Wednesday, 3 September 2014

Sinergisitas Pelabuhan dan Pemerintah

Sumber: tempo.co
Ini tulisan pertama saya tentang pelabuhan yang coba diajukan (dan diadu) ke media massa nasional. Awalnya Kompas, hasilnya? ditolak tentu saja, hehe. Tidak putus asa, lalu saya coba kirimkan lagi ke Sindo, Republika, dan Media Indonesia, hasilnya? tidak ada jawaban. Daripada mubazir, dan dibuang sayang, akhirnya saya post juga di blog ini. 

****
Sinergisitas Pelabuhan dan Pemerintah

Dalam suasana serba politis menjelang pilpres Juli nanti, Jokowi pada hari Rabu 16 April 2014 bertandang ke Pelabuhan Tanjung Priok, tujuannya adalah untuk memantau proses pembangunan Jalan Tol Plumpang-Cakung-Cilincing Jakarta Utara dan Jalan Tol Priok Acces Road Construction Project Cilincing-Jampea. Jokowi juga menyempatkan diri meninjau proses pembangunan Dermaga Kalibaru atau New Priok phase 1 yang diperkirakan akan rampung akhir tahun ini dan digadang menjadi salah satu terminal pelabuhan terbesar di Indonesia.

Kunjungan tersebut dirasakan membawa angin segar bagi sebagian praktisi kepelabuhanan dan maritim. Pasalnya kunjungan Jokowi yang masih berstatus sebagai gubernur DKI menyiratkan bahwa ada perhatian serius dari pemerintah terhadap kondisi pelabuhan khususnya di Jakarta. Ditambah lagi Jokowi yang tak lama lagi akan bertarung dalam pilpres memunculkan harapan, akankah Prabowo, tidak hanya Jokowi, memiliki concern dan strategi dalam memperbaiki kondisi logistik dan industri maritim di Indonesia? 

Maritim dan Logistik Indonesia

Luas wilayah Indonesia yang sebagian besar perairan membuat industri transportasi maritim diharapkan mampu menjawab permasalahan transportasi dan logistik di Indonesia. Menggunakan kapal laut sebagai sarana transportasi dalam mengantarkan barang dan logistik lainnya memiliki beberapa keuntungan.

Pertama, biaya yang lebih murah. Mengirimkan barang lewat Kapal laut besar (mother vassel) yang berfungsi mengangkut container dengan muatan hingga 4000-5000 Teus (satuan container dengan ukuran standar 20 feet) hanya memakan biaya $ 0,97 per ton mil yang berarti hanya membutuhkan biaya sebesar $ 0,97 per ton cargo untuk perjalanan sejauh 1 mil. Sedangkan bila menggunakan kereta api membutuhkan biaya $ 2,53 per ton mil dan dan bila menggunakan truck sebesar $ 5,35 per ton mil. Sebagai contoh, bila 500 ton cargo dalam 25 container dibawa via kapal laut sejauh 20 mil perjalanan eksport-import hanya membutuhkan biaya $ 9700 sekali perjalanan. Jauh lebih murah jika dibandingkan dengan menggunakan kereta api yang membutuhkan $ 25300 dan $ 53500 bila menggunakan truk container.

Keuntungan kedua, meminimalisir potensi kemacetan via jalur darat. Pertumbuhan kendaraan per tahun mencapai 11 % sedangkan pertumbuhan jalan hanya 0,01 %. Ketersediaan jalan yang minim dalam menampung jumlah kendaraan yang bertambah tiap tahunnya menyebabkan kepadatan di beberapa ruas jalan di Indonesia terutama di kota besar seperti Jakarta. Kemacetan tersebut secara tidak langsung memperlambat waktu penyampaian barang kepada customer. Padahal efisiensi waktu sangatlah penting untuk mendorong dan meningkatkan proses aktivitas perdagangan di suatu daerah. Diharapkan dengan memaksimalkan jalur laut, produsen dapat langsung mengirimkan barang lewat kapal laut di dekat pelabuhan yang terdekat dengan wilayah konsumen. Walaupun nantinya tetap menggunakan jalur darat, setidaknya potensi kemacetan dapat diminimalisir.

Keuntungan yang ketiga, ketergantungan pada infrastruktur yang kecil. Membangun jalan layang yang kokoh dan kuat membutuhkan biaya yang tidak murah. Padahal semakin berat suatu cargo atau barang yang dibawa lewat darat, maka akan berimbas pada jalan yang kemungkinan rusak karena beban yang tinggi. Sehingga kebutuhan biaya untuk memperbaiki akan selalu tinggi tiap tahunnya, padahal mungkin saja biaya tersebut dapat dialokasikan ke sektor lain yang dapat menurunkan biaya logistik yang ada di Indonesia misalnya sektor transportasi dan kepelabuhanan.

Sinergisitas Pelabuhan dan Pemerintah

Presentase biaya logistic di Indonesia dirasakan masih terlalu tinggi oleh para pengusaha. Biaya logistik yang memakan 24-26 % dari keseluruhan biaya produksi membuat pengusaha mau tak mau menaikkan harga jual untuk mengimbangi besarnya pengeluaran untuk ongkos logistik saja, terutama dalam proses distribusi barang. Secara nasional, Skor Logistic Performance Index(LPI) Indonesia yang dilansir oleh worldbank di tahun 2014 adalah 3,08 (skala 5) naik sebanyak 0,14 poin dibandingkan tahun 2012 yaitu 2,94. Melihat data ini, telah terjadi perubahan yang cukup signifikan atas skor LPI Indonesia yang naik dari peringkat 59 di tahun 2012 ke peringkat 53 dunia di tahun 2014. Masih kalah dari Vietnam di peringkat 48 dan Thailand di peringkat 35 (cukup dibandingkan dengan dua negara di asia tenggara ini, dengan singapura sudah terlalu jauh. Singapura di peringkat 5 dunia).

Berdasarkan data tersebut, ada enam komponen yang dinilai dalam skor LPI, customs (proses pemeriksaan barang yang masuk, contohnya bea cukai), infrastructure (pelabuhan, jalan raya), international shipment (kemudahan dalam menentukan biaya dan moda pengiriman), logistic competence (kompetensi dan kualitas dari pelayanan logistik), tracking & tracing (kemampuan melacak barang kiriman), dan timeliness (akurasi waktu dari rencana pengiriman). Dari keenam komponen tersebut Indonesia memiliki skor dibawah 3 untuk komponen customs (2,87), infrastructure (2,92), dan international shipments (2,87).

Yang unik adalah, jika kita menilai secara kasat mata skor 3 komponen di atas, naiknya peringkat LPI Indonesia dari peringkat 59 di tahun 2012 ke peringkat 53 di tahun 2014 adalah kenaikan tanpa membangun infrastruktur baru dan tanpa memperbaiki kualitas customs (bea cukai) yang ada selama ini. Dimana kedua hal tersebut idealnya merupakan tanggung jawab pemerintah. Tapi justru tanpa membangun dan memperbaiki kedua komponen itu LPI Indonesia naik cukup signifikan.

Setelah dilihat, komponen seperti logistic competence, tracking & tracing, dan timeliness yang ternyata mengkatrol skor LPI Indonesia, skornya cukup baik (diatas 3). Dimana ketiga komponen tersebut merupakan inti dari pelayanan logistik yang sebagian besarnya dimulai dari pelabuhan. Untuk Indonesia, pelabuhan yang paling vital adalah pelabuhan Tanjung Priok karena 70% aktivitas ekspor-impor Indonesia melalui Priok. Maka hanya dengan memperbaiki kualitas pelayanan pelabuhan di Tanjung Priok seperti kemudahan untuk shipmenttracing barang ada di mana, ketepatan waktu pengiriman barang, LPI Indonesia dapat naik hingga 6 peringkat.

Tentunya peran pemerintah diharapkan lebih besar untuk meningkatkan skor LPI Indonesia. Karena sejauh ini pemain utama di bidang logistik, perusahaan pelabuhan telah banyak berbenah. Bahkan beberapa rumusan solusi dari permasalahan maritim dan logistik Indonesia banyak dimulai oleh perusahaan pelabuhan misalnya PT Pelabuhan Indonesia II. Antara lain membangun terminal pelabuhan new priok dengan mereklamasi daerah utara Jakarta yang akan menjadi pelabuhan terbesar di Indonesia. New priok diperkirakan dapat menangani bongkar muat container hingga 13 juta Teus (pelabuhan tanjung priok hanya 7-8 juta Teus, Teus = 1 container ukuran 20 feet) yang memakan biaya hingga 40 Trilyun. Jika proyek ini benar-benar terealisasi dengan baik, diperkirakan akan meningkatkan volume perdagangan dan juga meningkatkan GDP Indonesia.

Solusi lain yang ditawarkan oleh perusahaan pelabuhan (Pelindo I-IV) adalah konsep Pendulum Nusantara. Pendulum Nusantara adalah sebuah sistem rute pelayaran sepanjang jalur barat-timur Indonesia yg beroperasi seperti pendulum. Rute yang dimaksud akan melewati enam pelabuhan utama, yakni Belawan, Batam, Jakarta, Surabaya, Makassar, dan Sorong. Dengan konsep ini, pelabuhan-pelabuhan tersebut diharapkan menjadi pelabuhan utama di regional mereka masing-masing yang akan dilewati oleh kapal besar dengan kapasitas lebih dari 3000 Teus. Sehingga nantinya bila konsep ini berjalan, biaya logistik akan ditekan karena biaya angkut yang dapat ditekan hingga 20%. Maka jangan heran bila nantinya harga barang di sorong akan sama dengan di Jawa karena ongkos logistik yang sama murahnya.

Bila industri pelabuhan telah bergerak jauh, maka sekali lagi, peran pemerintah dapat lebih besar seiring dengan terbentuknya pemerintahan baru pasca pileg dan pilpres di tahun ini. Tidak sekedar dengan dukungan dalam bentuk regulasi perundang-undangan tapi juga dukungan kongkret dalam membangun infrastruktur seperti jalan dan pelabuhan , meningkatkan kualitas pelayanan Bea Cukai, dan menjadi mitra yang memiliki pemahaman bahwa mengembangkan dan memperbaiki industry maritim dan logistik Indonesia, berarti memeratakan pembangunan di Indonesia. Akankah Presiden yang nanti terpilih mampu memenuhi harapan ini? Kita tunggu saja.

No comments:

Post a Comment