Seorang teman pernah berkata bahwa di masa mendatang bisnis kesehatan merupakan salah satu dari beberapa bisnis yang memiliki prospek cerah. Kesehatan beberapa tahun lagi adalah isu yang jadi tema utama selain isu energi dan properti. Pertambahan penduduk yang melonjak beberapa dekade terakhir mau tak mau meningkatkan pemakaian energi dan pastinya permintaan akan kebutuhan properti serta yang tak kalah penting kesadaran untuk menjadi sehat.
Ketiganya bersinergi dan menjelma menjadi momok yang menakutkan belakangan ini. Kuota energi dalam hal ini BBM yang katanya makin menipis memaksa pemerintah melakukan penghematan yang merupakan upaya dalam menjaga stabilitas energi. Sehingga tak heran kekhawatiran datangnya krisis energi membuat pemerintah kini mengupayakan pengembangan energi alternatif yang berbasis lingkungan dan dapat diperbarui.
Properti juga tak jauh beda. Harga tanah semakin naik seiring berjalannya waktu. Bahkan terkadang kenaikannya terasa tak logis karena bisa berkali-kali lipat dari harga awalnya. Jika tahun ini misalnya harga sebuah rumah 'hanya' 180 juta, maka jangan heran jika setahun lagi harganya melonjak tajam menjadi 500 juta. Tak tanggung-tanggung dan kadang tak manusiawi bagi manusia-manusia indonesia yang umumnya berada di level ekonomi middle low.
Dua isu itu telah berkembang cukup intens beberapa waktu ini yang mungkin tak seheboh isu kesehatan yang gaungnya masih terdengar biasa-biasa saja. Tapi sebuah kejadian beberapa saat lalu membuat isu kesehatan sepertinya layak untuk diberikan perhatian, isu yang terkait akses dan jaminan kesehatan bagi tiap orang.
Anggaplah dengan kondisi lingkungan yang tak lagi seramah dulu, dan jenis makanan yang makin berbahaya tuk dikonsumsi, menjadikan prosentase orang sehat di indonesia makin rendah. Anggaplah ada seseorang yang harus diopname di rumah sakit karena sebuah penyakit kronis, membutuhkan uang kira-kira 500 ribu hingga 1 juta rupiah dalam semalam. Jadi setidaknya jika di rumah sakit itu terdapat 20 kamar dengan fasilitas standar-standar saja, maka dalam semalam rumah sakit itu bisa meraup minimum 20 juta. wow.. bisnis yang menggiurkan. Ditambah dengan sponsor dari produk obat-obatan dan tender dengan para pemasok alat-alat kesehatan membuat beban biaya gedung dan gaji karyawan (dokter, perawat, dll) menjadi tak terlalu berarti. Toh pemasukan pasti lebih besar dari pengeluaran.
Gambaran di atas memang menjelaskan betapa prospektifnya bisnis kesehatan atau lebih khususnya bisnis rumah sakit. Namun, isu kesehatan yang sensitif dengan aspek kemanusiaan mengakibatkan para pelaku bisnis rumah sakit terkadang berbenturan dengan etika kemanusiaan. Sehingga walaupun ini merupakan bisnis, tapi tetap nyawa pasien menjadi nomor satu, jadi idealnya walau si calon pasien tak mampu membayar, rumah sakit tetap dapat mengutamakan pasien bagaimana pun kondisi ekonominya. Begitu yang saya tahu terutama di banyak negara di dunia.
Tapi ironisnya di sini, di Indonesia, sudah jadi rahasia umum jika rumah sakit hanya mau melayani saat si pasien sudah membayar sejumlah uang sebagai uang muka. Banyak, bukan satu-dua kasus saja dimana rumah sakit tega menelantarkan pasiennya jika keluarga si pasien tak mampu menyiapkan sejumlah uang untuk biaya perawatan. Seperti saat teman saya harus memiliki deposit 5 juta dan menyetorkannya kepada pihak rumah sakit saat Ibunya mengalami kecelakaan. Padahal kondisi ekonominya saat itu tidak memungkinkan tapi berkat bantuan teman-temannya, ia dapat memenuhi permintaan rumah sakit itu. duh..
Lalu baru-baru ini ada kasus terhangat dimana seorang pasien, bayi yang baru berumur beberapa hari, akhirnya meninggal karena tak mendapatkan kamar di rumah sakit. Oke kalau memang itu alasannya, tapi saya yakin jika kondisi orang tua si pasien lebih baik dari sisi ekonomi dan kedudukan, setidaknya Dera (nama pasien) tak perlu mengemis di rumah sakit kelas bawah dan dapat secepatnya mendapatkan perawatan di rumah sakit ternama yang sepertinya tak mungkin kamarnya penuh semuanya.
Banyak hal memang, yang menjadi penyebab wafatnya Dera dan banyak juga yang berargumen, "kenapa tidak dibawa ke rumah sakit internasional saja semacam Carolus, RSPP, yang pastinya punya persediaan kamar". Mencari alasan memang mudah, tapi mindset yang terbentuk di benak orang-orang dengan level ekonomi menengah ke bawah, masih jelas tertanam bahwa yang namanya rumah sakit mahal harus membayar dulu baru dilayani, dan itu memang kenyataan seperti yang saya jelaskan di atas.
Terlepas dari berbagai perdebatan yang mungkin muncul, kasus ini
jelas-jelas telah memakan korban. Hingga harapannya kesalahan yang sama
tak lagi terulang, sebuah evaluasi yang menyeluruh dari pihak-pihak yang
berkepentingan. Sayapun berpikir, betapa beruntungnya Airlangga sebagai cucu dari orang nomor satu di negeri ini. Ketika ia sakit, serentak fasilitas nomor satu tersedia. Perhatianpun sepenuhnya tercurah agar ia dapat sembuh dan sehat seperti sedia kala. Padahal jika dipikir-pikir Dera dan Airlangga memiliki hak yang sama untuk hidup dan menjadi sehat, tapi karena mungkin nasib Dera tak semujur Airlangga yang lahir di keluarga presiden membuat Dera harus kembali cepat pada sang pencipta. Fiuh...
No comments:
Post a Comment