Ada perbedaan mendasar antara menulis di mikroblogging semacam Twitter, Plurk, dan sejenisnya dengan blogging seperti Blogspot, Wordpress, dan semacamnya. Perbedaan itu terletak pada konten layanan yang disediakan oleh kedua jenis social media itu. Tentunya kita sudah familiar dengan keduanya, bahwa mikroblogging hanya membatasi penggunanya untuk dapat menuliskan sesuatu sampai 150 karakter saja. Sedangkan blogging berbeda, lebih dari 150 karakter dan dirancang untuk menyediakan layanan yang lebih kompleks dan tidak sesederhana mikroblogging.
Misalnya Twitter, sekedar menuliskan perkataan singkat dan seketika dapat dipublish kepada orang-orang yang mengikutinya (follower). Karena sifatnya yang sederhana, mudah, dan interaktif menjadikan twitter digemari oleh sebagian besar pengguna internet. Proses sharing (retweet) info dan berita yang cepat membuat twitter jadi sarana penyebaran ide dan gagasan yang efektif apalagi jika si orang memiliki banyak follower, tentunya proses distribusi pemikiran akan mudah dilakukan. Ditambah lagi dengan keterbatasan karakter penulisan, memaksa setiap tweeps (pengguna twitter) untuk memaksimalkan ide mereka dalam limit yang telah ditentukan.
Proses memaksimalkan ide dalam satu limit tweet senada dengan ritme dunia maya yang serba cepat dan instan. Kini sangat jarang orang berlama-lama membaca sebuah berita atau informasi lebih dari 10 menit. Kebanyakan hanya membaca kurang dari 5 menit dan akan segera berpindah mencari bacaan yang lain jika inti berita telah didapatkan. Yang penting adalah mendapatkan informasi sebanyak mungkin dengan sistem dan proses skimming. Bahkan terkadang ada beberapa orang yang cukup membaca judul saja, sudah tahu isi beritanya dan lanjut membaca berita yang lain. Proses inilah yang sedikit banyak menjadikan twitter yang instan, cepat, dan sederhana sesuai dengan irama netter saat ini.
Tapi bagi beberapa orang, seperti saya contohnya, beradaptasi dengan twitter sungguh sulit rasanya. Saya yang terbiasa mengartikulasikan ide secara runut dan bertahap disertai dengan bumbu-bumbu pengantar tulisan di dalamnya, menjadikan twitter serasa sulit digunakan. Karena saya merasa bahwa menulis tak sekedar menyampaikan ide dan gagasan kita secara ringkas dan cepat, tapi lebih dari itu, ia merupakan sebuah keterampilan dan seni dalam mempercantik sebuah gagasan.
Maka menulis di Blog lebih cocok dengan saya yang terbiasa dengan proses penulisan yang mirip seorang koki. Seorang koki yang memiliki satu bumbu inti, lalu diambil sebagiannya dan diberikan sejumput air tuk mengembangkannya. Diolah dengan adukan dan tumbukan tangan, sehingga lambat laun siap tuk dicampurkan dengan berbagai bumbu pendamping agar menjadi lebih sedap. Serupa dengan menulis dimana sekeping ide dipaparkan dalam sebuah frase panjang yang ditemani oleh berbagai fakta dan gagasan. Mengolahnya dalam ruang pemikiran kontemplatif yang berbuah kesadaran dan pencerahan.
Tapi memang semuanya kembali kepada masalah kebiasaan saja. Saya yang terbiasa menuliskan sesuatu berputar-putar, jalan-jalan sana sini terlebih dulu sebelum menyampaikan inti dan maksud tulisan menjadi agak terbatasi kala dihadapkan pada sebuah layanan bernama mikroblogging. Mungkin saya harus dapat beradaptasi dengan perkembangan zaman yang serba cepat, tentunya tanpa meninggalkan ciri khas saya dalam menulis.
"Bahkan terkadang ada beberapa orang yang cukup membaca judul saja, sudah tahu isi beritanya dan lanjut membaca berita yang lain" --> nah ini nih kak yg menurutku bahaya. Kebiasaan "baca judul doang". Masalahnya seringkali judul tidak benar-benar menggambarkan isi. Akibatnya? komen-komen sotoy cenderung nyebelin berkeliaran deh di TL. Wkwkwk #ntms
ReplyDelete