Ayah dan putranya. Mereka selalu berdua, bersama menuju masjid di dekat rumahku untuk menunaikan kewajiban bagi seorang muslim. Sholat berjamaah. Meski si anak masih kecil dan tentunya belum mengerti apa dan mengapa sholat berjamaah. Tapi terlihat dari mimik wajah si anak dan celotehan riangnya, betapa ia menikmati kesejukan hati di rumah Tuhan.
lalu si ayah, begitu setia menyertakan putranya di setiap waktu-waktu sholat. terutama di waktu sang ayah selepas pulang bekerja, maghrib ataupun isya. Penanaman nilai mahabbatulloh telah ditekankan si ayah semenjak sang anak kecil.
Begitu indah melihat mereka berjalan berdua. Melihat genggaman si anak yang memegang erat jari si ayah hingga tak seluruhnya tergenggam, jari si ayah terlampau besar untuk tangan-tangannya yang mungil. Dan betapaku semakin melihat keindahan itu kala menyadari ada sesuatu dari si anak yang membuatku semakin terharu melihat mereka berdua berjalan beriringan menuju rumah Tuhan.
Si anak ternyata menderita mental retardation. Ia tidak mampu beradaptasi layaknya seorang anak berusia 7 tahun. Ia masih harus dipakaikan baju, disuapi, dan masih harus memakai popok untuk mengantisipasi kemungkinan ia buang air secara tiba-tiba.
Tapi si ayah nampaknya tak mempersoalkan kondisi putranya. Ia dengan setia mendengar celotehan si anak, mendengarnya kala menangis di masjid, tersenyum padanya kala ia berhasil memakai sendalnya sendiri. Setiap waktu episode ini terulang kala aku sempat sholat berjamaah bersama mereka.
Hingga untuk ke sekian kalinya ku melihat mereka berjalan beriringan diwaktu sore. Rasa kagum ku tak pernah pudar. Saat si ayah,tanpa rasa bosan, kembali dan kembali membawa sang putra mengenal Robbnya walau mungkin ia menyadari akan terus seperti ini hingga akhir waktu.