“Aku” diartikan sebagai sesuatu yang termesra dengan manusia. Atau bahkan menjadi yang terasing daripadanya. Itu menurut eyang guru Fuad Hassan. Dan bila menurut saya Kehadiran “Aku” mengundang banyak tanda tanya akan kebermaknaan hidup manusia. Dimana yang mengasing ataupun termesra kadang kala dipersepsi sebagai suatu yang ideal oleh sebagian manusia. Termesra bila mungkin bermakna dan terasing bila mungkin trauma. Sehingga proses pemaknaan hidup manusia berkaitan erat dengan proses pencarian ideal self. “Aku ideal” sesuai dengan harapan.
“Aku ideal” tak hadir dengan sendirinya. Ia terbangun atas beragam sumbangan pengalaman dan nilai yang tertanam. Semenjak kecil hingga manusia mulai menyadari ke-aku-an dirinya. Ketika ke-aku-an telah tersadarkan mulailah manusia mencari “aku ideal” untuk mengisi ruang kosong dalam dimensi hidupnya. Ruang kosong itu yang mungkin bagi sebagian orang diartikan sebagai “the meaning of life” atau bahasa Indonesia-nya kebermaknaan hidup.
Dua paragraph diatas sedikit menggambarkan hubungan antara kedua hal ini. “Aku ideal” dan kebermaknaan hidup. Yang suatu waktu keduanya dapat saling mempengaruhi. Sebut saja begini, si X akan merasa mencapai titik yang ideal dalam hidupnya ketika ia telah merasakan kebermaknaan hidup. Suatu posisi yang membuatnya paham akan perannya di dunia. Atau mungkin bisa saja sebaliknya, ketika ia telah meraih kebermaknaan hidup maka ia telah mencapai dirinya yang ideal, “Aku” yang selama ini mungkin saja diidam-idamkan.
Begitu pentingnya pencarian “Aku ideal” hingga manusia berlomba-lomba mengejarnya. Dan perlu kita ketahui bersama kawan, ternyata “Aku ideal” dapat direkayasa. Apalagi dizaman di mana teknologi berkembang pesat seperti sekarang. Seseorang mungkin dengan leluasanya merekayasa hal ini. Tentu saja dimana manusia bertopengkan username di dunia ini dan password untuk masuk ke
Lihat saja di
Yah…begitulah..
*sekedar meracau di penghujung hari*
***