Monday 1 September 2008

kebahagiaan itu..

Bahagia rasanya mendengar hal itu dari lisannya. Dengan mengulurkan tangan ia berkata "gimana kabarnya calon psikolog kita?" disertai tepukan hangat pada pundakku mengiringi senyum manisnya. "ah..doain aja pak, supaya lancar" jawabku seraya berusaha menenangkan hati mendengar pujiannya. "insyaAlloh ane selalu doain antum" wajahnya menyiratkan keseriusan. Mimik wajah yang kuingat pernah terlukis saat dulu, sewaktu menunggu pengumuman SPMB.

Ya..ialah guruku. Lebih tepatnya guru ngaji yang akrab dengan panggilan ustadz Subakir. Beliau memiliki perawakan kurus dan sedikit lebih tinggi dariku. Meski begitu performa tubuh selalu beliau jaga, karena beliau adalah imam di masjid dekat rumahku, masjid At-taqwa. Tugasnya sebagai imam mungkin yang menuntutnya untuk menjaga stamina tubuh. Sehingga tak heran seminggu sekali, sepengetahuanku, beliau selalu berolahraga di lingkungan kompleks rumahku.

Itu aktivitas beliau dari sisi jasmani. Dari sisi ruhiyah beliau lah salah seorang yang berjasa mengantar anak-anak di lingkungan kompleks rumahku menjadi sukses. Setidaknya dari sisi ruhiyah. Karena beliaulah yang dulu mengajar kami, mendidik kami untuk belajar membaca, menulis, ataupun sekedar menghafal doa sehari-hari. tak segan beliau menuntun kami sedari awal. Walaupun terkadang kami sering kali membuatnya kesal dan marah.

Pernah suatu saat, dikala aku masih duduk di bangku kelas 6 SD. Beliau menyuruh kami untuk menghafalkan sebuah surat dari juz 30. Mungkin karena kami memang bandel, kami pun tidak mengindahkan perintahnya. Bahkan cenderung bermain dan bercanda-canda dalam menghafalkan Qur'an. Mulai dari sinilah aku melihat kemarahan yang memuncak dari dirinya. ia marah kepada kami dan membuat kami tersadar untuk tidak bermain-main lagi dengan ayatNya. Aku pun lupa apa kata-kata yang beliau keluarkan. Tapi yang paling ku ingat adalah setelah itu kami diharuskan menghafal seminggu satu surat di juz 30. Sebagai hukuman atas tindakan kami. Bila kami tidak berhasil menghafal 1 surat pada minggu itu, konsekuensinya adalah kami diharuskan membersihkan WC masjid. masyaAlloh, WC masjid? bukan karena kotornya yang membuatku tak ingin membersihkannya ataupun karena banyak noda di dalamnya. Tapi karena aku cenderung malas membersihkan sedetail mungkin hingga ubin WC itu bersih.

Akupun baru merasakan manfaatnya ketika beranjak SMA. Dengan dorongan dan pemicu dari beliau. Akupun berhasil menghafalkan 1 juz itu. Luar biasa perasaan yang kurasakan saat itu. Tak terbayangkan sebelumnya akan dapat menghafalkannya. Walaupun terkadang hingga kini, aku sering kali lupa surat-surat ataupun ayat-ayat tertentu dari juz itu. Tapi alhamduilillah tetap terekam dalam memory.

Kini beliau telah memasuki usia setengah abad. Jasa dan pamrihnya bagi kami tak terhitung oleh apapun. Hingga masa-masa memasuki dunia kampus pun, beliau iringi doa untuk keberhasilan ku. Mungkin hadirnya ku di kampus ini berkat salah satu doa yang beliau panjatkan padaNya.

Percakapan yang singkat diawal tulisan ini hanya sekelumit pengalamanku di lingkungan rumah selama dua hari. Singkat memang, tapi kaya makna dan hikmah. Akupun tidak memungkiri masih banyak hutang yang kupunya pada lingkungan tempat tinggalku. Pada masjid, Ustadz Subakir, para jamaah dan teman-temanku. Akupun ingin secepatnya melunasi hutang itu. Agar mereka dapat merasakan sebentuk rasa syukur telah dilahirkan di tengah-tengah mereka.

No comments:

Post a Comment