Ada yang datang dan ada juga yang pergi. Sebuah keniscayaan yang muncul sebagai imbas perputaran roda generasi. Yang tua digantikan yang muda bagai senja melahirkan pagi.
Begitu pula kejadiannya di fakultasku psikologi UI. Berkali-kali dan hingga kini beranjak menuju fitrah hakiki. Sebagai Ustadziatul a'lam sang guru sejati. Bagi seluruh mahasiswa di kampus ini.
Berawal dari eksistensi wajihah perjuangan. Menuju satu tujuan sebarkan kebaikan ke semua kalangan. Tidak mengenal kata pengecualian. Asalkan muslim, marilah kita bersama menggapai tujuan. Terukir indah dalam nuansa persaudaraan. Layaknya jiwa bersinergi dengan badan.
Itu peristiwa beberapa waktu yang lalu. Saat para pendahulu meretas jalan berliku. Yang kami nikmati dengan tanpa rasa malu. berpuas diri dengan apa yang telah berlaku. hingga tibalah janji sang penguasa waktu.
Ia datang mencabut nikmat yang dirasa. Menjadikan hati-hati kami ciut menghadapi masalah di depan mata. Tak lagi ada satu rasa bersaudara. Seperti pendahulu kami mencontohkannya. Kami meraba dan sulit menerka. Memilih jalan yang sudah ada.
Ah..betapa bodohnya kami. Melihat segalanya dari satu persepsi. Di kala dunia luas tanpa segi. Tatkala pendahulu kami memulai jalan dari salah satu sisi. Dan kami pun mulai menapaki lagi. Jalan yang dulu pernah mereka lalui. Menjadi Ustadziatul A'lam bagi kampus ini.
Dari SINI kita kan Memulainya saudaraku. Dan dari SINI Kita menapaki jalan menuju satu tempat yang kita rindukan.
Surga seluas langit dan bumi.
Thursday, 30 October 2008
Friday, 24 October 2008
[Forum NgomPol]: Tulisan Pertama -SDO dan Dunia Kemahasiswaan-
Pratto dan sidanius, dua orang pakar psikologi sosial, mengatakan bahwa Social Dominance Orientation (SDO) menjadi trend yang kini berkembang dalam dinamika antar kelompok. Kelompok tak lagi bergelut dalam usaha untuk mempertahankan eksistensi kelompoknya. Tapi juga tengah berusaha agar mereka dapat mendominasi kelompok lain.
hal ini dimungkinkan terjadi ketika saat ini kelompok-kelompok dalam masyarakat terdifferensiasikan menjadi sebuah hierarki. Ada kelompok yang berada dalam hierarki tertinggi dan ada kelompok yang berada dalam hierarki terrendah. Patokan yang menjadi landasan kita dalam menentukan tinggi rendahnya hierarki tersebut adalah positive social value yang didapatkan kelompok.
positive social value tersebut beragam. dari namanya saja kita dapat mengambil makna bahwa ia(baca:positive social value) adalah sebuah nilai-nilai positive yang di dapatkan kelompok dalam kehidupan sosial. Misalnya keleluasaan untuk berobat di rumah sakit, akses luas ke tempat-tempat tertentu, nama baik yang menjual, dan sebagainya. Sehingga tentu saja membuat setiap individu dalam kelompok hierarki tertinggi berupaya semaksimal mungkin untuk mempertahankannya.
Ada banyak cara bagi kelompok untuk mempertahankan positive social value(PSV). Salah satunya dengan menekan kelompok hierarki rendah dengan berbagai diskriminasi aturan. Yang tentu saja dapat mereka lakukan karena mereka mempunyai PSV. Orang yang ingin masuk ke sebuah tempat di halangi karena dianggap tidak memiliki kedudukan yang sama dengan mereka. Padahal bisa saja mereka tidak membolehkan bukan karena status yang berbeda. Tapi karena mereka tidak ingin kepuasan dan hal-hal positif yang mereka miliki terbagi ataupun hilang karena adanya individu dari kelompok lain.
Maka kini, mari kita generalisasikan dengan kondisi aktual kita saat ini. Khususnya saya yang berada dalam dunia kemahasiswaan. Dimana ternyata praktek-praktek SDO telah lazim digunakan meski banyak diantara kita yang tidak mengerti apa itu SDO.
Kelompok (dalam hal ini para mahasiswa satu golongan, ideologi, dll ) yang telah mendapatkan positive social value bertahun-tahun pasti cenderung mempertahankannya. Hal ini sudah tidak terbantahkan untuk kita akui berdasarkan teori SDO. Terlihat dalam suasana suksesi kepemimpinan lembaga kampus. Dimana kelompok 'dominan' a.k.a yang mendapatkan PSV, memperjelas alur kaderisasi yang memastikan mereka tetap berada pada hierarki tertinggi. Segalanya diupayakan hingga mungkin terlihat arogan bagi beberapa pihak yang notabene berada pada hierarki rendah.
Ada usaha untuk mempertahankan hierarki dari kelompok 'dominan' dan kemarahan kelompok sub-ordinat (hierarki terrendah) untuk merebut PSV. Sehingga terjadi sebuah revolusi dan pemberontakan dari kelompok ini terhadap kelompok dominan. Yang kini terlihat dalam ajang suksesi. Baik di tingkat UI ataupun fakultas.
Di tingkat UI tentunya dari kelompok 'dominan' telah memilih wakilnya untuk meneruskan tongkat estafet kepemimpinan. Sebagai upaya mempertahankan PSV. Dan sebagai implikasinya perlawanan dari kelompok sub-ordinat tentu saja mengemuka. Telah ada beberapa calon setahu saya dari kelompok ini. Ada dari fakultas saya sendiri, psikologi, dan ada yang berasal dari fakultas di belakang psikologi, FASILKOM UI.
Nah, itu di tinggkat UI, kalau di tingkat fakultas beragam kejadian juga memberikan gambaran realita dua jenis kelompok ini. Kelompok dominan yang pernah bertahta selama beberapa waktu mulai mencari celah dengan menggaet 'pangeran' dari kelompok eksekutif berkuasa. Yang terdiri dari kombinasi kelompok aristokrat (begitu saya menyebutnya) dan kelompok veteran perjuangan 2007(klo yang aware sama pemilu atau suksesi pasti tau..hehe..). Dimana kelompok aristokrat saat ini mencoba peruntungannya dengan mencalonkan wakilnya sebagai BEM 1. Setelah bertahun-tahun lamanya tidak mencalonkan 'orang' dan hanya 'mendompleng' kepada kelompok tertentu, contohnya dengan kelompok veteran perjuangan 2007.
Setelah menyimak kedua realitas di dunia kemahasiswaan tingkat UI dan fakultas. Saya dapat menyimpulkan bahwa SDO bukanlah sesuatu yang negatif selama ia bermanfaat untuk mahasiswa lainnya. Dan tentunya selama menggunakan aturan bermain yang fair dalam mempertahankan PSV. Karena SDO adalah fitrah manusia, apalagi yang berada dalam lingkungan kelompok yang memiliki PSV yang tinggi.
*diiringi tepuk tangan meriah oleh audiense dalam forum NgomPol Wadin-Hamzah*
hehe..
hal ini dimungkinkan terjadi ketika saat ini kelompok-kelompok dalam masyarakat terdifferensiasikan menjadi sebuah hierarki. Ada kelompok yang berada dalam hierarki tertinggi dan ada kelompok yang berada dalam hierarki terrendah. Patokan yang menjadi landasan kita dalam menentukan tinggi rendahnya hierarki tersebut adalah positive social value yang didapatkan kelompok.
positive social value tersebut beragam. dari namanya saja kita dapat mengambil makna bahwa ia(baca:positive social value) adalah sebuah nilai-nilai positive yang di dapatkan kelompok dalam kehidupan sosial. Misalnya keleluasaan untuk berobat di rumah sakit, akses luas ke tempat-tempat tertentu, nama baik yang menjual, dan sebagainya. Sehingga tentu saja membuat setiap individu dalam kelompok hierarki tertinggi berupaya semaksimal mungkin untuk mempertahankannya.
Ada banyak cara bagi kelompok untuk mempertahankan positive social value(PSV). Salah satunya dengan menekan kelompok hierarki rendah dengan berbagai diskriminasi aturan. Yang tentu saja dapat mereka lakukan karena mereka mempunyai PSV. Orang yang ingin masuk ke sebuah tempat di halangi karena dianggap tidak memiliki kedudukan yang sama dengan mereka. Padahal bisa saja mereka tidak membolehkan bukan karena status yang berbeda. Tapi karena mereka tidak ingin kepuasan dan hal-hal positif yang mereka miliki terbagi ataupun hilang karena adanya individu dari kelompok lain.
Maka kini, mari kita generalisasikan dengan kondisi aktual kita saat ini. Khususnya saya yang berada dalam dunia kemahasiswaan. Dimana ternyata praktek-praktek SDO telah lazim digunakan meski banyak diantara kita yang tidak mengerti apa itu SDO.
Kelompok (dalam hal ini para mahasiswa satu golongan, ideologi, dll ) yang telah mendapatkan positive social value bertahun-tahun pasti cenderung mempertahankannya. Hal ini sudah tidak terbantahkan untuk kita akui berdasarkan teori SDO. Terlihat dalam suasana suksesi kepemimpinan lembaga kampus. Dimana kelompok 'dominan' a.k.a yang mendapatkan PSV, memperjelas alur kaderisasi yang memastikan mereka tetap berada pada hierarki tertinggi. Segalanya diupayakan hingga mungkin terlihat arogan bagi beberapa pihak yang notabene berada pada hierarki rendah.
Ada usaha untuk mempertahankan hierarki dari kelompok 'dominan' dan kemarahan kelompok sub-ordinat (hierarki terrendah) untuk merebut PSV. Sehingga terjadi sebuah revolusi dan pemberontakan dari kelompok ini terhadap kelompok dominan. Yang kini terlihat dalam ajang suksesi. Baik di tingkat UI ataupun fakultas.
Di tingkat UI tentunya dari kelompok 'dominan' telah memilih wakilnya untuk meneruskan tongkat estafet kepemimpinan. Sebagai upaya mempertahankan PSV. Dan sebagai implikasinya perlawanan dari kelompok sub-ordinat tentu saja mengemuka. Telah ada beberapa calon setahu saya dari kelompok ini. Ada dari fakultas saya sendiri, psikologi, dan ada yang berasal dari fakultas di belakang psikologi, FASILKOM UI.
Nah, itu di tinggkat UI, kalau di tingkat fakultas beragam kejadian juga memberikan gambaran realita dua jenis kelompok ini. Kelompok dominan yang pernah bertahta selama beberapa waktu mulai mencari celah dengan menggaet 'pangeran' dari kelompok eksekutif berkuasa. Yang terdiri dari kombinasi kelompok aristokrat (begitu saya menyebutnya) dan kelompok veteran perjuangan 2007(klo yang aware sama pemilu atau suksesi pasti tau..hehe..). Dimana kelompok aristokrat saat ini mencoba peruntungannya dengan mencalonkan wakilnya sebagai BEM 1. Setelah bertahun-tahun lamanya tidak mencalonkan 'orang' dan hanya 'mendompleng' kepada kelompok tertentu, contohnya dengan kelompok veteran perjuangan 2007.
Setelah menyimak kedua realitas di dunia kemahasiswaan tingkat UI dan fakultas. Saya dapat menyimpulkan bahwa SDO bukanlah sesuatu yang negatif selama ia bermanfaat untuk mahasiswa lainnya. Dan tentunya selama menggunakan aturan bermain yang fair dalam mempertahankan PSV. Karena SDO adalah fitrah manusia, apalagi yang berada dalam lingkungan kelompok yang memiliki PSV yang tinggi.
*diiringi tepuk tangan meriah oleh audiense dalam forum NgomPol Wadin-Hamzah*
hehe..
Forum diskusi dibuka
Berkali-kali ku berpikir dan berkali pula diriku berdecak heran. Masih sempatkah mereka memikirkan hearing kepada kami? Tatkala sebuah perhelatan akbar berada di depan mata. Kalaulah mereka konsisten untuk meramaikan perhelatan ini, setidaknya mereka menyelesaikan dulu segala kelengkapan yang dibutuhkan untuk bertarung selama perhelatan ini digelar. Sebelum akhirnya memikirkan hearing.
Dikala yang lain berpikir dan menyusun artileri peperangan. Mereka masih sibuk dengan hearing dan proses pencarian sosok yang tepat bagi pucuk pimpinan tertinggi eksekutif. Untungnya sang tokoh utama sudah berhasil 'dikontrak' (selama tulisan ini diturunkan itulah berita terakhir yang terdengar dari tembok2 psikologi yang katanya bisa berbicara). Walaupun banyak juga yang heran tak percaya. “Kenapa orang itu?” whatever lah..terserah mereka. Tapi satu yang kusayangkan. Orang itu sebenarnya pernah kudekati untuk bergabung di barisan legislative.
Ia telah mencapai sebuah titik dimana tiada pilihan selain bergabung bersama di legislative 1 tahun ke depan. Semua argumentasi dan penolakan yang ia lontarkan kubalas dengan berbagai penjelasan logis yang masuk akal. Ia seorang tipe pemikir, tapi gagal dalam hal manejemen diri. Sangat cocok dengan legislative yang membutuhkan tipe konseptor. Bila memang ia masih bermasalah dengan manajemen diri, tenang saja ‘jam kerja’ legislative tidak terikat kuat seperti eksekutif, sangat fleksibel. Memungkinkan ia sedikit demi sedikit memperbaiki diri.
Tapi kembali lagi, itu semua tergantung pada keputusan akhir darinya. Dan dengan sangat disayangkan ia membuat statement yang membuat ku tak lagi bisa membujuknya. “saya sudah berjanji pada diri saya sendiri untuk memperbaiki akademis saya, jadi nampaknya saya tidak akan kemana-mana tahun depan”. Speechless..tak tahu apa yang harus kuucapkan dan akhirnya ia kutinggalkan. Membiarkannya pada keputusan yang telah ia pilih.
Kembali, seperti yang sudah kuceritakan diawal, Ia telah ‘dikontrak’. Sehingga secara tidak langsung melanggar janji yang telah ia buat pada dirinya sendiri. Terkejut? Sedikit, kecewa? Mungkin ada. Tapi pastinya yang paling membuatku tak habis pikir kekuatan seperti apa yang bisa mengubah putusannya? haruslah kekuatan yang melebihi diriku yang hanya seorang diri. Mungkin kekuatan kelompok (jamaah mereka bukan kami?hehe), atau mungkin kekuatan materi?(hm..hm..) Entah lah, yang jelas perhelatan akan segera dimulai dan mari kita saksikan bersama.
*dengan diiringi bunyi gong yang menandakan forum diskusi NgomPol wadin-hamzah secara resmi dibuka*
-gratis untuk umum-hehe
Dikala yang lain berpikir dan menyusun artileri peperangan. Mereka masih sibuk dengan hearing dan proses pencarian sosok yang tepat bagi pucuk pimpinan tertinggi eksekutif. Untungnya sang tokoh utama sudah berhasil 'dikontrak' (selama tulisan ini diturunkan itulah berita terakhir yang terdengar dari tembok2 psikologi yang katanya bisa berbicara). Walaupun banyak juga yang heran tak percaya. “Kenapa orang itu?” whatever lah..terserah mereka. Tapi satu yang kusayangkan. Orang itu sebenarnya pernah kudekati untuk bergabung di barisan legislative.
Ia telah mencapai sebuah titik dimana tiada pilihan selain bergabung bersama di legislative 1 tahun ke depan. Semua argumentasi dan penolakan yang ia lontarkan kubalas dengan berbagai penjelasan logis yang masuk akal. Ia seorang tipe pemikir, tapi gagal dalam hal manejemen diri. Sangat cocok dengan legislative yang membutuhkan tipe konseptor. Bila memang ia masih bermasalah dengan manajemen diri, tenang saja ‘jam kerja’ legislative tidak terikat kuat seperti eksekutif, sangat fleksibel. Memungkinkan ia sedikit demi sedikit memperbaiki diri.
Tapi kembali lagi, itu semua tergantung pada keputusan akhir darinya. Dan dengan sangat disayangkan ia membuat statement yang membuat ku tak lagi bisa membujuknya. “saya sudah berjanji pada diri saya sendiri untuk memperbaiki akademis saya, jadi nampaknya saya tidak akan kemana-mana tahun depan”. Speechless..tak tahu apa yang harus kuucapkan dan akhirnya ia kutinggalkan. Membiarkannya pada keputusan yang telah ia pilih.
Kembali, seperti yang sudah kuceritakan diawal, Ia telah ‘dikontrak’. Sehingga secara tidak langsung melanggar janji yang telah ia buat pada dirinya sendiri. Terkejut? Sedikit, kecewa? Mungkin ada. Tapi pastinya yang paling membuatku tak habis pikir kekuatan seperti apa yang bisa mengubah putusannya? haruslah kekuatan yang melebihi diriku yang hanya seorang diri. Mungkin kekuatan kelompok (jamaah mereka bukan kami?hehe), atau mungkin kekuatan materi?(hm..hm..) Entah lah, yang jelas perhelatan akan segera dimulai dan mari kita saksikan bersama.
*dengan diiringi bunyi gong yang menandakan forum diskusi NgomPol wadin-hamzah secara resmi dibuka*
-gratis untuk umum-hehe
Monday, 20 October 2008
Kita dan Mereka
Hari ini sejenak ku memaknai peristiwa yang berkelabat lewat di depanku. Satu hal yang dapat kukatakan. Mereka bukan bagian dari KITA. Setelah mereka secara diatremal memposisikan diri tuk mengambil jalannya sendiri. Tak masalah jika itu merupakan sebuah rencana yang sudah di susun sedemikian rupa. Tapi menjadi konyol ketika itu dibuat sebagai upaya tuk menegaskan ke-ego-an mereka.
Eksistensi serasa tuhan bagi mereka. Asalkan muncul di permukaan semua inferioritas urusan belakangan. Tak jadi soal yang namanya ideology.Yang penting gerak dulu, berpikir dan memaknai urusan ke seribu. Hingga mungkin membabi buta adalah sebuah habituasi perilaku. Ah.. Mereka sungguh berpijak pada pijakan yang lemah.
Berbeda dengan KITA. Landasan berpijak yang kokoh di atas manhaj perjuangan. Menjadi sebuah motor bagi gerakan para pejuang. Serasa dipandu oleh jalan panjang para syuhada, sholihin yang telah mendahului KITA. Hingga dapat ku berteriak dengan lantang “Kami berpijak pada landasan yang kuat, dan tak mungkin tergoyahkan oleh tipu muslihat kalian”
Jelaskah perbedaan KITA dan mereka??
“berapa banyak orang ada di tengah kita, tetapi bukan kelompok kita, dan berapa banyak orang yang tercatat bagian dari kita. Tetapi tidak ada di tengah kita. Sesungguhnya kekitaan ‘kita’ terletak pada kebersamaan menanggung bebab dakwah dan jalan panjang perjuangan.” –pilar asasi, Alm. Ust Rahmat Abdullah-
-untuk Om dan adek, jangan ragu tuk bergerak saudaraku. Jalan perjuangan masih panjang.-
Eksistensi serasa tuhan bagi mereka. Asalkan muncul di permukaan semua inferioritas urusan belakangan. Tak jadi soal yang namanya ideology.Yang penting gerak dulu, berpikir dan memaknai urusan ke seribu. Hingga mungkin membabi buta adalah sebuah habituasi perilaku. Ah.. Mereka sungguh berpijak pada pijakan yang lemah.
Berbeda dengan KITA. Landasan berpijak yang kokoh di atas manhaj perjuangan. Menjadi sebuah motor bagi gerakan para pejuang. Serasa dipandu oleh jalan panjang para syuhada, sholihin yang telah mendahului KITA. Hingga dapat ku berteriak dengan lantang “Kami berpijak pada landasan yang kuat, dan tak mungkin tergoyahkan oleh tipu muslihat kalian”
Jelaskah perbedaan KITA dan mereka??
“berapa banyak orang ada di tengah kita, tetapi bukan kelompok kita, dan berapa banyak orang yang tercatat bagian dari kita. Tetapi tidak ada di tengah kita. Sesungguhnya kekitaan ‘kita’ terletak pada kebersamaan menanggung bebab dakwah dan jalan panjang perjuangan.” –pilar asasi, Alm. Ust Rahmat Abdullah-
-untuk Om dan adek, jangan ragu tuk bergerak saudaraku. Jalan perjuangan masih panjang.-
Friday, 17 October 2008
warisan kepemimpinan
Seorang leadership inspirator suatu saat pernah memberikan petuah pada mahasiswa (yang katanya) calon pemimpin masa depan. Lazimnya sebuah petuah, pastilah isinya tak jauh dari sebuah arahan. Setidaknya anjuran agar si para calon (yang katanya) pemimpin masa depan ini agar menjadi para pemimpin yang baik.
Terdapat satu hal dari berpuluh hal dalam isi petuah yang sejak itu hingga kini selalu terngiang dan meng-hegemoni pikiran saya. Yakni seorang pemimpin yang baik hendaknya memastikan bahwa penerusnya nanti jauh lebih baik dari dirinya. Kaderisasi yang dapat memberikan ‘surga’ bagi penerusnya dan bukannya ‘neraka’ ketika mereka menerima tampuk kepemimpinan darinya.
Tengoklah kondisi actual yang kini terjadi. Tak usah jauh melihat dunia, karena ia sulit untuk kita affirmasi keobjektifannya. Lingkungan kampus di sekeliling saya dapat menjadi sebuah bukti nyata dari kebobrokan system kaderisasi dari sebagian pemimpin. Tentunya para bos dan pimpinan lembaga kemahasiswaan di kampus saya.
Entah karena amanah yang berat atau karena saking nyamannya berada dalam posisi strategis. Para pemimpin ini kerap kali lupa akan fungsi pewarisan yang merupakan salah satu domain dari system kaderisasi. Padahal dengan adanya hal ini sebuah lembaga atau organisasi dapat survive. Paling tidak dalam jangka waktu beberapa tahun ke depan. Baiklah, saya tahu bahwa factor X ikut berperan dalam hal ini. Dimana mungkin saja yang meneruskan tampuk kepemimpinan selanjutnya bukanlah dari golongannya. Karena mungkin saja(sekali lagi) mungkin saja setelah hasil pemilihan ternyata yang memenangkan pertarungan (baca:pemilu?) bukan dari golongannya. Yang membuat si pendahulu ‘ogah’ untuk mewariskan sesuatu. Boro-boro mewariskan, ngobrol aja tak sudi..hehe
Tapi kalau yang menang (menang?) dari golongannya tetap saja terdapat kesalahan yang dilakukan oleh pemimpin sebelumnya. Ia tidak memberitahukan atau mungkin lupa atau mungkin belum sempat menginformasikan beberapa kesalahan fatal yang harus diperbaiki penerusnya. Sehingga ketika berjalan ia masih saja berkutat untuk membereskan masalah yang di’waris’kan oleh pendahulunya. Maka tak heran beberapa lembaga bahkan berjalan di tempat karena saking banyaknya masalah yang diwariskan. Aneh…justru masalah yang diwariskan.
-Untuk pemimpin kelembagaan UI periode selanjutnya-
Sabar-sabar dalam menghadapi kepengurusan mendatang. Karena nampaknya kepengurusan mendatang tambah berat bagi anda semua.
Terdapat satu hal dari berpuluh hal dalam isi petuah yang sejak itu hingga kini selalu terngiang dan meng-hegemoni pikiran saya. Yakni seorang pemimpin yang baik hendaknya memastikan bahwa penerusnya nanti jauh lebih baik dari dirinya. Kaderisasi yang dapat memberikan ‘surga’ bagi penerusnya dan bukannya ‘neraka’ ketika mereka menerima tampuk kepemimpinan darinya.
Tengoklah kondisi actual yang kini terjadi. Tak usah jauh melihat dunia, karena ia sulit untuk kita affirmasi keobjektifannya. Lingkungan kampus di sekeliling saya dapat menjadi sebuah bukti nyata dari kebobrokan system kaderisasi dari sebagian pemimpin. Tentunya para bos dan pimpinan lembaga kemahasiswaan di kampus saya.
Entah karena amanah yang berat atau karena saking nyamannya berada dalam posisi strategis. Para pemimpin ini kerap kali lupa akan fungsi pewarisan yang merupakan salah satu domain dari system kaderisasi. Padahal dengan adanya hal ini sebuah lembaga atau organisasi dapat survive. Paling tidak dalam jangka waktu beberapa tahun ke depan. Baiklah, saya tahu bahwa factor X ikut berperan dalam hal ini. Dimana mungkin saja yang meneruskan tampuk kepemimpinan selanjutnya bukanlah dari golongannya. Karena mungkin saja(sekali lagi) mungkin saja setelah hasil pemilihan ternyata yang memenangkan pertarungan (baca:pemilu?) bukan dari golongannya. Yang membuat si pendahulu ‘ogah’ untuk mewariskan sesuatu. Boro-boro mewariskan, ngobrol aja tak sudi..hehe
Tapi kalau yang menang (menang?) dari golongannya tetap saja terdapat kesalahan yang dilakukan oleh pemimpin sebelumnya. Ia tidak memberitahukan atau mungkin lupa atau mungkin belum sempat menginformasikan beberapa kesalahan fatal yang harus diperbaiki penerusnya. Sehingga ketika berjalan ia masih saja berkutat untuk membereskan masalah yang di’waris’kan oleh pendahulunya. Maka tak heran beberapa lembaga bahkan berjalan di tempat karena saking banyaknya masalah yang diwariskan. Aneh…justru masalah yang diwariskan.
-Untuk pemimpin kelembagaan UI periode selanjutnya-
Sabar-sabar dalam menghadapi kepengurusan mendatang. Karena nampaknya kepengurusan mendatang tambah berat bagi anda semua.
Monday, 6 October 2008
Seputar Materialis Spirituality
Fakta yang kini ada menunjukkan perkembangan baru dalam gaya hidup komunitas perkotaan. Terutama bagi masyarakat kelas atas yang saat ini banyak memainkan peran sentral dalam kehidupan kota besar. Tak hanya mengagungkan aspek materialistis yang lazim dikalangan mereka tapi juga sisi-sisi spiritualitas yang kini berkembang. Mungkin momen Idulfitri dan juga Ramadhan dapat menjadi sandaran dalam melihat fenomena ini.
Tengoklah suasana yang muncul bersamaan dengan datangnya Ramadhan. Berbondong-bondong seluruh lapisan masyarakat menyambutnya. Tak ketinggalan masyarakat kelas atas pun menyambut datangnya bulan suci ini. Terlebih lagi stakeholder yang berkepentingan dalam dunia kelas atas. Para investor, pelaku pasar, dan pemodal yang berlomba menggaet masyarakat perkotaan untuk menggunakan produk mereka. Dengan media yang menjadi ujung tombak, mereka berupaya mencitrakan ramadhan yang penuh dengan materi dan hedonisme kehidupan.
Ramadhan tak lagi dilihat sebagai wasilah dalam meraih kesempurnaan spiritual. Seperti yang umumnya dilakukan dibulan ini. Tapi justru sebaliknya, trend yang ada memperlihatkan bahwa komunitas ini (baca:masyarakat kelas atas) digiring untuk meng-idealkan diri dalam standar materialistik. Memang hal ini tak kentara terlihat ketika ramadhan. Paling umum hanya menggambarkan ramadhan yang penuh dengan makanan mewah dan lezat. Namun, mari kita refleksikan bersama suasana idul fitri yang lalu. Mungkin momen idul fitri lebih jelas dalam memperlihatkan trend ini.
Idul fitri diidentikan dalam aura materialistis. Baju baru, sajadah baru, kendaraan baru dan berbagai materi yang dapat diindrai. Momen ini tak lagi dijadikan standar bagi terbentuknya insan baru yang telah melewati tahapan proses spiritual. Akan tetapi, ia hanya dijadikan sarana bagi komunitas ini (baca: kelas atas) mengklaim diri telah mencapai tahap peak experience spirituality (kondisi puncak penghayatan spiritual). Yang sekonyong-konyong justru menempatkan diri mereka dalam posisi pseudo spirituality (kondisi spiritual semu).
Pseudo spirituality hakikatnya adalah disonansi yang terjadi saat sisi spiritual dihayati melalui sisi material. Ia (baca:sisi spiritual) tak lagi dihayati sebagai sesuatu yang metafisik namun telah dimaknai sebagai sesuatu yang indrawi. Metafisik yang berarti melebihi kemampuan fisik dalam merespon kondisi sekitar, merupakan penghayatan dari sisi spiritual yang dibutuhkan untuk membangun kondisi puncak penghayatan spiritual (peak experience spirituality). Maka tak heran puasa yang notabene melatih sisi spiritual kita, dapat dijadikan sarana untuk melatih diri dalam mengontrol aspek indrawi yang dimiliki manusia.
Berkat proses metafisik yang tak lagi dijadikan landasan dalam menggapai kondisi genuineness spirituality (kondisi spiritual murni). Dimana ia merupakan buah dari peak experience spirituality, tak pernah menyambangi para materialis spirituality (proses spiritual para pengagum materi). Yang dikhawatirkan menjadi status baru bagi para masyarakat kelas atas.
Kondisi ini akan terus bertahan selama tatanan yang menyusun masyarakat terutama kelas atasnya masih memiliki paradigma yang semu pada sisi spiritual. Yakni para pelaku pasar, investor, dan pemodal yang memiliki peranan besar dalam hal ini. Memang tak patut pula kita menyalahkan para pemegang kunci-kunci keuangan seperti mereka. Karena bisa saja disebabkan hal-hal tertentu yang menjadi variable sekunder akan hal ini. Namun, kenyataan yang kini ada menunjukkan keselarasan dengan hipotesis penulis.
Sehingga nantinya mungkin saja masyarakat kelas atas tak lagi dapat merasakan nikmatnya genuinennes spirituality. Dan justru terjebak dalam status baru mereka sebagai materialis spirituality.
Tengoklah suasana yang muncul bersamaan dengan datangnya Ramadhan. Berbondong-bondong seluruh lapisan masyarakat menyambutnya. Tak ketinggalan masyarakat kelas atas pun menyambut datangnya bulan suci ini. Terlebih lagi stakeholder yang berkepentingan dalam dunia kelas atas. Para investor, pelaku pasar, dan pemodal yang berlomba menggaet masyarakat perkotaan untuk menggunakan produk mereka. Dengan media yang menjadi ujung tombak, mereka berupaya mencitrakan ramadhan yang penuh dengan materi dan hedonisme kehidupan.
Ramadhan tak lagi dilihat sebagai wasilah dalam meraih kesempurnaan spiritual. Seperti yang umumnya dilakukan dibulan ini. Tapi justru sebaliknya, trend yang ada memperlihatkan bahwa komunitas ini (baca:masyarakat kelas atas) digiring untuk meng-idealkan diri dalam standar materialistik. Memang hal ini tak kentara terlihat ketika ramadhan. Paling umum hanya menggambarkan ramadhan yang penuh dengan makanan mewah dan lezat. Namun, mari kita refleksikan bersama suasana idul fitri yang lalu. Mungkin momen idul fitri lebih jelas dalam memperlihatkan trend ini.
Idul fitri diidentikan dalam aura materialistis. Baju baru, sajadah baru, kendaraan baru dan berbagai materi yang dapat diindrai. Momen ini tak lagi dijadikan standar bagi terbentuknya insan baru yang telah melewati tahapan proses spiritual. Akan tetapi, ia hanya dijadikan sarana bagi komunitas ini (baca: kelas atas) mengklaim diri telah mencapai tahap peak experience spirituality (kondisi puncak penghayatan spiritual). Yang sekonyong-konyong justru menempatkan diri mereka dalam posisi pseudo spirituality (kondisi spiritual semu).
Pseudo spirituality hakikatnya adalah disonansi yang terjadi saat sisi spiritual dihayati melalui sisi material. Ia (baca:sisi spiritual) tak lagi dihayati sebagai sesuatu yang metafisik namun telah dimaknai sebagai sesuatu yang indrawi. Metafisik yang berarti melebihi kemampuan fisik dalam merespon kondisi sekitar, merupakan penghayatan dari sisi spiritual yang dibutuhkan untuk membangun kondisi puncak penghayatan spiritual (peak experience spirituality). Maka tak heran puasa yang notabene melatih sisi spiritual kita, dapat dijadikan sarana untuk melatih diri dalam mengontrol aspek indrawi yang dimiliki manusia.
Berkat proses metafisik yang tak lagi dijadikan landasan dalam menggapai kondisi genuineness spirituality (kondisi spiritual murni). Dimana ia merupakan buah dari peak experience spirituality, tak pernah menyambangi para materialis spirituality (proses spiritual para pengagum materi). Yang dikhawatirkan menjadi status baru bagi para masyarakat kelas atas.
Kondisi ini akan terus bertahan selama tatanan yang menyusun masyarakat terutama kelas atasnya masih memiliki paradigma yang semu pada sisi spiritual. Yakni para pelaku pasar, investor, dan pemodal yang memiliki peranan besar dalam hal ini. Memang tak patut pula kita menyalahkan para pemegang kunci-kunci keuangan seperti mereka. Karena bisa saja disebabkan hal-hal tertentu yang menjadi variable sekunder akan hal ini. Namun, kenyataan yang kini ada menunjukkan keselarasan dengan hipotesis penulis.
Sehingga nantinya mungkin saja masyarakat kelas atas tak lagi dapat merasakan nikmatnya genuinennes spirituality. Dan justru terjebak dalam status baru mereka sebagai materialis spirituality.
Subscribe to:
Posts (Atom)