Bismillah.
Dari informasi yang dulu pernah saya dapatkan ketika kuliah, seseorang dianggap cerdas ketika Usia Mentalnya (MA – Mental Age) lebih tinggi dari usia sebenarnya (CA – Chronologicall Age), jadi sederhananya begini, Usia si anak misalkan 7 tahun, tapi dia telah mampu melakukan pekerjaan ataupun memiliki pengetahuan dari seorang anak berusia 9 tahun, berarti anak tersebut secara mental lebih dewasa 2 tahun dibanding anak-anak seusianya. Dengan kata lain semakin kompleks cara berpikirnya dibanding anak-anak seusianya, semakin dianggap cerdas anak tersebut
Kompleksitas, kerumitan, menjadi tolok ukur perkembangan kecerdasan seseorang, semakin rumit dan kompleks cara berpikirnya, semakin dianggap cerdaslah ia. Lazimnya ini yang dipahami oleh sebagian besar orang. Begitu pula dengan saya, pernah suatu kali saya membaca tulisan saya ketika SMA dan membandingkannya dengan tulisan saya ketika kuliah. Alhasil adalah, saya tersenyum, kata-kata yang digunakan sederhana, idiomnya pun tak ada, frase antar kalimat juga biasa saja. Wah, kalau bikin proposal penelitian atau makalah seperti ini, bisa-bisa gak bakal tembus sama dosen.
Dikarenakan perkembangan pola berpikir manusia menjadi lebih cerdas (baca:kompleks) membuat seorang menjadi lebih kritis dan berhati-hati. Pertanyaan-pertanyaan muncul tatkala ada sesuatu yang dirasakan menggelitik logikanya, kenapa seperti ini? Kenapa gak seperti itu? Kenapa harus begini? Dan berbagai pertanyaan lainnya. Tak jarang, pertanyaan itu muncul bukan karena ada hal yang janggal dan hendak ditanyakan, tapi karena excuse (alasan) agar dapat terhindar dari hal-hal yang kurang disukainya. Contohnya seperti ini, ada seorang perempuan yang dibilang pakar dalam dunianya, ya terlihat dari gelar akademisnya yang berderet di depan dan di belakang namanya. Dia beralasan, “jilbab itu bukanlah tuntunan syariah, tapi hanya sebagai budaya orang arab. Terlihat dari bukti sosiologis dan cultural. Dan bukti bla.. bla..bla” (maaf, sepertinya gak terlalu penting dibahas), entah memang karena motif akademis atau karena memang gak suka pake jilbab, who know?. Sehingga bisa dibilang, kekompleksitasan berpikir manusia terkadang membuat sekat pada suatu yang dogmatis contohnya ajaran agama.
Ajaran agama, khususnya islam, memang kental dengan nuansa dogmatis, tapi islam tidak alergi dengan diskusi ataupun kritikan. Telah banyak bukti yang membenarkan hal ini, bahwa islam sejalan dengan sains dan teknologi serta akal budi manusia. Buktinya? Dilain kesempatan mungkin bisa kita bahas lebih jauh nantinya, tapi yang jelas saking ribet dan kompleksnya berpikir manusia, untuk sholat saja seseorang masih berpikir untung ruginya, untuk zakat saja masih berpikir “nanti gw bakal miskin kagak nih?”, dan berbagai alasan serta pertanyaan ketika diminta menjalankan ajaran islam.
Sayapun berpikir, mungkin orang badui lebih baik dari saya. Ketika rasul ditanya oleh orang badui, apa itu islam, Rasul pun menjawabnya dengan 5 rukun Islam, lalu si badui pun berkata “demi Allah, saya tidak akan menambahkan atau mengurangi dari 5 hal itu” dan badui itupun berlalu. Rasul pun bersabda kepada para sahabat “sesungguhnya ia adalah ahlul Jannah, bila ia benar-benar melaksanakan apa yang dikatakannya tadi”. Kitapun bisa melihat bahwa cara berpikir sederhana dari si badui membuat ia digolongkan ahlul jannah, berbeda dengan kita yang ‘cerdas’ sehingga ada saja alasan ketika diminta menjalankan perintah Allah dan Rasulnya.
Kompleksitas berpikir manusia dan kerumitan di dalamnya terkadang membuat sekat dengan perintah Allah dan Rasulnya. Sekat yang hanya bisa ditundukkan dengan hati yang ikhlas dan ridho terhadap apa yang diminta sang khalik serta rasulnya. Karena setinggi-tingginya akal manusia, takkan bisa memahami hikmah dan rahasia dibalik perintah sang pencipta. Hikmah dan rahasia yang hanya bisa dipahami lewat mata hati yang jernih dan ikhlas.
Wallahu alam
wah oke banget nih.. tapi kak banyak ayat Qur'an yang menuntut manusia untuk menggunakan kapasitas otaknya yg bisa berpikir kompleks untuk memahami ayat tersebut. itu gimana dong?
ReplyDeleteberpikir kompleks sebenernya gak masalah ra,kan di atas ditulis, terkadang berpikir kompleks menjadi sekat. yang jadi masalah itu sebenernya adalah berpikir kompleksnya yang gak dibarengi sama niat ikhlas dan hati yang tunduk, kebanyakan orang make akal dan otak yang dibarengi sama hawa nafsu,
ReplyDeletedi alquran aja Allah sering make pertanyaan "afalaa taqilun" apakah kamu tidak berpikir, jadi sebenernya dalam islam gak masalah menggunakan akal, jadi begitu..
CMIIW
Saya pikir, kompleksitas berpikir dengan ketaatan/keimanan kepada Allah dan RasulNya merupakan dua domain yang berbeda. Ibarat kacamata, keimanan tuh membingkai persepsi kita terhadap semesta. Maka orang beriman dengan yang tidak, akan melihat dunia dengan cara berbeda.
ReplyDeleteSedangkan kompleksitas berpikir lebih terkait dengan kelanjutan proses input (keimanan) tadi. Semakin sering orang memikirkan apa yang dilihatnya (dengan kacamata iman), semakin bertambah keimanannya. Tak heran jika banyak sekali ayat-ayat yang MEWAJIBKAN kita melihat (dengan kacamata iman), dan berpikir.
Skemanya:
Input (tanpa iman) --> proses berpikir --> Output (ngaco)
Input (dng kacamata iman) --> proses berpikir --> Output
In advance, ternyata proses berpikir pun memiliki bingkai keimanannya sendiri yang dirumuskan para ulama dalam ushul fiqih. Itu sebabnya, orang yang memproses input (dengan kacamata iman) belum tentu hasil outputnya benar.
Contoh sederhananya adalah perbedaan proses antara ibadah (maghdhoh) dan mu'amalah. Untuk lebih jelasnya, silahkan googling sendiri. Hehe..
Ayo kita diskusi.. :)
mantab kak penjelasannya, tapi mungkin saya masih melihat secara global bahwa terkadang kompleksitas berpikir tanpa dilandasi hati yang ikhlas dan tunduk membuat seseorang menjadi itung-itungan dalam melakukan kebaikan,
ReplyDeletewaaah.. seru!!! kak iman ayo lanjutkan lagi kuliahnya!!!
ReplyDeleteaku sepakaaaaaaaaaaaaaattt!! sama tegar dan ka iman sekaligus.
ReplyDeleteka iman, boleh saya pinjam kacamata kakak (baca: kacamata iman)?? =)