Sesekali ku melihat laman profilenya kembali. Tak sering,
hanya saat dunia ini kurasa begitu sempit. Ah bodohnya aku, keadaan takkan
mengubah apapun. Ia, kenangan itu, dan berbagai lakunya. Suatu kali terasa
sangat manis, namun tak sedikit pula rasa pahit menghinggap, kadang-kadang
candanya menyakitkan tapi sedetik itu pula Ia bergegas menghiburku dengan
tingkah konyolnya. Ah, masa-masa itu.
Waktu berlalu cepat, pukul dua dini hari dan belum satupun
paperku tersentuh. Ah..padahal besok paper
ini harus dikumpulkan. Kuhela nafas dan sejenak kumatikan laptop yang
semalaman ini menjelajah laman facebooknya. Suara kursi yang berdecit,
terdengar jelas dikeheningan malam. Akupun beranjak pergi, berjalan menjauhi
meja kerja yang penuh dengan kertas dan buku-buku tebal. Air wudhu akan menenangkanku.
Gemericik suara air berjatuhan menyeka dan membasuh wajahku,
telinga, tangan, dan kaki. Kamar besar dengan fasilitas nomor wahid, kantorku
memang royal. Padahal jarak dengan tempat tinggalku tak seberapa jauh. Beberapa
kali ku memaksa Pak Idris untuk membiarkanku pulang dan tidak perlu menginap di
hotel ini dan nampaknya usahaku tak berhasil. Dengan alasan efisiensi waktu dan
jadwal kegiatan yang padat, maka disinilah kuberada, dalam Training yang tak jauh berbeda dari biasanya.
Kuambil baju kurung itu, mukena hijau pemberian ibu.
Kusimpan dalam tas ransel yang sesekali kuperhatikan, ia terlihat kumuh,
ternyata tas pemberiannya ini masih layak kusandang. Perlahan kupakai mukena
yang menutupi rambutku. Kurapihkan beberapa rambut yang nampak keluar dari
baliknya. Akupun bersiap untuk menghadap Tuhan, semoga ada sepercik ketenangan yang Ia berikan, Allahu Akbar.
----
“Tidak, bukan itu, tidak ada alasan apapun. Bukan karena
kau, ini karena, karena bukan sekarang,”
“lalu apa karena keluargamu, kau lihat, aku sudah banyak
berubah, ada yang berbeda dariku.”
Dan ia pun memandangku seolah tak ada lagi yang sanggup ia
bantah. Jilbab yang kini menjulur panjang dan baju kurung itu.
“Tapi, ah..pokoknya kita pisah sekarang.”
Ia berlalu meninggalkanku.
---
“Allahu Akbar Allahu Akbar”
Suara adzan subuh membangunkanku dari bayangan itu, kejadian
15 tahun lalu. Kerap kali muncul di saat seperti ini. Kuperbaiki wudhuku dan
segera ku kembali menghadapNya. Ya Rabb,
kenapa bayangannya terus muncul, tak adakah cara melupakannya.
“sudahlah Din, tak ada guna kau mengingatnya terus, semua
sudah terjadi dan saatnya kau berjalan pergi, meninggalkannya dalam kenangan”
“Kau bodoh, seolah tak ada lelaki lain di dunia ini”
“lihat lah Andi, kurang apa lagi, Seorang Direktur, tampan, walau
duda, tapi perawakannya masih seperti bujangan.”
Serta beragam nasihat dari orang-orang terdekatku. Ada yang terus membujukku
untuk melangkah lagi dengan jejak yang baru, dan ada yang terang-terangan
menganggapku tolol karena terus mengingatnya. Mereka semua tak tahu, tak ada yang tahu perasaanku.
Lamunan itu sedikit memperlambatku, jam di dinding kamar
menunjukkan pukul setengah enam pagi. Akupun bergegas merapihkan sajadahku dan
mukena yang nampak kusut setelah semalaman kupakai tidur. Segera ku rapihkan
buku-buku di meja dan mulai menuliskan paper yang tertunda semalaman. Tak
kupikirkan lagi bagus atau tidak paper yang kutulis ini, yang ada dipikiranku, Semoga
hari ini ada sesuatu yang berbeda, dari info yang kudapat, pembicara kali ini
seorang trainer yang menyenangkan. Desas-desus mengenai ketampanannya
cukup membuatku tertarik dan menambah semangatku untuk mengikuti sesi training
pagi ini. Semoga hari ini ada sesuatu
yang berbeda.
--
“Baik rekan-rekan, tugas kalian harap dikumpulkan di meja
depan” Panitia pun berjalan mengelilingi kelas, memperhatikan kami yang sibuk
mengumpulkan paper ke meja depan. Akupun sedikit terhambat dengan peniti rusak
yang lepas dari jilbabku. Setelah kukumpulkan paperku ke depan, akupun menyerah,
Ah kuganti saja peniti ini, percuma jika kupaksakan, Akupun sibuk mencari dan
merogoh tas ranselku, di saat sibuk mencari, kudengar sayup suara yang akrab di
telinga. Suara itu.
“Selamat pagi mas dan mbak sekalian, Apa kabar hari ini..??
ah nampaknya masih belum focus, masih pada ngantuk ya? yuk kita stretching
dulu, biar kita lebih semangat”
Dia. Itu dia.
--
Aku tahu, ia menyadari kehadiranku di ruangan ini. Tapi ah,
seberapa keras kau berusaha, tatapan matamu takkan mampu menutupi
kegelisahanmu. Akupun berusaha tenang, dan berlagak tak tahu akan kehadiranmu.
Sesekali perasaan membuncah itu muncul, oh tidak, setelah 15 tahun lamanya dan
perasaan itu tetap sama.
“Ibu Dina, ada yang mau ditanyakan tentang pembahasan di
sesi ini?” ia memecah lamunan yang membuatku salah tingkah. “eh tidak, tidak
ada Pak.” Ia pun tersenyum dan nampak melanjutkan kembali pembahasannya. Akupun
mencoba fokus, tak boleh seperti ini. Ia telah hilang, telah pergi. Saatnya kau
melangkah Din.
Sesinya pun berakhir, tak jelas apa yang kurasakan kini,
antara kesal, benci, marah, dendam, rindu, ah semuanya teraduk di sini, dalam
dada yang makin cepat berdetak. “Din, bisa kita bicara sebentar” ia
memanggilku, kini tanpa panggilan Ibu.
Ia nampak serius menyiapkan diri untuk berbicara denganku. Rambutnya
yang kini memutih dan berapa kerutan di dahi. Hal sama yang mungkin juga
terjadi padaku. “maafkan aku, telah lama ingin kusampaikan langsung, tapi aku
takut. Aku takut dan menyesal meninggalkanmu dengan sebuah harapan. Maafkan
aku.”
Ketulusan nampak jelas berbicara dari binar matanya. Akupun
tersenyum, dan entah kenapa dada ini kembali lapang. Semuanya nampak lepas dan
terbebas. “iya,” dan akupun meninggalkannya, Terima kasih Tuhan. Mungkin ini jawabnya.
Love is trembling happiness.
- Kahlil Gibran
No comments:
Post a Comment