Tuesday 30 December 2014

Worklife Balance on IPC



Artikel ketiga yang secara de facto saya kirimkan ke majalah kantor, IPC News, tapi berhubung artikel yang ini tidak mencantumkan saya sebagai penulis, ya jadilah cuma terhitung 2 kali saya menulis di IPC News.

**
Worklife Balance on IPC

“I left management position with a monthly 8 digit salary” – Agus, Taxi Driver and A Former Journalist


Artikel di situs www.wearejakarta.com beberapa waktu lalu tentang Pak Agus, seorang executive manager di sebuah perusahaan yang banting setir menjadi supir taxi mungkin dapat menjadi perhatian bagi kita semua akan pentingnya worklife balance. Ia meninggalkan posisi jabatan tersebut karena ia begitu merindukan keluarganya. Istrinya wafat 5 tahun lalu saat ia berada ribuan mil jauhnya dari rumah. Hal itu sungguh menghancurkan hatinya, di saat sang istri membutuhkan kehadirannya, ia tak dapat menemani.

Tahun lalu, anak bungsunya mencoba untuk bunuh diri. Anaknya marah karena Ia tak henti-hentinya  bekerja yang membuat mereka jarang bertemu. Ia tahu bahwa anaknya hanya ingin menarik perhatiannya dan tahu bahwa ia tak dapat mengabaikan hal ini. Saat itu ia mencintai karirnya, tapi ia tak lagi menikmati pekerjaannya. Karena menurutnya, pekerjaannya membuat ia jauh dari orang-orang yang dicintainya. Pilihan karir yang diambilnya kini memang berat, tapi baginya hal ini sebanding dengan apa yang didapatkannya sekarang, dekat dengan orang-orang yang dicintainya.

Tentunya bila dibandingkan posisi kita kini sebagai pegawai IPC, kejadian yang serupa dengan pak Agus ini sangatlah jarang terjadi, atau mungkin hampir tak ada sama sekali. Tapi hal ini bisa saja terjadi bila insan IPC tidak pandai-pandai dalam menjaga worklife balance yang ada pada diri mereka.

Worklife balance..?

Istilah worklife balance pertama kali di populerkan di inggris di akhir tahun 1970-an untuk mendeskripsikan keseimbangan antara pekerjaan di kantor dan kehidupan pribadi. Isu ini muncul saat banyak pekerja di waktu itu yang memiliki konflik antara mereka dan keluarganya terutama dengan anak-anak dikarenakan waktu kerja yang panjang sehingga mereka hanya memiliki waktu yang sedikit dengan keluarga.

Sedangkan untuk situasi dan kondisi saat ini, isu tentang worklife balance semakin kompleks seiring dengan tuntutan pekerjaan serta ambisi yang beragam dari tiap pekerja. Sekarang perusahaan tak lagi semonoton di tahun 1970-an. Pekerja kini tak sekedar melakukan pekerjaan rutin dan sama tiap harinya akan tetapi telah berkembang sedemikin rupa menjadi pekerjaan yang lintas ruang dan multi peran. Saat ini seorang pekerja dapat berinteraksi dengan seseorang yang berada ribuan mil jauhnya dari tempat kerjanya melalui jaringan internet, dan saat ini seorang pekerja dituntut untuk dapat melaksanakan peran sebagai staff dan manajer secara bersamaan yang membutuhkan kemampuan klerikal dan leadership sekaligus.

Ambisi tiap pekerja turut menjadi bagian dari isu worklife balance. Selain tuntutan pekerjaan yang tinggi, ambisi yang besar untuk mencapai karir setinggi mungkin membuat waktu antara kehidupan pribadi dan pekerjaan di kantor menjadi tak seimbang. Sehingga mau tak mau demi karir yang cemerlang, sebagian orang mengorbankan kehidupan pribadinya untuk waktu bekerja yang lebih di kantor.

Namun apakah dengan menyeimbangkan waktu secara seimbang antara pekerjaan di kantor dengan kehidupan pribadi membuat worklife balance tercapai? Mungkin saja, akan tetapi hidup kita tidaklah sekaku itu, dimana tiap detailnya waktu kita diseimbangkan dan terprogram dengan seksama. Tentunya hidup kita akan lebih nyaman bila segala sesuatunya lebih mengalir.

Worklife balance juga berbeda di tiap fase perkembangan karir yang kita jalani, tidak dapat disamakan. Tentunya worklife balance ketika sebelum menikah berbeda setelah kita menikah. Sebelum menikah mungkin saja kita dapat sebebas mungkin untuk bekerja di kantor sampai larut malam, bekerja tanpa kenal lelah. tapi setelah menikah, seringkali bekerja hingga larut malam juga tidaklah baik bagi kehidupan rumah tangga kita.

Untuk itu, worklife balance tidak sekedar berfokus pada cara kita mengatur jadwal sehari-hari, atau menyamakan worklife balance untuk setiap orang di semua tingkatan karir. Tapi lebih dari itu, worklife balance sebenarnya adalah bagaimana caranya kita mengisi hari-hari dengan pencapaian dan kepuasan dalam bekerja dan kehidupan pribadi.

Mewujudkan IPC Worklife Balance

Menurut situs www. worklifebalance.com, kehidupan yang seimbang antara pekerjaan di kantor dan kehidupan pribadi adalah tentang bagaimana kita mengisi hari dengan pencapaian dan kepuasan. Pencapaian serta prestasi yang dicapai di kantor ataupun di kehidupan pribadi dan juga kepuasan dalam menjalani keduanya.

Sehingga dengan mencapai target tertentu serta kepuasan dalam melakukannya menjadikan hari kita di tempat kerja dapat lebih nyaman dan kitapun lebih menikmati pekerjaan di kantor. Ditambah dengan melakukan hal yang sama di dalam kehidupan pribadi, seperti melakukan aktivitas bersama keluarga, jalan-jalan ke suatu tempat yang belum pernah disinggahi, membuat kehidupan kita secara keseluruhan menjadi seimbang.

Ada beberapa tips yang mungkin dapat kita lakukan dalam mewujudkan worklife balance. Pertama, selalu upayakan untuk pulang tepat waktu dari kantor dengan syarat, pekerjaan kita telah selesai, dan tidak ada meeting mendadak. Untuk itu perlu adanya manajemen waktu yang baik dalam bekerja hingga lebih efektif dan efisien dalam memanfaatkan waktu. Dengan pulang tepat waktu, kehidupan kita bersama keluarga dapat dioptimalkan dengan secepat mungkin kita hadir bersama mereka.

Kedua, berpartisipasi dalam kegiatan kantor, di luar jam kerja. Ada kalanya disaat kita bekerja, muncul rasa suntuk dan bosan yang mungkin timbul akibat pekerjaan yang berulang kita lakukan. Untuk itu kita perlu variasi yang membuat kita dapat mengisi kembali energi kita dalam bekerja dengan melakukan kegiatan menyenangkan yang diselenggarakan oleh kantor setelah jam kerja. Contohnya adalah aktivitas bermain futsal bersama teman-teman kantor. Untuk hal ini, IPC secara rutin menyelenggarakannya dan karyawan secara antusias menyambutnya.

Ketiga, sesekali menghubungi keluarga ataupun teman dekat di kala waktu senggang saat bekerja. Waktu kita yang sebagian besar di kantor, membuat interaksi dengan keluarga ataupun sahabat menjadi lebih sedikit. Untuk mensiasati hal ini, menghubungi mereka via telepon ataupun media sosial di internet membuat kita tetap terhubung dengan kehidupan sosial di luar sana.

Mungkin itu beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk mewujudkan worklife balance. Memang tak mudah tapi tidak mustahil untuk dilakukan. Dengan fasilitas yang diberikan oleh IPC dari sarana dan prasarana yang mumpuni seperti ruang kerja yang baik dan telah direnovasi, kultur kerja yang dinamis dan bersahabat, serta pilihan dalam menyalurkan hobi seperti futsal, bulutangkis, dan lainnya, harapannya para karyawan dapat menggapai worklife balance yang dapat menjadikan tiap insan IPC pribadi yang paripurna. 

No comments:

Post a Comment