Sembilan belas tahun lalu, pagi hari di bulan januari. Kala
itu saya ingat persis, saya baru saja selesai sholat shubuh, dan itu di jam enam
pagi. :p . Maklum, anak SD kelas 1 yang baru belajar sholat, masih tahap
penyesuaian (banyak alesan). Selesai tahiyat terakhir, saya pun mendengar
sayup-sayup suara ibu yang meringis, memegang perutnya yang membesar.
“duh..sakit pa”, Ayahku dengan sigap menyadari kondisi ini, istrinya akan
segera melahirkan anak ketiganya.
Dengan segera, ayah membawa ibu ke bidan terdekat, saat itu,
syukur Alhamdulillah, jarak klinik bidan ke rumah kami sangat dekat, hanyak
berjarak tidak lebih dari seratus meter, dekat sekali ya. Dan sayapun hanya
melongo menyaksikan ibu yang menahan sakit, dan ayah yang membereskan perlengkapan
melahirkan, padahal saat itu saya sedang ujian caturwulan (cawu) dua (dulu
cawu, belum semester). Akhirnya, dengan merengek ingin menemani ibu, ayahpun
meminta izin kepada wali kelas, agar saya dapat mengikuti ujian susulan
beberapa hari lagi. Dan wali kelas sayapun menyetujui. Horay..
Bersama ayah dan adik, saya menunggu di sebuah rumah kecil
tipe 36 yang disulap menjadi klinik bidan. Ruang tamu depan dirancang ulang
menjadi ruang tunggu dan kamar-kamarnya menjadi bilik bagi pasien. Lama kami
menanti, sejak pagi hari sampai menjelang sore. Kondisi ibu pun masih sama, di bilik
pasien dengan suara nafasnya yang menggebu, sesekali terdengar suara si bidan
yang meminta ibu menarik dan membuang nafas secara teratur.
Pukul tiga atau empat sore (saya agak lupa) di hari rabu, tangisan bayi
yang keras membuat kami berucap syukur, terutama ayah yang sedari tadi nampak
khawatir dengan kondisi ibu yang telah lama berada di bilik pasieen. Akhirnya
ia lahir, bayi laki-laki dengan tatapan matanya yang bulat dan tajam. Dengan
segera ayah mengambilnya dari tangan bidan dan mengadzankannya. Si adik
laki-laki telah lahir.
--
Satu hal yang paling saya ingat tentang dirinya saat masih
balita, terlalu nempel dengan ibu.
Hehe. Iya betul, kemana saja ibu pergi, pasti dia selalu ikut, bahkan hingga
menjelang SMP, tapi ah itu bagian kecil dari kelucuan dan kenangan yang
tersimpan tentang dirinya. Saya ingat juga sedari bayi, selalu mencubit
pipi gembulnya yang lambat laun makin menyusut, ternyata ia memiliki bakat
kurus seperti ayah. Huhu.
Jenjang akademis sejak TK,
SD hingga SMA dilaluinya di
Bekasi. Dan dengan gayanya yang santai dan easy
going membuatnya agak berbeda dengan abang serta kakaknya. Ia tak terlalu
keras dalam belajar, tapi tak terlampau santai juga, tengah-tengah saja. Maka
tak heran prestasi akademiknya pun biasa-biasa saja. Sedikit pengecualian
ketika SMP yang terbilang sukses, termasuk salah satu siswa dengan Nilai ujian
terbaik di SMP.
Ia orang yang supel dan gampang bergaul, emosinya pun tak
terlalu meledak ketika marah, dan tak terlampau frustasi ketika sedih. Maka
ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa ia dan adik sepupu saya yang seusia
dengannya tidak lulus di SMA Negeri, kondisi mentalnya sedikit jatuh. Saat itu
kebijakan dinas pendidikan kota
Bekasi, mensyaratkan bahwa ujian masuk SMA dilakukan dengan tes dan hanya satu
pilihan. Bila gagal dalam tes, maka dengan sangat terpaksa, harus mencari SMA
lain (Baca: SMA Swasta).
Maka dengan nilai Ujian nasional yang sangat bagus dan
keyakinan dalam mengerjakan ujian masuk SMA, ia pun optimis menembus SMA Negeri
yang gradenya pun biasa saja. Tapi takdir berbicara lain, ia dan saudara
sepupunya gagal menembus SMA Negeri dan dengan berbesar hati harus meneruskan
pendidikan di SMA Swasta.
--
Saya bertekad dan selalu mencamkan pada dirinya bahwa “lu
boleh di SMA swasta yang baru berdiri 3 tahun, yang masih dipandang sebelah
mata, tapi lu harus bisa buktikan kepada mereka, kepada orang-orang, bahwa lu
bisa nembus PTN kayak abang dan kakak lu, buat mereka takjub, dan kalo lu bisa
tembus di PTN, wuih.. lu lebih hebat dari abang dan kakak lu yang dari SMA
Negeri.”
Motivasi itu terkadang hanya bertahan beberapa lama, setelah
itu seringkali menghilang, Tak mudah memang karena lingkungan di sekolah pun
sama sekali tidak mendukung. Anak-anaknya yang malas, sering membolos, dan
tanpa motivasi, satu kelas pun tidak sampai 20 orang. Tapi Alhamdulillah
sedikit demi sedikit kami sekeluarga dapat meyakinkannya bahwa ia bisa, dan
InsyaAllah bisa. Kami pun bertekad bahwa membuatnya menembus PTN adalah proyek
keluarga.
Menjelang akhir tahun ajaran di kelas tiga, ia pun mulai
memilih kemana ia akan meneruskan studi. Dengan perhitungan dan persiapan yang
matang, ia pun memilih salah satu fakultas di Universitas negeri di bandung. Gradenya lumayan
tinggi, tapi sepertinya masih terkejar, walau dari hasil Try Out baru sekali
atau dua kali dia dapat menembus nilai fakultas itu. Ah.. bismillah, insyaAllah
kalau Allah menghendaki semuanya mungkin.
Beberapa bulan kemudian setelah Tes SNMPTN yang lumayan
sulit dan dengan kebijakannya yang aneh (kuota hanya 30 %) ia yakin sudah
memberikan usaha yang terbaik, kini saatnya bertawakal dengan hasilnya. Saat
itu bulan juni 2011, dan ia harap-harap cemas menunggu hasil. Karena sejauh ini
ia belum ada cadangan untuk melanjutkan kuliah. Pukul enam sore, dibukanya
situs SNMPTN, dan ternyata belum ada. Baik, mungkin nanti setelah sholat
maghrib.
Setelah sholat maghrib, iapun kembali membuka internet
dengan disaksikan oleh seluruh anggota keluarga. Sebuah momen yang tak
terlupakan, sebuah proyek bersama dari kami sekeluarga. Dan akhirnya di layar
monitor pun tertulis.
“selamat anda diterima di Fakultas Hukum”
Sontak kami sekeluarga berucap syukur, Alhamdulillah, semoga
ini yang terbaik baginya dan bagi kami sekeluarga.
--
Ia kini duduk di semester tiga bersama dengan saudara
sepupunya yang juga lulus di fakultas dan universitas yang sama (Alhamdulillah),
IPK nya lumayan bagus (setidaknya lebih baik dari saya. Hehe), dan aktivitasnya
pun beragam dari aktivitas di asrama pembinaan hingga Lingkar studi
keilmuannya.
Sungguh sebuah pencapaian yang manis.
Semoga lancar disana dik, beri yang terbaik bagi lingkungan
dan orang-orang sekitarmu..
No comments:
Post a Comment