Monday 28 January 2008

Mari Berbicara mengenai Sejarah (27 januari 1998)

Tanggal 27 januari 2008, bapak H.M Soeharto, menghembuskan nafas terakhirnya. isak tangis dari handai taulan mengiringi kepergian sang jenderal besar. tak terkecuali rakyat indonesia yang telah kehilangan salah satu sosok pemimpin bangsa. bangsa ini berduka dan secara resmi pemerintah menetapkan hari berkabung selama 7 hari untuk menghormati pemimpin orde baru ini.

isak tangis penuh haru tidak selalu mendominasi kepergian sang jenderal. karena tidak sedikit pihak yang berharap agar kasus-kasus yang melibatkan penguasa orde baru ini untuk dituntaskan. kasus-kasus pelanggaran HAM dan kasus-kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme yang sampai saat ini masih belum menemukan titik terang. ditambah lagi munculnya sebuah statement dari presiden yang menawarkan kepada pihak keluarga pak harto untuk menyelesaikan kasus-kasus yang melibatkan beliau diluar pengadilan, menambah buramnya penuntasan kasus yang melibatkan mantan presiden ini.

karena banyak yang berpendapat bahwa kasus-kasus ini tidak dapat diselesaikan diluar pengadilan. bila di luar pengadilan, berarti mengingkari Indonesia sebagai negara hukum (rechstaat). Juga mengingkari Ketetapan MPR RI No. XI/MPR/1998 Pasal 4 yang berbunyi, “Upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak asasi manusia” dan Tap MPR RI No.I/MPR/2003. sehingga tawaran yang diberikan oleh pak SBY untuk menyelesaikan kasus hukum yang melibatkan pak harto di luar pengadilan menjadi sangat aneh.

pro-kontra yang terjadi mengenai pak harto, sang jenderal besar, merupakan sebuah keniscayaan ketika kebaikan dan keburukan bersatu dalam satu sosok. di satu sisi beliau mempunyai jasa yang tidak ternilai bagi bangsa ini, dan disisi yang lain beliau juga turut membawa bangsa ini ke dalam jurang keterpurukan. untuk itu bangsa ini sejenak melupakan kesalahan-kesalahan beliau sejak beliau kembali dirawat di RSPP Pertamina terhitung mulai tanggal 4 januari 2008.

kondisi kesehatan pak harto yang fluktuatif menjadi sajian berita yang selalu menghiasi layar kaca dan media massa indonesia. karena sejak beliau di rawat hingga wafat, beliau beberapa kali mengalami kondisi kritis dan harus dibantu oleh beberapa peralatan medis untuk mendorong kinerja organ beliau yang semakin memburuk.

kondisi beliau yang naik turun mengundang banyak spekulasi. ada yang berpendapat bahwa pak harto akan meninggal dengan tenang bila telah meminta maaf kepada rakyat, ada juga yang mengatakan bahwa pak harto mempunyai "peliharaan jin" sehingga sulit untuk wafat sebelum jin itu keluar(?).

terlepas dari berbagai macam spekulasi. lamanya perawatan yang dilakukan tim medis terhadap mantan presiden soeharto hingga beberapa pekan seolah mengisyaratkan sesuatu. seolah menunggu waktu yang tepat. sebuah peristiwa yang berkaitan dengan masa lalu beliau, tepat sepuluh tahun sebelum beliau meninggal. tanggal 27 Januari 1998.  

tepat sepuluh tahun yang lalu, mantan presiden soeharto membuat suatu kebijakan. beliau membentuk sebuah lembaga baru kala itu yang bernama BPPN, Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Sejak institusi ini dibentuk 27 Januari 1998 cukup banyak dana negara yang lenyap baik ditelan kekuasaan politik maupun bankir-bankir petualang. Karena itu, sangat mendesak dilakukan audit investigasi baik terhadap prosedur penjualan aset berupa gedung-gedung maupun penjualan (divestasi bank yang diambilalih pemerintah) demi reformasi perbankan pasca BPPN (sinar harapan, 2003).

BPPN, yang diciptakan mantan presiden Soeharto 27 Januari 1998 seharusnya sudah dibubarkan pada saat kekuasaan orde baru berakhir 21 Mei 1998. Karena badan ini sebenarnya dirancang menjadi alat kekuasaan dalam bentuk debt collector yang justru memperkaya para pejabat negara. BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) yang semula dimaksudkan menolong bank-bank yang sudah sekarat dilindas krisis moneter yang dahsyat, disalahgunakan (kustigar, sinar harapan, 2003).

Hingga 31 Desember 1998, sebelum Soeharto lengser jumlah BLBI yang sudah tersalur mencapai 116,5 triliun rupiah. Penarikan kembali dana tersebut menurut teori perbankan, tidak bisa lain, hanya dapat dilakukan oleh Bank Sentral, dalam hal ini Bank Indonesia (BI) yang independen. Karena utang para obligor ini ditangani oleh institusi nonbank yang menjadi alat kekuasaan, banyak dana yang tercecer dalam proses penagihan, penjualan aset dan divestasi bank-bank.

Adalah tidak logis institusi seperti BPPN yang diciptakan sendiri oleh para pejabat yang justru terlibat dalam penggunaan BLBI bisa berfungsi dan dapat menagih dana tersebut kembali. Tidak kurang dari 47 nama yang disebut penerima dana BLBI antara lain Soeharto sendiri, Soedradjat Djiwandono, mantan Gubernur Bank Indonesia (BI), mantan Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad, Fuad Bawazir dan Bambang Subianto (mantan Kepala BPPN 27 Januari 1998-Februari 1998).

Kemudian di antara pemilik dan pejabat bank antara lain tercatat nama Usman Atmajaya dari Bank Danamon, Antony Salim dari BCA, Bob Hasan dari Bank Umum Nasional. Bahkan beberapa anak mantan Presiden Soeharto juga tercatat di antaranya Siti Hardiyanti Rukmana.

 

Nama-nama tersebut sampai sekarang tetap aman dan tidak pernah jadi sasaran tuntutan hukum. Ironisnya lagi, pemerintah di masa transisi malah turut memanjakan bankir-bankir cacat, petualang dan penipu dana publik dan dana negara. Tanpa dikaji dengan cermat bankir mana yang professional dan berpotensi menyehatkan perbankan, pemerintah justru menerbitkan obligasi senilai 437,3 triliun rupiah 31 Oktober 2001 atau sekitar 3 bulan setelah Megawati Soekarnoputri dilantik menjadi Presiden 23 Juli 2001. Akibatnya tidak saja bank-bank tidak sehat, tetapi negara harus memikul utang obligasi yang nilainya karena beban bunga kini terus membengkak dan menjadi beban yang sangat berat bagi APBN.
Beberapa bank yang sudah didivestasi seperti BCA, kendati sudah dijual sahamnya kepada pihak asing, tapi utang bunga dan pokok obligasi masih tetap jadi beban pemerintah. 

Fenomena ini menunjukkan, bahwa BPPN dalam pelaksanaan tugasnya sampai dibu-barkan, sama sekali tidak difungsikan untuk menyehatkan perbankan. Sangat kontradiktif dengan teori ekonomi menyangkut akibat pemborosan terhadap proses pertumbuhan ekonomi, BPPN justru mengeluarkan tidak kurang dari 6 triliun rupiah ongkos operasional selama 5 tahun. Suatu ongkos mahal yang tidak masuk akal sehat.

Dan dalam waktu lima tahun (1998-2003) para pejabat BPPN berhasil mengantongi kekayaan antara lain menurut catatan 4 September 2002, dimiliki oleh Sumantri Slamet (Wakil Kepala BPPN) sebesar Rp 13,86 miliar, I Putu Gede Ary Suta (Kepala BPPN) Rp 8,81 miliar, Iwan Siregar (mantan Deputi Kepala BPPN) Rp 2,05 miliar, Syafruddin Temenggung (Kepala BPPN) Rp 1,91 miliar rupiah, Chandra Parmana (mantan Deputi Kepala BPPN) Rp 1,61 miliar, Hendy Harjanto, (mantan Deputi Kepala BPPN, Rp 1,60 miliar dan Chris Afianto (mantan Kepala Devisi BPPN) Rp 441,1 juta. Dari cara kerja para pejabat BPPN itu, dikhawatirkan masih banyak kekayaan para pejabat BPPN yang belum terdaftar atau tidak diketahui publik yang perlu diusut.

 Mereka yang harus diperiksa itu adalah para kepala BPPN mulai dari Bambang Subianto (Kepala BPPN 27 Januari 1998- Februari 1998), Iwan Prawiranata (mantan Kepala BPPN Februari 1998-22 Juni 1998, Glenn Jusuf (mantan kepala BPPN 22 Juni 1998-13 Janauri 2000,) Cacuk Sudarjanto (Kepala BPPN 13 Januari 2000-2 Oktober 2000), Edwin Gerungan (mantan Kepala BPPN 2 Oktober 2000-25 Juni 2001), I Putu Gede Ary Suta (Mantan Kepala BPPN 25 Juni 2001-24 April 2002) dan Syafruddin Tumenggung (24 April 2002-27 Februari 2004).

Mereka semua tidak boleh dibiarkan kebal terhadap hukum. Seperti ditegaskan oleh Menteri BUMN Laksamana Sukardi Rabu 28 Januari 2004, kekebalan hukum (indemnity) hanya berlaku dalam kaitan dengan pelaksanan tugas. Misalnya, obligor yang membandel menyerahkan aset atau ingin menuntut BPPN karena aset perusahaannya disita untuk negara. Tetapi mereka yang ternyata terlibat dalam pelanggaran hukum, indemnity tidak berlaku.

Tapi para penegak hukum boleh jadi enggan meriksa mereka. Pertama kemungkinan para pejabat tersebut bisa berkonspirasi dengan para penegak hukum. Kedua, memeriksa kasus-kasus yang begitu kompleks dan menguras energi tanpa imbalan yang besar, para penegak hukum akan bersikap ogah-ogahan. Ketiga, karena BPPN selama ini tidak lebih dari alat politik belaka, maka kekuasaan politik (politik dalam hal ini diartikan sebagai kekuasaan eksekutif) akan lebih dominan membiarkan kasus BPPN ini aman dari tuntutan hukum

Hanya Rp 195 Triliun?

BPPN dengan bangga melaporkan sudah mengembalikan uang negara sebesar Rp 152 triliun. Sisa aset yang belum berhasil dijual tinggal Rp 43 triliun. Ini berarti, bahwa menurut perhitungan BPPN nilai seluruh aset bank-bank yang diambilalih pemerintah hanya sekitar Rp 195 triliun? Padahal dana BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) saja yang dikucurkan rezim Soeharto untuk membantu bank-bank yang sudah sekarat karena para nasabah menarik dananya akibat krisis pertengahan tahun 1997 sampai tahun 1998 sudah mencapai Rp 132,2 triliun.

Sementara obligasi yang diterbitkan pemerintah untuk rekapitalisasi 37 bank mencapai nilai Rp 437,3 triliun. Obligasi tersebut diterbitkan karena BLBI sama sekali tidak digunakan untuk menyehatkan perbankan, tapi justru disunglap menjadi milik pribadi para penguasa politik dan para pejabat bank dan disimpan di luar negeri.

Jangan lupa, nilai semua aset yang diambilalih BPPN tidak kurang dari Rp 600 triliun, atau sekitar separuh dari rata-rata Pendapatan Nasional Bruto (PDB). Berarti sepertiga dari seluruh aset itu telah menguap. Ini merupakan tindakan pelanggaran hukum yang merongrong keuangan negara. Akhirnya dari fenomena BPPN ini dapat ditarik pelajaran berharga, bahwa fungsi seluruh kegiatan perbankan termasuk pengawasan perbankan pasca BPPN harus dikembalikan kepada BI yang independen, sementara BI harus diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang independen pula. (artikel mengenai BPPN sebagian besar dikutip dari situs sinar harapan tahun 2003 yang ditulis oleh kustigar nadeak)

Melihat hal ini, tuhan seperti menunggu waktu yang tepat untuk mencabut nyawa sang jenderal besar. Tepat setelah 10 tahun yang lalu, mantan presiden soeharto membuat lembaga yang menjadikan beliau sebagai koruptor nomor satu versi badan perserikatan bangsa-bangsa. Seperti sebuah peringatan bahwa pada hari ini, 27 januari 2008 dan sepuluh tahun yang lalu, asset bangsa telah tergadai dengan mudahnya.

12 comments:

  1. analisa yang bagus sebagai ketua MPM..

    ReplyDelete
  2. bosen. tulisannya anak PPSDMS kaya' gini semua. gak ada yang santai.
    kebanyakan nyari kesalahan orang. meskipun saya bukan orang yang Pro sama Soeharto dan gak terlalu bersedih dengan kematian beliau, tapi gimana ya...

    Self-fulfilling Prophecy. Soeharto selalu dianalogikan salah.
    Soeharto = Makhluk salah, hina, berdosa, koruptor.

    Setiap orang pasti ada lebih ada kurang. tapi emang gitu ya manusia, kalo udah nemuin cacat dari orang, maka yang baeknya akan gak keliatan sama sekali.
    padahal, bahkan Fir'aun sekalipun, juga punya kebaikan. Ingat dong kalo dia yang ngebesarin dan ngebiayain hidup Musa sampe gede?

    ReplyDelete
  3. ingat bung musa bukan dibesarkan fir'aun tapi isterinya malah ketika musa masih kecil, sang fir'aun ingin membunuhnya. soeharto memang tidak boleh diidentikkan dengan kesalahan tapi yang namanya pemimpin adalah yang bertanggungjawab atas kinerja anakbuahnya.

    ReplyDelete
  4. tapi kenyataannya Firaun tidak membunuhnya toh? itu salah satu kebaikan Firaun setahu saya.

    ReplyDelete
  5. dan saya pikir pemimpin tidak bertanggungjawab atas apa yang dilakukan oleh anak buahnya, tetapi bertanggung jawab atas kebijakan yang diambil oleh dirinya sendiri. sehingga jika dalam kebijakannya mengharuskan anak buahnya melakukan kejahatan, maka sang pemimpin itulah yang bertanggungjawab (yah, meskipun dalam hal ini sang anak buah juga sebenarnya memiliki hak bebas pilih untuk melakukan kebijakan sang pemimpin atau tidak).

    Kasian sekali jika pemimpinnya baik dan sudah berusaha mendidik anak buahnya sebaik-baiknya, tetapi anak buahnya yang emang dasarnya ndableg, eh.. yang disalahin malah si pemimpinnya.

    ReplyDelete
  6. hmmmm......

    bukti-bukti memang sudah terpampang dengan jelasnya. tapi loe tau lah, pejabat2 di negara kita itu ya masih kroninya soeharto. dan waktu dulu mereka juga kecipratan. jadi, ya tau lah...... :)

    ReplyDelete
  7. just looking around... semangat MPMnya! tetep enjoy hari-hari yup

    ReplyDelete
  8. wah, tegar.. ok nih.. pengetahuan baru.. tapi maap ga saya baca sampe detil, abis banyak banget datanya.. agak pusing. maklum,, mau menikmati hari2 terakhir liburan..

    huhu.. senin kita kuliah lagi..

    Ups! Semangat mapresnya!
    ^.^

    ReplyDelete
  9. yah...yah...sindrom penghujung liburan memang sedang melanda angkatan ini...

    ngerti deh...

    ReplyDelete
  10. fir'aun bukan tidak membunuhnya tapi tidak dapat membunuhnya..karena Musa senantiasa dilindungi Allah..ingat saat terakhir Fir'aun yang mati tenggelam karena mengejar-ngejar Musa dengan maksud membunuhnya?

    ReplyDelete
  11. kok ga ada sumbernya sih? cuma ngingetin...nanti plagiarisme lho..

    ReplyDelete
  12. udah ada kok...coba aja baca di tulisan itu...oke...

    ReplyDelete