Raut wajah kegembiraan tak kunjung pudar sejak ia menjejakkan kaki kembali di sekolah ini. Banyak perubahan terlebih jika melihat dirinya kini. Perut membuncit, rambut menipis dan janggut yang memutih, tapi bukan, bukan dirinya yang menjadi sorotan, tapi tempat ini. Gerbang sekolah, pepohonan, lonceng bel itu, semuanya telah berganti. Penghuninya pun tak jauh beda, Pak tua penjaga sekolah, emak kantin, guru-guru, ah nampaknya usia memang tak bisa dibohongi, dan kini senyum manis serta sapa ramah mereka sedikit berbeda seiring waktu berjalan.
Pagi itu sekolah sungguh ramai oleh hilir mudik siswa dan orang tuanya. Awal tahun ajaran baru memang tak jauh beda dengan pasar malam, penuh dan sesak. Ia coba mencari ruang sembari sesekali berujar permisi pada beberapa orang. Di sampingnya menggenggam erat tangan mungil yang khawatir kehilangan sang ayah, terlihat si kecil sedikit panik saat genggaman sang ayah terlepas..
"Aaabiii.." si kecilpun merajuk.
"Iya nak, Abi disini. ayo kita bergegas, kelasmu ada di ujung lorong itu"
Si kecil dan ayah berjalan melintasi lorong yang lebih sepi dibanding suasana di aula tadi. Sesekali dengan mendelik penasaran, si kecil mengamati suasana kelas yang telah memulai aktivitasnya.
"nah sekarang, Abi pamit dulu ya.. nanti ibu yang menjemput"
"Tapi tapi," nampak si kecil masih memegang erat celana panjang si ayah, suasana baru dan orang-orang baru, situasi yang tak mudah bagi bocah berumur 6 tahun ini.
Sang ayah berdiri agak merendah, dan mensejajarkan diri dengan si kecil "Tenang nak, mereka kawan-kawanmu, kau dapat bermain bersama mereka, berlarian, belajar menghitung, bu guru pun juga baik, pasti kau senang bersama mereka"
Nampaknya sugesti sang Ayah berhasil, terlihat genggaman si kecil sedikit meregang. Sembari berucap terima kasih pada bu guru, si ayah pamit pulang meski si kecil sesekali melihat ke belakang sambil memegang tangan sang guru. Selamat nak, selamat mengawali langkah masa depan.
Tak lama, ia pun tersadar, ia harus bergegas menuju tempat kerja. Sembari melihat arloji di tangan, ia melangkah pasti menuju area parkir sekolah. Ah itu mobilnya, dan pandangnya pun teralih sebelum sempat membuka pintu mobilnya. Disana, abang tukang gulali, ia masih ada.
Ia pun mendekati si abang dan berjongkok di hadapan kuali kecil berisi adonan lunak permen lengket berwarna merah dan hijau. Nampak si abang masih sibuk mengaduk adonan gulali.
"bang Beli gulalinya satu"
"baik pak, mau yang warna apa?" terlihat si abang penjual mempersiapkan adonan dan mengambil beberapa adonan berwarna merah dan hijau.
"hm..kalau di bikin bentuk burung atau pesawat bisa kan bang?"mendengar pertanyaannya, si abang gulali hanya terpekur. Jarang sekali orang dewasa meminta dibuatkan gulali berbentuk hewan atau benda. Si abang gulali pun segera memenuhi permintaan pelanggannya. Dengan cekatan ia pun mengolah bentuk adonan gulali warna merah dan hijau menjadi bentuk pesawat.
Si ayah nampak asyik memandang pertunjukkan yang diperlihatkan si abang gulali. Ah gulali ini, kenangan itu kembali muncul, 42 tahun lalu ia juga berjongkok di tempat ini memandangi si abang gulali yang sama membuat bentuk gulali pesawatnya yang pertama. Kala itu ia mengingat persis bagaimana ayahnya kerepotan dengan ulahnya. Ternyata rajukannya dahulu lebih parah dibandingkan anaknya kini sampai-sampai ayahnya membelikan gulali untuk meredakan tangisnya.
"nah nak, gulali itu memang manis dan enak, tapi kita harus tahu, membuatnya tidaklah mudah. Kita harus membakar gula, mencampurnya dengan air dan mengaduknya hingga meleleh sampai siap dibentuk dengan berbagai rupa yang lebih menarik untuk kita santap. Tak jauh beda dengan hidup ini, manisnya terkadang hilang ditelan kesedihan dan kekecewaan, maka anggaplah itu api yang mengolah kehidupan layaknya api mengolah gulali. Olah manis yang terrendam kesedihan itu dengan sabar dan syukur, aduk hingga ia tercampur baik dan membentuk adonan pengalaman. Ketika adonan pengalaman itu telah jadi, kini tinggal kau olah sesuai bentuk yang kau inginkan, yang kau sukai. Rasakan manisnya dan kecap dengan gembira."
Ah ayah, perkataanmu dulu nampak terlalu tinggi bagi anak berumur 6 tahun, tak pernah bisa kucerna, hingga kini akupun baru menyadari dan memahaminya. Beberapa menit berselang, si abang gulali telah selesai dengan tugasnya, burung-burung gulali itu telah jadi. Ditiupnya lubang udara di belakang burung gulali itu dan bunyi itupun bermunculan, sungguh menyenangkan. Sembari meniup ia pun mengecap manisnya gulali. Ah indahnya hidup. ia pun berjalan pulang, mengucap syukur atas manisnya kehidupan.
ngga afdol klo ngga dibentuk langsung pake tangannya si abang gulalu
ReplyDeletejustru itu yang bikin maknyuss.. hehe
Deleteakuuuu sukaaaaa gulaliiiii...!!
ReplyDelete