Thursday 25 September 2008

Post Power Syndrome dan Mozaik tiga pemimpin

Kini layar kaca Indonesia menyuguhkan tayangan baru dalam setiap pemutarannya. Menampilkan para calon RI 1 dalam berbagai macam drama dan parodi. Ada yang meyakinkan para pemirsa (baca:rakyat Indonesia) dengan jargon yang ia gaungkan. "hidup adalah perbuatan" , "saya berjanji akan mengabdikan separuh hidup saya untuk menyejahterakan rakyat indonesia".  Atau bahkan ada juga yang bermain peran dengan menunjukkan keberpihakan yang besar bagi rakyat miskin dan juga para petani dan nelayan.

Tak tahu apa yang ada dibenak mereka. Tapi sepertinya pola pikir yang kini terbentuk adalah kepemimpinan hendaknya diusahakan. Atau bahasa lainnya kepemimpinan harus diminta. Tak zamannya lagi kepemimpinan ala Abu Bakar R.A yang secara jelas mengatakan "innalillahi wa inna ilaihi rojiun" ketika pertama kali menerima tampuk kekhalifahan. Yang kini ada bahkan bertolak belakang. Mereka (lazimnya pemimpin sekarang) bersujud dan bersyukur atas amanah yang mereka dapatkan. Pola pikir tentunya cerminan perilaku. Ketika seseorang menganggap jabatan sebagai pemimpin adalah sesuatu yang berharga dan prestisius. Hingga mereka bersujud dan menangis bahagia untuk itu. Maka ia akan setengah mati mempertahankannya. Dan tentu saja akan sakit sejadi-jadinya ketika itu hilang dari diri mereka.

Inilah bentuk nyata dari apa yang pernah kita dengar sebagai post power syndrome (PPS). Menurut beberapa literatur yang pernah atau sempat saya baca, PPS adalah perubahan suatu keadaan yang tadinya menguntungkan menjadi tidak menguntungkan seperti kehilangan pekerjaan, jabatan, atau kehilangan status sosial ekonomi. Karena ia tidak lagi memegang status dan jabatan tertentu maka ia merasa ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Dan seringkali orang yang mengidap PPS masih merasa memiliki kekuasaan. Sering menyuruh orang lain, mengatur sana-sini, dan lainnya. Ketika ia menyadari bahwa ia tidak lagi memiliki jabatan dan status itu maka gangguan psikologis mulai menyerang. Stress, uring-uringan, atau bahkan depresi.

Sebagai sedikit perbandingan, tengoklah beberapa pemimpin yang mungkin kisahnya dapat menjadi renungan kita bersama. Sebuah gambaran pemimpin yang tidak mengalami PPS.

1. Khalid Bin Walid
Panglima besar dimasa keemasan Islam. Terkenal dengan julukan yang diberikan Rosul "Syaifulloh" si pedang Alloh. Dimasa kekhalifahan Abu Bakar R.A ia ditunjuk menjadi panglima perang. Dan di setiap peperangan yang dipimpinnya hampir selalu diwarnai dengan kegemilangan. Namun, tak disangka di masa kekhalifahan Amirul Mu'minin Umar bin Khattab R.A, ia dicopot dari jabatannya. Lalu? bagaimana kondisi Khalid saat itu? apakah ia uring-uringan seperti layaknya pemimpin kini? Tidak kawan, ia sama sekali tidak mengalami frustasi, atau bahkan depresi. Ketika panglima perang digantikan oleh Abu Ubaidah, ia tetap turut berperang. Bersama mukmin lainnya, bahu membahu dibawah panji Islam. Walau kini ia hanya menjadi prajurit biasa seperti yang lain. Ketika ia ditanya bagaimana perasaannya ketika ia dicopot secara sepihak oleh Umar. Keluarlah sebuah kata mutiara yang kan dikenang sepanjang masa. "aku, khalid bin walid, tidak berperang untuk Umar. aku berperang untuk Alloh Azza Wajalla."

2. Nelson Mandella
Ketika politik Apertheid masih berjaya di Afrika selatan, ia hanya menjadi tawanan di salah satu penjara. Berjuang melawan penindasan yang berujung pada penderitaan dirinya. Ketika mata dunia sudah terbuka bahwa perbedaan warna adalah keniscayaan, peluang dirinya untuk bebas kian nyata. Hingga singkat cerita ia menjadi presiden Afrika Selatan kulit hitam pertama. Ironis, mengingat mayoritas rakyat afrika selatan adalah ras berwarna.
Pemerintahannya berjalan beberapa tahun. Ketika dirinya sedang berada pada puncak karirnya sebagai pemimpin. Secara tidak terduga ia tidak maju kembali di pemilihan presiden berikutnya. Ia lebih memilih untuk kembali menjadi rakyat biasa dan menyerahkan pucuk kepemimpinan kepada kaum muda yang lebih berpotensi. Sungguh unik apa yang dilakukan mandella. Berbeda jauh dengan kondisi di Indonesia saat ini.

3. Lech Walessa
Lech Walesa adalah tukang listrik yang ikut memimpin perjuangan kaum buruh menggulung partai komunis di Polandia. Ia lalu jadi presiden Polandia di tahun 1990. Pada tahun 1995 Walesa kalah dalam pemilu dan turun dari jabatan presiden. Ia kembali jadi buruh, jadi tukang listrik di galangan kapal Gdansk dengan gaji kira-kira 500.000 rupiah sebulan. Ketika ditanya kenapa kembali jadi tukang listrik, sang mantan presiden memberi alasan: masih terlalu muda untuk pensiun dan tidak punya cukup uang untuk hidup (freedom-institute.org).

Ketiga pemimpin ini memberikan kita sebuah hikmah, bahwa kekuasaan sebagai pemimpin tak membuat kita memahami bahwa ia harus menjadi bagian dari kita. Ia hanyalah sebuah sarana untuk mengabdi dan memberikan pelayanan yang lebih kepada orang-orang yang membutuhkan. Ketika memang kita dibutuhkan untuk mengemban amanah ini, berarti paradigma yang terbangun adalah paradigma memberi (give) dan melayani. Bukan paradigma mengambil (take). Yang kini mau tidak mau, suka tidak suka tercermin dari parodi yang ditampilkan oleh para calon RI 1.
Dan nampaknya PPS kan terus berlanjut dikalangan pemimpin bangsa ini.
 
 
 

3 comments:

  1. Trus Bang Ega mau jadi calon pemimpin bangsa yang ikut ngerasain PPS?

    Hati-hati Bang...

    ReplyDelete
  2. itulah alasan saya menolak waktu saya di calonkan jadi ketua BEM atau ketua Senat Gar..
    takut gag amanah..
    ^ ^

    ReplyDelete
  3. bukan contoh yang tepat mengingat kondisi bangsa saat ini yang kebingungan dengan idealisme kepemimpinan

    ReplyDelete