Tuesday, 2 September 2014

Mengoptimalkan Keunggulan Kompetitif IPC



IPC News
Ini tulisan saya yang diterbitkan di IPC News (Majalah Kantor), tapi apa daya alih-alih nama saya yang tercantum sebagai penulis, justru "Tim Kita" yang katanya menulis. Sudah saya complain dan beliau, para redaktur bilang, nanti akan ada koreksi atau keterangan di edisi selanjutnya. Ya gapapalah..

***
Microsoft dikabarkan membeli Nokia yang merupakan salah satu produsen ponsel terbesar di dunia di awal decade 2000-an. Perusahaan computer dunia itu secara resmi mengumumkannya jumat lalu, 25 April 2014. Dengan rampungnya pembelian tersebut, Nokia tidak lagi memproduksi perangkat mobile atau ponsel dan beralih fungsi dalam mengembangkan jaringan dan teknologi yang dikelola oleh Microsoft.  Maka dengan ini riwayat ponsel ini pun dapat dikatakan berakhir. Tidak ada lagi ponsel nokia yang akan diproduksi

Serupa dengan Nokia, Blackberry lebih kurang memiliki cerita yang sama dengan produsen ponsel asal Finlandia tersebut. Muncul di tahun 2004, blackberry secara cepat merebut hati pengguna smartphone di dunia khususnya di Indonesia dengan berbagai layanan dan fasilitas yang mumpuni. Tampilan yang elegan, berbagai aplikasi yang menarik dan dapat di unduh secara gratis (ataupun berbayar) membuat blackberry cukup lama mendominasi pasar smartphone hingga akhirnya di  tahun 2013 lalu, marketshare blackberry mengalami penurunan.

Gempuran dari para competitor seperti Apple dan Android menggerus pasar blackberry. Misalnya saja di Indonesia. Blackberry yang menguasai  43% pasar smartphone di tahun 2011 harus rela pangsa pasarnya menurun menjadi 14% di tahun 2013. Keputusan yang cepat dan berat harus segera diambil oleh CEO Blackberry demi menyelamatkan perusahaan ini. Hingga mereka pun mengambil suatu kebijakan yang tidak disangka. Melepas Blackberry Massenger ke semua platform smartphone sehingga BBM dapat digunakan di android dan iphone.

Competitive advantage
Melalui ilustrasi mengenai 2 industri ponsel di atas, setidaknya kita dapat melihat bahwa Blackberry ternyata dapat bertahan hingga kini, dan Nokia justru runtuh serta hilang dari kompetisi ponsel dunia. Keduanya memiliki nasib yang awalnya serupa tapi berakhir dengan cerita yang berbeda. Keduanya pernah merasakan kejayaan dan keduanya turut pula merasakan keterpurukan yang membedakannya hanya satu, maksimal atau tidaknya mereka dalam memanfaatkan competitive advantage perusahaan.

Competitive advantage secara harfiah dapat diartikan sebagai keunggulan kompetitif. Sesuatu yang membedakan satu perusahaan dengan perusahaan lain, sesuatu yang unik dan tidak bisa ditiru dalam waktu yang singkat. Keunggulan tersebut tidak serta merta muncul dan diketahui oleh sebuah perusahaan, karena mereka harus secara jeli melihat dan menganalisa secara mendalam mengenai strength, weakness, opportunities, dan threats (SWOT)  yang ada pada perusahaan mereka. Saat mereka memahami  SWOT dari perusahaan mereka selanjutnya  mereka dapat merasakan dan mengetahui apa yang membuat perusahaan mereka unik dan istimewa. Maka disanalah saatnya competitive adavantage mengambil peran dalam mengelaborasi sebuah perusahaan.

Contohnya Nokia dan Blackberry. Keduanya memiliki competitive advantage yang sama yaitu customer based yang luas dan loyal. Hal ini muncul seiring dengan invasi dan maksimalnya usaha kedua perusahaan ini dalam memasarkan produk mereka. Berbagai inovasi teknologi di dunia ponsel lebih kurang muncul pertama kali dari kedua produk ini yang membuat kedua produk tersebut dikenal luas oleh masyarakat sebagai ponsel yang mumpuni dan berkualitas. Brand image yang mengakar dan tumbuh di benak masyarakat khususnya konsumen mereka menciptakan keterikatan yang kuat antara produsen dan konsumen sehingga apapun produk terbaru dari kedua perusahaant tersebut, niscaya akan diminati oleh konsumen mereka.  

Blackberry menyikapi perkembangan teknologi dan memanfaat competitive advantage mereka dengan lebih baik dibandingkan Nokia. Saat Nokia masih stagnan dan hanya menggandeng Microsoft sebagai Operating system (OS) dari produk mutakhir mereka (Nokia Lumia), blackberry bergerak cepat dengan melepas primadona mereka yaitu BBM ke platform OS yang lain seperti iOS dan Android. Awalnya tindakan ini dianggap bunuh diri dan lambat laun mematikan perusahaan mereka. Tapi dengan beredarnya BBM disemua aplikasi OS smartphone, setidaknya dapat mempertahankan customer based mereka yang loyal sembari menambah customer baru dari platform OS yang lain. Sehingga hasil akhirnya pun bisa terlihat saat ini, blackberry tetap eksis dan Nokia akhirnya hilang.

IPC Competitive Advantage

Belajar dari dua perusahaan di atas, IPC sebagai perusahaan yang sedang mengalami transformasi di berbagai lini, hendaknya mampu mengenali competitive advantage yang ada pada dirinya hingga harapannya transformasi yang terjadi pada IPC dapat dioptimalkan oleh seluruh insan IPC.  Ada beberapa hal yang dapat dikategorikan sebagai keunggulan kompetitif yang dimiliki oleh IPC.

Pertama,  customer based yang besar. IPC yang memiliki wilayah kerja di Jakarta, jawa barat, sumatera bagian selatan, dan Kalimantan barat memiliki potensi dalam melayani alur perdagangan di tiga wilayah tersebut. Ditambah lagi dengan presentase barang import Indonesia yang masuk melalui pelabuhan tanjung priok yang mencapai 40% membuat peran IPC sangat besar dalam melayani customer dan pelaku bisnis di Indonesia.

Dengan customer based yang besar maka diharapkan IPC dapat lebih meningkatkan kualitas layanan dan memahami kebutuhan customer dimasa mendatang. Misalnya dengan mendirikan berbagai anak perusahaan yang fokus pada satu bidang seperti IKT (Indonesia Kendaraan Terminal), PPI (Pengembang Pelabuhan Indonesia), TPK (Terminal Peti Kemas) dan anak perusahaan lainnya sehingga layanan terhadap customer dapat lebih baik.

Keunggulan kedua, Young Workforce. Dalam beberapa tahun terakhir sejak Pak Lino menjadi Dirut, manajemen sangat memperhatikan kualitas SDM yang direkrut oleh IPC. Oleh karena itu, secara berkelanjutan rekrutmen IPC telah berhasil menarik lulusan dari beberapa universitas terbaik di Indonesia untuk bergabung bersama IPC. Antara lain dari UI, ITB, UGM, PNJ, Polban Bandung, Poltek UGM dan beberapa universitas lainnya. Dimana sebagiannya adalah fresh graduate dan tergolong tenaga muda.

Berdasarkan data SDM IPC, dari 2400-an orang pegawai organic IPC, terdapat sekitar 568 orang yang lahir antara tahun 1980 sampai dengan 1994 yang merupakan bagian dari Young workforce atau tenaga-tenaga muda IPC. Berarti ada sekitar 24 Persen atau hampir seperempat bagian dari seluruh pegawai IPC adalah tenaga-tenaga muda.  Harapannya Tenaga-tenaga muda yang berpikiran terbuka dan bersemangat tersebut dapat memberikan andil bagi transformasi IPC di masa mendatang.

Keunggulan ketiga, Corporate Culture. Hal ini walaupun belum sepenuhnya terbentuk, suatu saat akan menjadi competitive advantage dari IPC yang membedakan perusahaan ini dari perusahaan lainnya. Karena budaya perusahaan yang terbentuk merupakan suatu hal yang unik dan sulit di duplikasi terutama dalam hal perilaku yang membudaya.

Suatu perilaku disebut telah membudaya pada sebuah organisasi atau perusahaan adalah saat ada seseorang melakukan hal yang berlawanan dengan perilaku tersebut, maka orang tersebut dianggap aneh dan dijauhi oleh individu dalam perusahaan tersebut. Misalnya hadir tepat waktu dan tidak terlambat. Jika seluruh karyawan datang ke kantor tepat waktu, maka satu orang yang terlambat akan merasa bersalah dan menimbulkan efek punishment dari lingkungan sosial. Maka perilaku unggul yang diharapkan dapat membawa perusahaan ke arah yang lebih baik coba dirumuskan oleh IPC dalam bentuk nilai dan budaya perusahaan yang baru.

Dalam setahun terakhir ini IPC sedang gencar mensosialisasikan Nilai dan Budaya perusahaan yang baru. Nilai dan budaya yang diharapkan mampu diinternalisasikan ke dalam perilaku insan IPC dalam bekerja di perusahaan. Nilai perusahaan tersebut terdiri dari lima aspek. People First, Integrity, Customer Centric, Sustainability, dan Quality. Dimana dari kelima nilai tersebut dituangkan dalam 4 perilaku yang hendaknya dapat diterapkan oleh pegawai IPC.

IPC way terdiri dari 4 aspek perilaku antara lain, menumbuhkan pemimpin berkinerja tinggi, menggerakkan pertumbuhan nasional serta berwawasan internasional, menciptakan organisasi yang lincah, dan membangun tempat bekerja yang luar biasa. Ke empat aspek inilah yang kedepannya dapat diterapkan sebagai budaya perusahaan oleh seluruh pegawai IPC.

Dengan ketiga keunggulan kompetitif tersebut idealnya IPC  mampu berbicara banyak dalam ranah maritime dan industry logistic Indonesia. Namun itu semua kembali lagi kepada kita selaku insan IPC, siap berperan aktif dalam menyongsong IPC yang lebih baik atau terdiam dan hanya jadi penonton yang tak punya andil apa-apa.

No comments:

Post a Comment