Monday, 29 September 2008

Aku dan Kebermaknaan hidup

“Aku” diartikan sebagai sesuatu yang termesra dengan manusia. Atau bahkan menjadi yang terasing daripadanya. Itu menurut eyang guru Fuad Hassan. Dan bila menurut saya Kehadiran “Aku” mengundang banyak tanda tanya akan kebermaknaan hidup manusia. Dimana yang mengasing ataupun termesra kadang kala dipersepsi sebagai suatu yang ideal oleh sebagian manusia. Termesra bila mungkin bermakna dan terasing bila mungkin trauma. Sehingga proses pemaknaan hidup manusia berkaitan erat dengan proses pencarian ideal self. “Aku ideal” sesuai dengan harapan. 

“Aku ideal” tak hadir dengan sendirinya. Ia terbangun atas beragam sumbangan pengalaman dan nilai yang tertanam. Semenjak kecil hingga manusia mulai menyadari ke-aku-an dirinya. Ketika ke-aku-an telah tersadarkan mulailah manusia mencari “aku ideal” untuk mengisi ruang kosong dalam dimensi hidupnya. Ruang kosong itu yang mungkin bagi sebagian orang diartikan sebagai “the meaning of life” atau bahasa Indonesia-nya kebermaknaan hidup.

Dua paragraph diatas sedikit menggambarkan hubungan antara kedua hal ini. “Aku ideal” dan kebermaknaan hidup. Yang suatu waktu keduanya dapat saling mempengaruhi. Sebut saja begini, si X akan merasa mencapai titik yang ideal dalam hidupnya ketika ia telah merasakan kebermaknaan hidup. Suatu posisi yang membuatnya paham akan perannya di dunia. Atau mungkin bisa saja sebaliknya, ketika ia telah meraih kebermaknaan hidup maka ia telah mencapai dirinya yang ideal, “Aku” yang selama ini mungkin saja diidam-idamkan. 

Begitu pentingnya pencarian “Aku ideal” hingga manusia berlomba-lomba mengejarnya. Dan perlu kita ketahui bersama kawan, ternyata “Aku ideal” dapat direkayasa. Apalagi dizaman di mana teknologi berkembang pesat seperti sekarang. Seseorang mungkin dengan leluasanya merekayasa hal ini. Tentu saja dimana manusia bertopengkan username di dunia ini dan password untuk masuk ke sana. Yup..dunia ini adalah dunia maya alias internet

Lihat saja di sana. Banyak orang meng-kompensasi-kan ke-tidak ideal-an dirinya di dunia nyata, pada dunia maya. Mencoba mencari kebermaknaan hidup. Namun, tidak sedikit juga yang justru memberikan warnanya sendiri serta berbagi makna dengan manusia lainnya di dunia ini. Yang pasti manusia jadi lebih mudah untuk meng-idealkan dirinya untuk mencapai kebermaknaan hidup yang selama ini dicari. 

Yah…begitulah..
 

*sekedar meracau di penghujung hari*

***

 

 

Thursday, 25 September 2008

Post Power Syndrome dan Mozaik tiga pemimpin

Kini layar kaca Indonesia menyuguhkan tayangan baru dalam setiap pemutarannya. Menampilkan para calon RI 1 dalam berbagai macam drama dan parodi. Ada yang meyakinkan para pemirsa (baca:rakyat Indonesia) dengan jargon yang ia gaungkan. "hidup adalah perbuatan" , "saya berjanji akan mengabdikan separuh hidup saya untuk menyejahterakan rakyat indonesia".  Atau bahkan ada juga yang bermain peran dengan menunjukkan keberpihakan yang besar bagi rakyat miskin dan juga para petani dan nelayan.

Tak tahu apa yang ada dibenak mereka. Tapi sepertinya pola pikir yang kini terbentuk adalah kepemimpinan hendaknya diusahakan. Atau bahasa lainnya kepemimpinan harus diminta. Tak zamannya lagi kepemimpinan ala Abu Bakar R.A yang secara jelas mengatakan "innalillahi wa inna ilaihi rojiun" ketika pertama kali menerima tampuk kekhalifahan. Yang kini ada bahkan bertolak belakang. Mereka (lazimnya pemimpin sekarang) bersujud dan bersyukur atas amanah yang mereka dapatkan. Pola pikir tentunya cerminan perilaku. Ketika seseorang menganggap jabatan sebagai pemimpin adalah sesuatu yang berharga dan prestisius. Hingga mereka bersujud dan menangis bahagia untuk itu. Maka ia akan setengah mati mempertahankannya. Dan tentu saja akan sakit sejadi-jadinya ketika itu hilang dari diri mereka.

Inilah bentuk nyata dari apa yang pernah kita dengar sebagai post power syndrome (PPS). Menurut beberapa literatur yang pernah atau sempat saya baca, PPS adalah perubahan suatu keadaan yang tadinya menguntungkan menjadi tidak menguntungkan seperti kehilangan pekerjaan, jabatan, atau kehilangan status sosial ekonomi. Karena ia tidak lagi memegang status dan jabatan tertentu maka ia merasa ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Dan seringkali orang yang mengidap PPS masih merasa memiliki kekuasaan. Sering menyuruh orang lain, mengatur sana-sini, dan lainnya. Ketika ia menyadari bahwa ia tidak lagi memiliki jabatan dan status itu maka gangguan psikologis mulai menyerang. Stress, uring-uringan, atau bahkan depresi.

Sebagai sedikit perbandingan, tengoklah beberapa pemimpin yang mungkin kisahnya dapat menjadi renungan kita bersama. Sebuah gambaran pemimpin yang tidak mengalami PPS.

1. Khalid Bin Walid
Panglima besar dimasa keemasan Islam. Terkenal dengan julukan yang diberikan Rosul "Syaifulloh" si pedang Alloh. Dimasa kekhalifahan Abu Bakar R.A ia ditunjuk menjadi panglima perang. Dan di setiap peperangan yang dipimpinnya hampir selalu diwarnai dengan kegemilangan. Namun, tak disangka di masa kekhalifahan Amirul Mu'minin Umar bin Khattab R.A, ia dicopot dari jabatannya. Lalu? bagaimana kondisi Khalid saat itu? apakah ia uring-uringan seperti layaknya pemimpin kini? Tidak kawan, ia sama sekali tidak mengalami frustasi, atau bahkan depresi. Ketika panglima perang digantikan oleh Abu Ubaidah, ia tetap turut berperang. Bersama mukmin lainnya, bahu membahu dibawah panji Islam. Walau kini ia hanya menjadi prajurit biasa seperti yang lain. Ketika ia ditanya bagaimana perasaannya ketika ia dicopot secara sepihak oleh Umar. Keluarlah sebuah kata mutiara yang kan dikenang sepanjang masa. "aku, khalid bin walid, tidak berperang untuk Umar. aku berperang untuk Alloh Azza Wajalla."

2. Nelson Mandella
Ketika politik Apertheid masih berjaya di Afrika selatan, ia hanya menjadi tawanan di salah satu penjara. Berjuang melawan penindasan yang berujung pada penderitaan dirinya. Ketika mata dunia sudah terbuka bahwa perbedaan warna adalah keniscayaan, peluang dirinya untuk bebas kian nyata. Hingga singkat cerita ia menjadi presiden Afrika Selatan kulit hitam pertama. Ironis, mengingat mayoritas rakyat afrika selatan adalah ras berwarna.
Pemerintahannya berjalan beberapa tahun. Ketika dirinya sedang berada pada puncak karirnya sebagai pemimpin. Secara tidak terduga ia tidak maju kembali di pemilihan presiden berikutnya. Ia lebih memilih untuk kembali menjadi rakyat biasa dan menyerahkan pucuk kepemimpinan kepada kaum muda yang lebih berpotensi. Sungguh unik apa yang dilakukan mandella. Berbeda jauh dengan kondisi di Indonesia saat ini.

3. Lech Walessa
Lech Walesa adalah tukang listrik yang ikut memimpin perjuangan kaum buruh menggulung partai komunis di Polandia. Ia lalu jadi presiden Polandia di tahun 1990. Pada tahun 1995 Walesa kalah dalam pemilu dan turun dari jabatan presiden. Ia kembali jadi buruh, jadi tukang listrik di galangan kapal Gdansk dengan gaji kira-kira 500.000 rupiah sebulan. Ketika ditanya kenapa kembali jadi tukang listrik, sang mantan presiden memberi alasan: masih terlalu muda untuk pensiun dan tidak punya cukup uang untuk hidup (freedom-institute.org).

Ketiga pemimpin ini memberikan kita sebuah hikmah, bahwa kekuasaan sebagai pemimpin tak membuat kita memahami bahwa ia harus menjadi bagian dari kita. Ia hanyalah sebuah sarana untuk mengabdi dan memberikan pelayanan yang lebih kepada orang-orang yang membutuhkan. Ketika memang kita dibutuhkan untuk mengemban amanah ini, berarti paradigma yang terbangun adalah paradigma memberi (give) dan melayani. Bukan paradigma mengambil (take). Yang kini mau tidak mau, suka tidak suka tercermin dari parodi yang ditampilkan oleh para calon RI 1.
Dan nampaknya PPS kan terus berlanjut dikalangan pemimpin bangsa ini.
 
 
 

Tuesday, 23 September 2008

Detik dan Tiap Perpindahannya yang dinanti

Kalau menurut saya, ini satu-satunya jalan untuk mereka. Dan saya siap pasang badan untuk itu. Suruh siapa coba gak ada yang bermain di sini?? Bukannya sudah jelas, kalau di sini semuanya diatur?? Segala hal, bahkan sampai yang kecil dan sepele sekalipun.

Untungnya saya dapat memanfaatkan situasi ini. Selangkah demi selangkah, sedikit demi sedikit, telah banyak perubahan yang terjadi. Dan kini satu lagi proyek besar akan segera selesai. Tinggal tunggu waktu dan semuanya kan terjadi. Lalu dimana saya saat itu?? Cukuplah menjadi pengamat yang mampu memainkan peran apik ditengah para penonton yang termangu...hehe.. jadi gak sabar nunggu momen-momen itu.

fuih...(menghela nafas)
Benar juga perkataan salah satu kawan. Semakin strategis seseorang semakin besar kontribusi yang dapat ia berikan. Tapi sejalan dengan itu, semakin strategis dirinya semakin banyak badai menghadang. Layaknya pohon besar yang diombang-ambingkan angin.

Monday, 22 September 2008

Momen-momen menjelang pemilu (baik di F.Psi ataupun di UI)

Kehidupan kampus memberikan cita rasanya tersendiri. Terutama bagi seorang mahasiswa sepertiku. Tak terbayangkan sebelumnya dapat mencicipi pahit manisnya dunia mahasiswa. yang ketika dulu hanya dapat kubayangkan via berita di televisi ataupun kisah-kisah dari alumni. Namun kini, rasa itu telah nyata kurasakan, yang terbagi dalam dua bagian umum (masih banyak kategori lainnya, tapi nampaknya dua hal ini yang paling penting). Akademik dan kemahasiswaan.

Di tataran akademik tentu saja tak lepas dari berbagai rasa. Kadang pahit yang muncul kadang pula manis yang muncul. Pahitnya tentu saja ketika UTS/UAS menjelang dan tugas-tugas menerjang. Kalau manisnya? manisnya itu....paling enggak dapet IP yang masih wajar lah untuk dianggap anak oleh orang tua.hehe

Kalau pahit manisnya dunia kemahasiswaan, apa ya? Sepertinya kebanyakan yang manis dibandingkan yang pahit. Karena banyak hal yang kudapatkan dari dunia ini meski itu sebenarnya pahit. Salah satu cita rasa itu terekam dalam sebuah momen. Yang setiap tahun selalu datang. yup..pemilu

Pemilu lazimnya dilakukan pada sebuah institusi bernama negara. Mengadaptasikan hal itu, dunia kemahasiswaan juga melakukan hal yang sama. Mungkin karena demokratisasi dan tren yang kini berkembang membuat mahasiswa juga melakukan pemilu. Tentu saja untuk memilih pemimpin mereka yang baru. Dalam ranah eksekutif maupun legislatif, ketua BEM ataupun anggota MPM.

Momen-momen itu terekam jelas sejak tahun pertama kuliah di sini. Dan kini aku coba mengurutkan kejadian apa saja yang terjadi padaku menjelang pemilu kali ini, ditahun 2008.

1. Tender PO PEMILU F.Psi UI.

Rencana sudah disusun sedemikian rupa. Segalanya pun sudah dipersiapkan, dari publikasi, menghubungi panelis, hingga membuat alat ukur. Tapi menjelang penutupan OR PO PEMILU hanya satu orang yang mengajukan diri. Dan entah kenapa di hari H penutupan OR, ada satu orang lagi yang ingin maju. Sehingga dengan bermodalkan intuisi yang mengalahkan rasionalisasi akhirnya secara sepihak aku pun mengundurkan pengumpulan kelengkapan calon PO hingga dua hari ke depan. Imbasnya pun muncul, berbagai macam kritik dan keluhan dilontarkan padaku. Semua ku terima dengan lapang dada meski ternyata keputusan itu mempunyai hikmah dibaliknya.

2. Usulan calon berpasangan ketua dan wakil ketua BEM

Usulan yang brilian menurutku. Ditengah apatisme yang mulai merebak (lagi) di kampus usulan ini sedikit banyak diharapkan mampu membangkitkan (lagi) gairah anggota IKM dalam pemilu. Baik sebagai pemilih ataupun menjadi salah satu calon dalam pemilu.

3. Ketetapan dan peraturan penjelas AD/ART

Menjelang akhir masa kepengurusan, banyak ketetapan dan peraturan yang harus diselesaikan. Tentang suksesi, PMB, dan lainnya. dengan SDM yang terbatas, mau tidak mau sebagian ketetapan dan peraturan ini aku yang membuatnya. Sehingga beberapa hari ini pola pikir yang ada di otakku sudah seperti pola pikir seorang lawyer. Runut, logis dan argumentatif.

4. Undangan-undangan untuk mengikuti "seleksi"

Jawaban pertama yang kuberikan pada mereka adalah... aku tak mungkin untuk demisioner. Konstitusi di psikologi alias AD/ART tak memungkinkan ku untuk melakukan hal itu. Jadi kukatakan pada mereka, apapun keputusannya tak mungkinlah demisioner. Meski mungkin mereka sangat kagum padaku sehingga aku sempat dipikirkan untuk naik ke level yang lebih tinggi.

Itu lah beberapa momen menarik yang bisa ku tuliskan kali ini. Mungkin nanti, beberapa hari mendatang ada yang bisa ku bagi kembali dengan kalian.
seru juga beberapa hari ini...

Friday, 19 September 2008

Islam dan Politik

Hm..kayaknya berat ya? Nggak kok, saya gak bakalan analisis secara panjang dan filosofis seperti saudara kita yang satu ini. Dan gak seahli dalam berpolitik seperti saudara ini, ini, atau bahkan ini. Saya cuma merenung dan memaknai kejadian yang terjadi belakangan ini di kampus. Ternyata setelah dipikir-pikir Islam memang tak bisa dipisahkan dengan politik.

Tentunya kita semua masih ingat sabda rosul kita tersayang mengenai persaudaraan. Menurut beliau, janganlah engkau terlalu mencintai seseorang karena boleh jadi ia akan menjadi musuhmu pada suatu waktu, dan janganlah engkau terlalu membenci seseorang karena boleh jadi ia akan menjadi sahabatmu suatu hari nanti. Kira-kira begitulah redaksi yang tertulis dalam hadits yang masyhur ini.

Hadits ini banyak memberikan pelajaran muamalah terhadap sesama manusia. Bahwasanya di dunia ini tiadalah yang abadi bahkan untuk sebuah ukuran persahabatan. Hadits ini mengajarkan kita untuk dapat memberikan proporsi yang sewajarnya bagi sebuah hubungan. Atau bahkan bagi segala hal yang kita miliki. Sehingga bila kita menilik kembali lebih dalam hadits itu, maka akan timbul sebuah pertanyaan. Seperti apa tolok ukur bagi sebuah hubungan? Atau mungkin bagi sesuatu yang kita miliki, seperti apa tolok ukurnya?

Tolok ukurnya ternyata cukup sederhana. Aturan dan ketetapan dariNya. Jangan sampai persahabatan ataupun kecintaan kita yang berlebihan terhadap sesuatu menjadikan kita melanggar aturanNya. Sehingga sangat logis bila dikatakan bahwa janganlah terlalu mencintai seseorang karena mungkin sewaktu-waktu ia akan menjadi musuh kita. Dengan kata lain janganlah terlalu mencintai seseorang karena mungkin sewaktu-waktu mungkin saja ia akan mengajak kita pada kemungkaran.

Maka sewajarnyalah seorang muslim tak terjebak pada jerat-jerat kerancuan ini. Terjatuh pada ruang abu-abu antara cinta sejati dari sang pencipta dan cinta semu dari makhlukNya. Sehingga tepat sekali bila kita katakan prinsip dasar politik kontemporer hampir serupa dengan prinsip Islam ini. Tentunya saudara-saudara semua sudah pasti mengetahuinya.

Prinsip dasar politik kontemporer yang mengatakan bahwa "dalam politik tidak ada kawan sejati, yang ada hanya kepentingan abadi"
kongruensi yang menurut saya sangat tinggi antara kedua perkataan yang masyhur ini.

Wednesday, 17 September 2008

Menyayangkan Display Seruan Ramadhan..

Bertolak atas kekhawatiran. Terhadap beberapa pihak yang berada dalam lingkup dakwah kampus. Saya sendiri tidak mempermasalahkan apa yang mereka katakan sebagai "seruan ramadhan". Karena secara konten, apa yang diserukan memang baik. Tapi memperlihatkan secara lugas keberpihakan mereka, itu yang saya rasa kurang ahsan(baik).

Kita ketahui bersama bahwa orientasi keberpihakan merupakan keniscayaan. Artinya tak satupun manusia yang dapat menyangkal bahwa mereka pastinya mempunyai satu visi, satu tujuan, dan satu pemahaman dengan pihak lain. Itupun tak berhenti pada tataran pemikiran. Tapi juga berbuah pada sebuah bentuk tindak perbuatan. Makanya tak heran sekelompok orang yang memiliki pola pikir yang sama serasa nyaman. Ketika berada di dekat orang yang memiliki pemikiran yang sama dengan mereka.

Itu semua memang tak terlihat secara kasat mata. Tapi mekanisme unconscious bermain di dalamnya. Walau mungkin telah ada sebuah statement yang mengatakan bahwa "kami non-partisan.." Tapi secara tak sadar, perlahan namun pasti hal ini akan muncul dalam bentuk perbuatan dalam ranah kesadaran. Maka dari itu, hal inilah yang harus dijaga bersama. Agar ketidaksadaran terhadap kecenderungan tuk berpihak tak muncul dalam bentuk yang vulgar dan merugikan.

Misalnya, ketika seseorang memiliki keberpihakan pada sebuah golongan. Pastinya secara nyaman dia akan menunjukkan identitasnya sebagai golongan itu.  Seperti memakai kaus golongan itu, membawa stiker golongan itu, dan lain sebagainya. Hal ini tak jadi masalah jika berada di tempat yang netral. Tapi bila berbicara dalam ranah yang lebih luas dan melibatkan banyak pihak, inilah yang menjadi masalah. Saat diperlukan adanya kedewasaan untuk memahami bahwa sarana berjuang ini adalah milik bersama untuk semuanya. Tak hanya miliki beberapa pihak yang berkepentingan di dalamnya.

Lalu solusinya apa? Satu-satunya cara adalah bermain cantik. Jikalau memang kita benar-benar simpati dan mempunyai afiliasi terhadap beberapa golongan diluar organisasi kita. Karena memang, misalnya, golongan itu secara esensi memang layak untuk dibantu dalam menyebarkan kebaikan. Maka hendaknya kita serukan dengan membawa nilai-nilai serta semua keutamaan yang kita miliki. Cukup dengan profesionalitas, kejujuran, loyalitas yang merepresentasikan diri kita. Sehingga nantinya kita tak perlu lagi membawa organisasi yang kita pimpin untuk dijadikan sarana menyebar luaskan kebaikan pihak-pihak tertentu tersebut.

karena nantinya orang-orang akan bertanya dengan sendirinya "eh..eh..dia itu siapa sih? kayaknya kerjanya bagus banget deh..orang juga baik dan ramah..siapa sih? oh..ternyata orang "ini" dari kelompok "ini" ya...pantesan bagus.."
lebih baik dibandingkan dengan "eh..eh..siapa sih tuh orang? kerjanya gak bener, sering telat, udah gitu sering jutek lagi..siapa sih? oh...ternyata orang "ini" ya..pantesan kerjanya amburadul.."

Mau pilih yang mana?(klo saya sih yang pertama, klo anda?)

Terserah saja. Karena yang jelas. Bila kita telah bermain di ranah publik hendaknya kita dapat merangkul semua golongan. Tak hanya beberapa orang saja dari kelompok tertentu tapi juga semua kalangan. Karena kita yakin organisasi kita adalah perpanjangan Islam yang rahmatan lil 'alamin(rahmat bagi seluruh alam). bukan rahmatan lil hizbiyin(rahmat bagi sekelompok golongan)..Wallahu 'alam

keputusan itu

Terkadang ia muncul seketika, dan terkadang tak muncul hingga beberapa lama. Terkadang memberikan arahan. Dan terkadang kesalahan. Ia layaknya wangsit yang sering disebut-sebut muncul disaat yang tepat. berputar dalam tataran kognitif hingga berbuah dalam ruang konatif. Ia adalah intuisi 

Kini ia muncul kembali. Berada dalam tataran konatif. Tak tahu apakah ini berupa arahan atau kesalahan. Karena saat itu, tiba-tiba aku membuat sebuah putusan yang menurut beberapa orang kontroversial dan tak lazim. Imbasnya sudah tentu ada. Beberapa orang mengeluhkan putusanku dan menyayangkan yang sudah terjadi.

"wah..parah banget lo, sama juga secara gak langsung lo dukung tuh orang"
ini yang pertama

"giliran dulu lo bisa nyuruh gini, dan tegas dalam hal ini ke dia, tapi untuk urusan gini lo gak bisa tegas dan plin plan..jujur, gw gak terima...(kira2 begitu redaksinya, klo gak salah. masih banyak sebenernya)"
ini yang kedua

"lo gak bisa gitu juga donk kak, lo sekarang gak bawa nama lo doang. tapi kita semua, lo tau kan? yang tertulis disana nama gw. Gw udah bilang di atas waktu itu, semuanya tetap, Tapi lo gak dengerin gw dan gak nyimak. Gak peka...(kira-kira begitu redaksinya)
ini yang ketiga

Hingga tibalah hari ini. Ketika akhirnya keputusan ku mulai memperlihatkan hikmah dibaliknya. Ternyata ada ketetapan dari atas yang menjelaskan bahwa seseorang tak jadi maju. Walaupun akhirnya dengan beberapa pertimbangan akhirnya ia tak jadi mundur. Akupun sebenarnya menyayangkan hal ini. Kenapa tidak dari awal aku berusaha menyadari dan memaknai arti dari intuisi ku. sehingga seharusnya hal ini dapat dihindari dengan mencari solusi yang lebih baik.

yah..begitulah..

Sunday, 7 September 2008

Menjelajahi Semesta Psikologi [Tulisan Buat Maba Psiko 08]


Mari kita berimajinasi, berkeliling, menjelajahi sebuah wilayah. Sebuah wilayah bernama IKM UI. Di sana di daerah itu terdapat sebuah wilayah lainnya yang bernama psikologi. Ia berada di bagian strategis dari wilayah IKM UI. Berada di dekat pintu gerbang wilayah IKM UI membuat mereka menjadi salah satu tempat persinggahan bagi para pendatang dari luar. Terlebih di daerah ini terdapat berbagai fasilitas yang menyediakan kebutuhan sehari-hari. Makanan, minuman, sarana ATM dan sebagainya.

Diluar berbagai sarana dan prasarana itu, daerah ini merupakan tempat berkumpulnya sebuah wadah. Sebuah wadah kemahasiswaan yang menaungi para mahasiswanya. Tentunya beberapa diantara kita ada yang telah mengetahuinya. Ada yang tahu? Ya, tepat sekali, wadah itu bernama Ikatan Keluarga Mahasiswa (IKM) Fakultas Psikologi UI.

Sekedar informasi, F.Psi UI merupakan salah satu fakultas yang telah memiliki IKM. Masih banyak sebenarnya wadah kemahasiswaan fakultas lain yang belum memiliki wadah kemahasiswaan formal bagi aktivitas mereka. Sehingga kita patut berbangga bahwa psikologi telah memilikinya. Walaupun kini, IKM F.Psi UI merupakan salah satu IKM termuda di UI dengan Fakultas teknik sebagai IKM tertua. Berdiri pada tahun 2006 membuat pembenahan merupakan kata-kata yang paling tepat bagi organisasi kemahasiswaan di psikologi.

Berdirinya IKM membuat beberapa hal secara nama dan struktural menjadi berubah. Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) sebagai lembaga legislatif dan yudikatif berubah nama menjadi Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM). Senat Mahasiswa (SM) sebagai lembaga eksekutif berubah nama menjadi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Badan Semi Otonom (BSO), lembaga peminatan independent berubah nama menjadi Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Sedangkan lembaga yang sebelumnya berada di bawah SM yaitu Badan Kelengkapan Senat Mahasiswa (BKSM) berubah nama menjadi Badan Kelengkapan Badan Eksekutif Mahasiswa (BKBEM).

Itu perubahan dalam hal nama, secara struktural juga terjadi perubahan. Sebelumnya BPM lembaga tertinggi dengan lembaga lain di bawahnya. Kini MPM sejajar dengan BEM dan UKM. Lembaga tertinggi kini dipegang oleh Senat Mahasiswa (SM) yang muncul lagi namun dengan fungsi berbeda. Layaknya lembaga tertinggi, SM hanya berfungsi sebagai tempat koordinasi dan memutuskan perkara yang tidak dapat diselesaikan oleh MPM. Selebihnya fungsi dan wewenang lembaga lain tidak berubah. MPM tetap memiliki wewenang untuk meminta pertanggung jawaban semua lembaga, dan BEM serta UKM juga memiliki kewajiban untuk menjalankan arahan dan konstitusi yang diberikan oleh MPM.

Yup, itu sekilah sejarah IKM F.Psi UI. Membaca kembali sejarah berdirinya membuat kita terharu bahwa mahasiswa sedikit banyak telah menggoreskan sejarah bagi perkembangan psikologi. Terlebih bila kita membaca kembali sejarah mas-mas dan mbak-mbak kita terdahulu. Pastinya membuat kita semakin semangat dalam berkontribusi bagi fakultas dan juga Negara ini. Kini, saya mencoba kembali memberikan sekilas sejarah mas-mas dan mbak-mbak kita yang pernah “bermain” di lembaga kemahasiswaan baik di tingkat fakultas ataupun di tingkat UI.

1. bapak Tubagus Farih, Ketua POMDA, staff khusus Wapres. Pernah menjabat ketua BPM dan SM sekaligus.
Kondisi kemahasiswaan saat itu masih mencari bentuk idealnya. Karena pada saat itu, tahun 70-an, kemahasiswaan secara formal baru berdiri. Lalu apa yang membuatnya bisa memegang dua jabatan itu? Jadi kalau tidak salah kejadiannya begini. Saat itu pemilu untuk memilih ketua SM dan anggota BPM yang baru. Dan saat itu ia menjabat sebagai ketua BPM. Akan tetapi kondisinya saat itu ternyata tidak ada yang mengajukan diri sebagai ketua SM. Karena belum ada peraturan yang mengatur mengenai kejadian seperti ini. Akhirnya sebagai ketua BPM untuk sementara ia menjabat sebagai ketua SM sampai ketua SM yang baru terpilih. Saat itu kalau tidak salah lagi, ia menjabat tidak lama karena ada mekanisme tambahan dalam pemilu. Pemilu diperpanjang dan akhirnya ada mahasiswa yang mencalonkan diri sebagai ketua SM. Fuih…akhirnya..meski Cuma sesaat dan sementara, ia telah membuat sejarah dengan menjadi ketua SM dan BPM dalam satu waktu.

2. Mas Dicky Palupessy, Staff pengajar Psikologi Sosial. Menjabat sebagai ketua SM Psikologi pada tahun reformasi bergulir, tahun 1998.
Teman-teman pastinya tahu apa kontribusi mahasiswa pada tahun 1998. Tepat sekali, mahasiswa menjadi motor perubahan bangsa ini. Dengan menjadi ujung tombak dalam reformasi membuat mahasiswa menjadi salah satu elemen vital pada tahun 1998. mahasiswa psikologi pun saat itu tidak tinggal diam. Bersama mas Dicky, kita juga turut menyuarakan perubahan. Saya agak kurang memiliki gambaran mengenai kejadian pada tahun 1998 di lingkungan psikologi. Mungkin untuk lebih jelasnya teman-teman bisa menanyakannya secara langsung pada saksi hidup peristiwa ini, mas Dicky. Ia memiliki ruangan di bagian psikologi social lantai 3. Bagit teman-teman yang berminat mungkin bisa langsung ke ruangannya, Yah..itung-itung silaturahmi..he.he.

3. Mbak Lieche, Staff pengajar Psikologi Umum dan Eksperiment. Menjadi Doktor termuda di psikologi. Lulus dengan predikat cumlaude sebagai sarjana psikologi, IPK saat lulus= 4. Menjabat sebagai Sekretaris Umum BPM tahun 1988-1989.
Pada tahun ini sepengetahun saya tidak ada kejadian yang menjadi catatan khusus. Tapi secara umum bila melihat mbak Lieche membuat saya terkagum-kagum. Dengan aktivitasnya yang padat sebagai SEKUM BPM tidak membuatnya lalai dalam akademis. Pembuktiannya ia tunjukkan dalam kinerja yang luar biasa dalam perkuliahan. IPK beliau saat lulus adalah 4. sebuah pencapaian yang luar biasa untuk ukuran seorang aktivis. Ini sekaligus merupakan bukti nyata bahwa antara akademis dan organisasi dapat berjalan beriringan dan harmonis. Mungkinkah kita dapat mengikuti jejaknya?? Pasti bisa bila kita berusaha.

4. Mas Peby Elan, angkatan 92, HRD Bank Syariah Mandiri. Pendiri sekaligus ketua FUSI pertama. Setelah menjadi ketua FUSI, ia terpilih sebagai Ketua SM.
Pada tahun kepengurusannya sebagai ketua SM. Ia banyak menghadapi tantangan. Pada saat itu, kebutuhan mahasiswa psikologi akan tempat ibadah, khususnya musholla sangat tinggi. Meskipun pihak dekanat telah menyediakan tempat ibadah, namun tidak cukup luas dan masih berada di dalam gedung, tidak berada di luar. Dengan berbagai diskusi dan dialog yang alot, akhirnya mas Peby berhasil melobi dekanat untuk mendirikan mushola baru. Yang kini dapat teman-teman lihat berdiri di bawah gedung D dekat perpustakaan.

5. Mas Ade Ahmad Basyir atau akrab disapa Abbas. Pernah menjabat sebagai anggota MWA UI unsur Mahasiswa. salah seorang dari sedikit mahasiswa psikologi yang pernah menjabat sebagai pimpinan lembaga di tingkat UI.
MWA adalah sebuah forum yang merupakan kumpulan semua elemen dari kampus. Dari karyawan, dosen, hingga mahasiswa. Ia memiliki struktur yang lebih tinggi dibandingkan rector. Hingga semua kebijakan rector, sedikit banyak, harus mengacu pada kebijakan MWA. Mungkin secara umum saya melihat mas Abbas sebagai salah seorang anggota MWA UI unsur mahasiswa yang paling vokal dan kritis pada kebijakan MWA. Ia mempunyai keberanian dalam memberikan informasi-informasi tentang kebijakan MWA UI yang tidak berpihak pada mahasiswa kepada ketua-ketua lembaga kemahasiswaan tingkat UI dan Fakultas. Agak berbeda mungkin dengan anggota MWA unsur mahasiswa setelahnya yang agak kurang garang dengan kebijakan MWA. Kita pun patut berbangga mempunyai pendahulu yang kritis seperti beliau.

6. Mas Arif Priambodo dan Mbak Dini Rahma Bintari. Pendiri Lembaga Dakwah Kampus Nuansa Islam Mahasiswa Universitas Indonesia (Salam UI) tahun 1998. Mbak Dini merupakan staff pengajar Psikologi Klinis. Sebelum menjadi pendiri salam Mbak Dini adalah Ketua BPM pada tahun 1997-1998. sedangkan Mas Arief selain menjadi pendiri juga sekaligus menjadi Ketua Salam UI pertama.
 
Masih banyak catatan yang belum dituliskan tentang mas-mas dan mbak-mbak kita. Kontribusi mereka baik yang terlihat jelas ataupun yang samar-samar telah membuat kita menjadi lebih mudah dalam beraktivitas dan berkontribusi. Mungkin sebelum tulisan ini saya akhiri saya akan menuliskan beberapa ketua BEM/SM dan ketua BPM/MPM 5 periode terakhir.

Ketua SM/BEM:
1.    Mufti Wirawan, psikologi 2004, BEM periode 2008
2.    Arnoldus Vigara, psikologi 2004, BEM Masa transisi 2008
3.    Rendi Alhial, psikologi 2003, SM periode 2006-2007
4.    Arya Verdi, psikologi 2002, SM periode 2005-2006
5.    Riswandi, psikologi 2001, SM periode 2004-2005

Ketua BPM/MPM:
1.    Tegar Hamzah, psikologi 2005, MPM periode 2008
2.    Edwin Nofsan N, psikologi 2004, MPM Masa transisi 2008
3.    Mira Rizki, psikologi 2003, BPM periode 2006-2007
4.    Nirta Fitri, psikologi 2002, BPM periode 2005-2006
5.    Isranto Miraji, psikologi 2001, BPM periode 2004-2005

Nampaknya sampai disini penjelajahan kita dalam mengarungi semesta psikologi. Mungkin dengan adanya tulisan ini membuat teman-teman menjadi lebih bersemangat dalam upaya memberikan yang terbaik bagi fakultas dan bangsa ini. Semoga nantinya saya akan melihat kembali diantara teman-teman yang menjadi pimpinan dan ketua lembaga baik di fakultas ataupun di tingkat UI. Karena menjadi seorang pemimpin adalah sebuah keniscayaan bagi setiap insan yang memiliki kualitas mumpuni. Dan saya melihatnya pada angkatan 2008. Selamat Berjuang teman-teman 2008, kami tunggu kontribusi kalian.       

Monday, 1 September 2008

kebahagiaan itu..

Bahagia rasanya mendengar hal itu dari lisannya. Dengan mengulurkan tangan ia berkata "gimana kabarnya calon psikolog kita?" disertai tepukan hangat pada pundakku mengiringi senyum manisnya. "ah..doain aja pak, supaya lancar" jawabku seraya berusaha menenangkan hati mendengar pujiannya. "insyaAlloh ane selalu doain antum" wajahnya menyiratkan keseriusan. Mimik wajah yang kuingat pernah terlukis saat dulu, sewaktu menunggu pengumuman SPMB.

Ya..ialah guruku. Lebih tepatnya guru ngaji yang akrab dengan panggilan ustadz Subakir. Beliau memiliki perawakan kurus dan sedikit lebih tinggi dariku. Meski begitu performa tubuh selalu beliau jaga, karena beliau adalah imam di masjid dekat rumahku, masjid At-taqwa. Tugasnya sebagai imam mungkin yang menuntutnya untuk menjaga stamina tubuh. Sehingga tak heran seminggu sekali, sepengetahuanku, beliau selalu berolahraga di lingkungan kompleks rumahku.

Itu aktivitas beliau dari sisi jasmani. Dari sisi ruhiyah beliau lah salah seorang yang berjasa mengantar anak-anak di lingkungan kompleks rumahku menjadi sukses. Setidaknya dari sisi ruhiyah. Karena beliaulah yang dulu mengajar kami, mendidik kami untuk belajar membaca, menulis, ataupun sekedar menghafal doa sehari-hari. tak segan beliau menuntun kami sedari awal. Walaupun terkadang kami sering kali membuatnya kesal dan marah.

Pernah suatu saat, dikala aku masih duduk di bangku kelas 6 SD. Beliau menyuruh kami untuk menghafalkan sebuah surat dari juz 30. Mungkin karena kami memang bandel, kami pun tidak mengindahkan perintahnya. Bahkan cenderung bermain dan bercanda-canda dalam menghafalkan Qur'an. Mulai dari sinilah aku melihat kemarahan yang memuncak dari dirinya. ia marah kepada kami dan membuat kami tersadar untuk tidak bermain-main lagi dengan ayatNya. Aku pun lupa apa kata-kata yang beliau keluarkan. Tapi yang paling ku ingat adalah setelah itu kami diharuskan menghafal seminggu satu surat di juz 30. Sebagai hukuman atas tindakan kami. Bila kami tidak berhasil menghafal 1 surat pada minggu itu, konsekuensinya adalah kami diharuskan membersihkan WC masjid. masyaAlloh, WC masjid? bukan karena kotornya yang membuatku tak ingin membersihkannya ataupun karena banyak noda di dalamnya. Tapi karena aku cenderung malas membersihkan sedetail mungkin hingga ubin WC itu bersih.

Akupun baru merasakan manfaatnya ketika beranjak SMA. Dengan dorongan dan pemicu dari beliau. Akupun berhasil menghafalkan 1 juz itu. Luar biasa perasaan yang kurasakan saat itu. Tak terbayangkan sebelumnya akan dapat menghafalkannya. Walaupun terkadang hingga kini, aku sering kali lupa surat-surat ataupun ayat-ayat tertentu dari juz itu. Tapi alhamduilillah tetap terekam dalam memory.

Kini beliau telah memasuki usia setengah abad. Jasa dan pamrihnya bagi kami tak terhitung oleh apapun. Hingga masa-masa memasuki dunia kampus pun, beliau iringi doa untuk keberhasilan ku. Mungkin hadirnya ku di kampus ini berkat salah satu doa yang beliau panjatkan padaNya.

Percakapan yang singkat diawal tulisan ini hanya sekelumit pengalamanku di lingkungan rumah selama dua hari. Singkat memang, tapi kaya makna dan hikmah. Akupun tidak memungkiri masih banyak hutang yang kupunya pada lingkungan tempat tinggalku. Pada masjid, Ustadz Subakir, para jamaah dan teman-temanku. Akupun ingin secepatnya melunasi hutang itu. Agar mereka dapat merasakan sebentuk rasa syukur telah dilahirkan di tengah-tengah mereka.