Tuesday 30 December 2014

Ilusi Negara Maritim


selasar.com
Artikel ini saya tulis saat gembar-gembor berita pemboman kapal-kapal ilegal asing oleh TNI AL dan KKP (kementerian kelautan dan perikanan) menjadi top news di beberapa stasiun TV. Disamping tentu saja ada beberapa hal selain pemboman kapal asing yang saya soroti dari pemerintahan jokowi, tentang tol laut dan kerjasama dengan AS dan Kanada.

Tulisan ini juga sudah di publikasikan di situs Selasar.com dengan link berikut ini https://www.selasar.com/politik/ilusi-negara-maritim 

Selamat membaca. 

**

Ilusi Negara Maritim

Fakta bahwa negara kita adalah negara kepulauan adalah hal yang tak terbantahkan. Lebih dari 17 ribu gugusan pulau yang membentang luas di wilayah khatulistiwa menjadi buktinya. Pola pikir bahwa negara kita adalah negara kepulauan sejauh ini tidaklah menjadi issue yang menarik untuk didiskusikan. Kecuali, dengan catatan diimbangi penjelasan bahwa diantara keseluruhan wilayah indonesia, bukan wilayah pulaunya yang terluas melainkan wilayah lautannya yang justru lebih besar.

Negara kepulauan ataukah negara kelautan? Keduanya bisa jadi adalah dua sisi yang saling melengkapi karena bila ada kepulauan pasti ada laut. Namun fakta kembali berbicara, selama 59 tahun indonesia merdeka tak banyak pengembangan industri kelautan dan maritim yang berkembang di negara ini.

Orde baru yang secara periodik merupakan masa pemerintahan terlama di indonesia tidak memiliki banyak warisan di bidang kelautan dan kemaritiman. Selama 32 tahun mereka berkuasa, fokus pembangunan dititikberatkan pada pembangunan infrastruktur seperti jalan-jalan, gedung-gedung, sarana dan prasarana yang semuanya berada di darat, sedangkan sektor kelautan belum mendapatkan perhatian lebih.

Jadi kembali pada diskusi sebelumnya, negara kita adalah negara kepulauan atau negara kelautan? Dari sisi luas wilayah, pantasnya disebut negara kelautan atau maritim, tapi dari pola pembangunannya dan perhatian yang diberikan pemerintah, sepertinya lebih cocok dikatakan sebagai negara kepulauan. Sebuah ilusi yang muncul saat banyak pihak yang mengklaim negara ini adalah negara kelautan atau maritim akan tetapi fakta yang ada jelas menunjukkan bahwa negara ini masih negara daratan atau kepulauan.

Aksi Pemerintah dan Bias Negara Maritim

Ketidaksingkronan antara klaim sebagai negara maritim dengan kondisi faktual bahwa negara ini masih berorientasi daratan, baru satu dari beberapa ihwal mengenai ilusi negara maritim yang dialami republik ini. Tentu saja dengan catatan bahwa maritim yang dimaksud adalah sekedar memanfaatkan hasil laut dan belum maritim sesungguhnya yang memandang lautan sebagai wilayah geografi dan geopolitik.  Ketidaksingkronan tersebut atau kita sebut saja ilusi, berkembang sedemikian rupa menjadi obsesi yang terkadang mengorbankan banyak hal.

Obsesi tersebut terejawantahkan dalam beberapa program dan aksi yang kini hangat diperbincangkan oleh khalayak ramai demi menyongsong visi negara maritim. Pertama mengenai aksi peledakkan kapal nelayan ilegal. Aksi ini tentu saja mengundang banyak perhatian, selain karena aksi heroik ini jarang terjadi dan baru-baru ini saja menjadi booming di beberapa media, peledakkan kapal nelayan ilegal juga dianggap menunjukkan sikap tegas pemerintah dalam mempertahankan kedaulatan NKRI.

Tapi yang perlu kita tahu ialah, ini bukan kali pertama TNI AL dan Kementerian Kelautan dan Perikanan meledakkan kapal-kapal nelayan ilegal. Puluhan tahun silam di tahun 2003, TNI AL pernah menenggalamkan 4 kapal nelayan asing berbendera Filipina dan beberapa tahun kedepannya milik Thailand, dan Vietnam.  Jadi semestinya aksi ini bukan suatu hal yang luar biasa, TNI AL ternyata sudah pernah dan biasa melakukannya.

Justru yang harus diperhatikan adalah bagaimana dengan kapal-kapal besar dan canggih yang lebih banyak meraup untung dari perikanan Indonesia? Jangan sampai fokus kita pada penenggelaman kapal-kapal kecil tersebut membuat kita lupa dan teralihkan pada sumber masalah yang lain. Alih-alih membereskan kapal-kapal kecil nelayan yang ada justru membiarkan kapal yang lebih besar dan canggih mengambil ikan kita secara illegal.

Aksi kedua yang hangat diperbincangkan adalah Tol Laut yang menjadi andalan pemerintahan Jokowi. Konsep tol laut atau beberapa orang menyebutnya pendulum nusantara adalah sebuah jalur kapal-kapal laut yang menghubungkan Pelabuhan-pelabuhan utama di Indonesia dari Medan, Batam, Tanjung Priok, Tanjung Perak, dan Sorong yang membentuk pola yang menyerupai pendulum. Jalur ini yang diharapkan mampu dilewati oleh kapal-kapal besar dengan bobot lebih dari 50.000 Ton dan mengangkut 3200 kontainer sekaligus. Konsep ini dipandang mampu menurunkan biaya logistik Indonesia hingga 20% karena komponen yang ada di dalamnya banyak terpangkas.

Besarnya penghematan biaya logistik ini membuat Tol Laut menjadi primadona. Pelabuhan-pelabuhan di indonesia saat ini mulai berbenah agar kolam dermaga mereka menjadi lebih dalam sehingga kapal-kapal besar berbobot 50.000 ton dapat masuk. Tidak ketinggalan, pemerintah juga mengalokasikan anggaran untuk pengadaan 500 kapal baru dari Cina yang siap berlayar untuk mendukung Konsep Tol Laut ini.

Dari sisi pelabuhan, investasi trilyunan rupiah guna mendukung Tol Laut sejauh ini sepertinya tidak menjadi masalah, karena dengan skema dan proyeksi laba beberapa tahun kedepan, investasi di pelabuhan menguntungkan pemerintah ataupun swasta. Berbeda dengan investasi di area pelabuhan, impor kapal dari Cina yang sepertinya masih menjadi tanda tanya.

Kapal-kapal yang diimpor dari Cina tersebut diharapkan mampu memenuhi kekurangan jumlah kapal di Indonesia untuk mensukseskan Tol laut.  Lalu kenapa harus import? Dari segi kualitas, industri kapal dalam negeri sudah dapat bersaing dengan industri perkapalan negara lain. Misalnya PT PAL, PT PAL sudah mampu memproduksi kapal-kapal berbobot besar seperti container ship dan cargo vessel yang sampai saat ini sudah diakui dunia dan memiliki kualitas sangat baik. Jadi agak mengherankan ketika Tol laut yang digagas bagi kebaikan bangsa ini justru kurang mendukung produksi dalam negeri dan pemerintah lebih memilih kapal-kapal buatan Cina.

Jika memang alasan yang dipakai karena ketidakmampuan PT PAL dalam memproduksi Kapal dalam jumlah besar, setidaknya pemerintah secara periodik dapat memberikan kesempatan bagi PT PAL dalam memproduksi Kapal tersebut secara bertahap. Karena Tol Laut secara perencanaan baru dimulai 5 tahun mendatang.

Program dan aksi ketiga yang ramai dibicarakan adalah proyek kerjasama antara Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan Pemerintah Amerika Serikat dan Kanada dalam hal pemeliharaan eksplorasi laut yang ramah lingkungan dan sustainable. Secara pribadi sayapun mendukung proyek ini yang diharapkan mampu meningkatkan pengolahan hasil laut dan peningkatan pendapatan dari sektor perikanan.

Namun, proyek riset semacam ini terutama dengan pemerintah Amerika pernah menyisakan kontroversi. Adalah proyek Naval Medical Research Unit No.2 atau disingkat Namru 2 yang menyisakan masalah. Namru 2 adalah unit kesehatan angkatan laut Amerika yang pernah berada di Indonesia. Kegiatan Namru menitikberatkan pada malaria, penyakit akibat virus, dan penyakit menular lainnya seperti flu burung. Masalahpun timbul lantaran proyek ini dituding sebagai kedok Amerika Serikat untuk menjalankan misi intelijennya dan ajang mengembang serta testing sebuah virus di daerah Indonesia.

Risiko ini yang mungkin harus dicermati lebih lanjut oleh pemerintah. Risiko menjadi lahan operasi intelijen dengan berbagai dalih mengatasnamakan riset dan eksplorasi kelautan. Jika kerjasama tersebut memang sudah terjadi pemerintah diharapkan lebih jeli dalam pengawasan dan kerangka kerja sama dengan pemerintah asing terutama Amerika sehingga Indonesia tidak dimanfaatkan seenaknya oleh kepentingan asing.

Ketiga program aksi yang populer tersebut seakan menggambarkan upaya yang semu jika melulu digunakan sebagai ajang pamer bahwa kita adalah negara maritim. Karena banyak hal yang sepertinya terlalu berharga untuk dikorbankan demi predikat negara maritim, dari pelaku industri kelautan seperti PT PAL, nelayan-nelayan kecil di Indonesia, serta kedaulatan dan kerahasiaan negara. Visi sebagai negara maritim memang bagus dan layak diperjuangkan, tapi jika selalu dibayangi oleh ilusi yang nampak bias dari aksi membangun opini, sepertinya negara maritim yang diharapkan masih jauh dari kenyataan.

No comments:

Post a Comment