jadi pemimpin yang punya wewenang sebesar itu juga gw bakal pilih orang-orang yang 'sevisi'(baca nurut) dengan gw. Gak peduli penerimaan masyarakat kayak gimana.

    ReplyDelete
  8. sejauh mana si calon dekan dapat menyanggupi dan bersedia menerima arahan dan putusan dari rektor.
    Emang biasanya sentralisasi biasanya jadi lahan subur buat KKN (Kenalisme, Kawanisme dan Nurutisme).
    Seperti kata pepatah "tak kenal maka tak kawan, tak kawan maka tak nurut"
    Kalo gw jadi pemimpin yang punya wewenang sebesar itu juga gw bakal pilih orang-orang yang 'sevisi'(baca nurut) dengan gw. Gak peduli penerimaan masyarakat kayak gimana.

    ReplyDelete
  9. sejauh mana si calon dekan dapat menyanggupi dan bersedia menerima arahan dan putusan dari rektor.
    Emang biasanya sentralisasi biasanya jadi lahan subur buat KKN (Kenalisme, Kawanisme dan Nurutisme).
    Seperti kata pepatah "tak kenal maka tak kawan, tak kawan maka tak nurut"
    Kalo gw jadi pemimpin yang punya wewenang sebesar itu juga gw bakal pilih orang-orang yang 'sevisi'(baca nurut) dengan gw. Gak peduli penerimaan masyarakat kayak gimana.

    ReplyDelete
  10. Bisa iya, bisa enggak.
    Jangan-jangan malah di kudeta...
    kaya rezim monarki absolut prancis yang kandas oleh revolusi prancis...
    ato kekuasaan terpusat gereja yang berakhir dengan tragis oleh renaisance...
    ato rezim orba yang berakhir dengan reformasi....

    Ato justru menimbulkan apatisme karena daerah gak bisa mengaktualisasikan diri.

    ReplyDelete
  11. Bisa iya, bisa enggak.
    Jangan-jangan malah di kudeta...
    kaya rezim monarki absolut prancis yang kandas oleh revolusi prancis...
    ato kekuasaan terpusat gereja yang berakhir dengan tragis oleh renaisance...
    ato rezim orba yang berakhir dengan reformasi....

    Ato justru menimbulkan apatisme karena daerah gak bisa mengaktualisasikan diri.

    ReplyDelete
  12. @jarwo:
    Coba ambil contoh sentralisasi khulafaur rasyidin deh..

    ReplyDelete
  13. Khulafaur rasyidin???
    Semua sahabat itu syahid dibunuh, pemberontakan dimana-mana iya kan??
    misalnya kasus perang ali vs aisyah,
    kasus utsman yang dianggap nepotisme,

    Kalo di era khilafah, kasus hukuman mati buat imam ahmad karena ia berbeda pendapat dengan khalifah...

    Yang jelas semua sistem ada baik buruknya, tinggal kita cari mana yang paling sesuai dengan kondisi kita. untuk negara mayoritas cerdas terdidik kekuasaan penuh terpusat dapat mengebiri potensi yang ada.

    ReplyDelete