Medio 2003
Tenang, tenang, Cuma beberapa hari, gak sampai seminggu..mereka bukan harimau yang akan memangsamu Ga, mereka Cuma anak-anak baru yang masih polos, jadi santai saja.. tarik nafas dalam-dalam. Ketika nanti berdiri di depan kelas, jangan tatap mata mereka, pandanglah hanya bagian atas mata sampai ke kepala. Lalu bicaralah sesuai apa yang ada di pikiranmu.
Berulang kali dialog itu berlangsung, antara Rangga dan dirinya. Rangga tahu, tugas ini memang berat, tapi ia sadar hanya lewat tugas ini, penyakitnya akan sembuh. Rangga menyebutnya sebagai penyakit, mungkin bukan hal yang serius bagi beberapa orang, tapi bagi Rangga, penyakit ini membebaninya.
Medio 2002
Semua bermula saat ia masuk ke sekolah ini, sekolah favorit di kotanya. Sekolah yang sama dengan kedua orang kakaknya yang kini duduk di kelas 2 dan 3. Baginya, bukan sebuah hal yang menguntungkan memiliki kakak yang terkenal seantero sekolah.
“eh kamu adeknya Rony dan Roy ya? Wah.. jago maen futsal donk?”
“eh adeknya Roy nih, ajak masuk tim basket aja”
“eh adeknya Rony ya? Bla blab la..” dan berbagai ekspresi kekaguman serta keheranan, bahkan ada beberapa orang anak perempuan yang meminta nomer telepon rumahnya.
“Kamu? Adeknya Rony? Boleh minta nomer telpon rumah kamu gak?” aiih..
Baiklah, baginya itu masih dalam batas kewajaran, toh dirinya jadi mudah dikenali di satu angkatan karena adik dari bintang sekolah. Namun, hal ini berakibat buruk, karena bila ada tugas, acara, ataupun yang lainnya, pasti dirinya yang menjadi ‘tumbal’, ya benar sekali, ‘tumbal’
“baiklah, kini tugas membacakan pidato di depan kelas, siapa yang mau mencoba?” serentak anak-anak di kelas menjawab “ Rangga saja Pak..!”
“oh rangga, adiknya Rony kan? Rony tuh jago loh klo ngomong di depan umum, Ayo coba maju ke depan”
Dengan langkah gemetar Rangga maju ke depan kelas, keringat dingin mulai bermunculan, berdiri tegap pun ia serasa tak sanggup. Kini ia mematung di depan kelas, mata-mata mereka, mata yang serasa menusuk tajam, ia serasa diadili, tak sepatah katapun keluar dari mulutnya hingga 20 puluh menit berlalu, beruntung bel berbunyi menyelamatkannya, pelajaran berakhir dengan bisik-bisik yang tidak mengenakkan di antara anak-anak sekelas.
“abangnya padahal jago banget klo ngomong, eh masa adeknya gelagapan klo ngomong di depan kelas”
“ah masa sih? Beda banget donk sama abangnya”
Kesal, marah, malu, semua bercampur jadi satu. Demam panggung membuatnya muak. Rangga sadar, ia tak sehebat Rony dalam berdialektika, atau Roy dalam berolahraga, tapi ia tahu, ia punya potensi, dan ia tak mau potensinya terhalang hanya karena sulit berbicara di depan khalayak.
**
Medio 2003
“Lu serius Ga?”
“iya Gw serius, kenapa? Gw gak boleh ikutan?”
“ah nggak, gak kenapa-kenapa, tapi lo yakin demam panggung lo gak jadi masalah nantinya?”
Ah pertanyaan itu lagi
“udah lah, lo gak usah mikirin gw, lo catet aja nama gw disana, pokoknya gw mau ikut seleksi pendamping kelas buat murid-murid baru”
Dengan sedikit kenekatan, Rangga memberanikan diri untuk mendaftar sebagai pendamping kelas bagi siswa siswi baru di sekolah itu. Pendamping kelas bertugas sebagai mentor dan pemandu selama masa orientasi sekolah. Disana pendamping kelas harus dapat membangkitkan motivasi dari siswa siswi baru, mengarahkan mereka, menjadi teman bagi mereka, dan semua itu diawali dengan berbicara di depan kelas, di hadapan siswa siswi baru. Sebuah tantangan yang dianggap sebagai obat mujarab bagi Rangga, karena baginya satu-satunya cara untuk sembuh adalah dengan menceburkan diri dalam ketakutan itu.
Seleksi pendamping kelas sebenernya bukan sebuah seleksi yang lazim pada umumnya, karena faktanya, tak lebih dari 10 orang yang mendaftar. Mungkin karena malas, atau karena merasa tak mampu jadi hanya segelintir orang saja yang mendaftar. Terpaksa panitia seleksi memohon, meminta dan merajuk pada beberapa orang agar mau ikut dalam seleksi ini, dan akhirnya terpilih lah 12 pasang pendamping kelas yang praktis lolos langsung tanpa seleksi.
Hari itu pun datang, Berbekal pelatihan singkat alakadarnya Rangga maju sebagai pendamping kelas bersama dengan rekannya, Ani, teman seangkatannya. Upacara penyambutan Siswa siswi baru di lapangan serasa hampa, Rangga fokus pada performancenya nanti di hadapan adik adik kelasnya. Tenang tenang, santai saja.
“ya perkenalkan di hadapan kalian ini, adalah kakak kakak pendamping kelas yang akan memandu dan menjadi tempat kalian bertanya selama masa orientasi, tidak tertutup kemungkinan juga setelah masa orientasi bila ada hal2 yang membuat kalian bingung, bisa kalian tanyakan pada mereka”
Kepala sekolah memperkenalkan Rangga dan para pendamping kelas lainnya, di hadapan siswa siswi baru, degh. Rangga merasakan Jantungnya berdegup cepat, tatapan mereka membuatnya kehilangan konsentrasi. Tidak tidak boleh, aku harus bisa.
“sekarang, kepada kakak kakak pendamping kelas, silahkan menuju barisan kelas yang sudah ditentukan”
Para pendamping kelas pun beranjak berjalan menuju barisan kelas masing-masing, Rangga dan Ani ditugaskan mendampingi kelas 1.D, Rangga berdiri di samping barisan kelas di bagian depan. Upacara penyambutan masih berlangsung yang dilanjutkan dengan sambutan dari bapak walikota.
“kak, nervous ya?”deg.. Sontak sindiran itu mengejutkan Rangga, ia mencoba melihat siapa siswi yang iseng menanyakan hal itu, tapi dia berada di belakang Rangga. Dengan situasi upacara yang masih berlangsung, sulit bagi Rangga menengok ke belakang.
“ah gak kok, biasa aja,” rangga hanya menjawab sekenanya
“keliatan kok dari muka kakak, pucat gitu, sakit ya kak, ini saya punya obat klo mau”
“ah gak usah, saya baik baik aja kok”
“oh yaudah”
Bapak walikota sepertinya orang yang sangat suka berbicara, 1 jam sudah berlalu, tapi beliau masih asik dengan pidatonya. Rangga tidak sabar melihat siapa murid yang jeli melihat kegugupannya itu.
Upacara pun selesai, dengan segera Rangga membalikkan tubuhnya.
“halo kak, ini obatnya, tapi cuma parasetamol”
Sebuah tangan kecil terulur memberikan sebungkus obat. Seorang anak perempuan bermata bulat, berambut pendek dengan alis tebal berjajar rapi di atas kelopak matanya, anak yang manis.
“oh iya, makasih” Rangga pun mengambil obat itu.
“katanya gak mau, tapi diambil juga kak..hehe”
“eh..eh..itu, anu, ya, gapapalah, lumayan, gratis”Sial,jadi salah tingkah gini
“oh iya, nama saya Alin, Alina, kakak kak Rangga kan?”
“loh kok tau? Saya kan blom memperkenalkan diri?”
“itu di saku kakak”, Alin menunjuk sebuah name tag yang tersangkut di saku Rangga, tertulis jelas sebuah nama.
“oh iya, saya lupa klo udah make name tag,eh..hm..oke, klo gitu, kita jalan, ayo semua, kita ke kelas.” ada nada kegugupan dalam suara Rangga, Alin benar-benar telah membuatnya hilang konsentrasi.
Rangga pun berjalan mengikuti murid murid baru itu dari belakang, dari kejauhan ia menatap sembari bergumam. Alin
kalo lo 1.D, berarti gw 1.A ya gar? wkwkwkwkwkwkwk... ^___^v
ReplyDelete*gw baru tau kalo ternyata 'rangga' itu tadinya grogian kalo ngomong di depan. hehehehehehe..