Sunday, 30 December 2012

Dilema #2



Aku tak sanggup bertanya pada Bapak. Serasa ada sesuatu yang naik dari perutku setiap kali ingin memulai membicarakan tentang hal ini. Kami sekeluarga dalam perjalanan pulang menuju Jakarta. Nampaknya bapak sedang sibuk menyetir dan tidak bisa diganggu, ah aku semakin tak sanggup membicarakan hal ini. Si kakak pun sepertinya sudah lama menunggu. Sesaat kemudian, sebuah SMS masuk ke hape ku.

“jadi gimana? Sudah ada jawaban dari bapak?”
“belum kak, setiap saya mau ngomong tentang ini, perut saya tiba-tiba mules. Duh..”
“hm.. yaudah, saya aja yang sms bapak, tolong kirim nomornya ya”

Hah? Seriusan nih orang? Wah.. nantangin ya. Akupun mengirimkan nomer bapak padanya.

“ini nomernya kak. 0816xxxxx. Tapi jangan di sms sekarang ya kak, bapak lagi nyupir takutnya keganggu, soalnya bapak sensitive klo ada sms yang gak jelas dari siapa, biasa ditawarin kartu kredit. Hehe”
“sip.. oke”

Coba kita lihat, apakah si kakak itu berani mencoba menghubungi bapak langsung. Ada semacam keraguan, sepertinya ia akan berpikir puluhan kali kalau ingin mengirim sms langsung ke orang tua ku.

Beberapa saat kemudian, bapak memanggilku. 
“An, ini ada yang sms siapa ya? Temen Ani ya?”
“hah? Temen Ani? Siapa pak? Ngapain juga ada yang sms bapak” 
akupun tak sadar, bahwa sebelumnya ada seseorang yang meminta nomor bapak dan akan menghubunginya. Dan ternyata, ya Ampun, si kakak yang mengirimkan sms dengan tulisan yang sangat lugas.

“Assalamualaikum pak, Saya Adi, temannya Ani, saya ingin mencoba serius untuk taaruf menuju pernikahan dengan anak bapak. Kalau bapak mengizinkan, saya akan coba mengirimkan CV saya lewat email. Terima kasih pak”

Ya salam, ini orang serius ya, dan bapak pun hanya terdiam, akupun salah tingkah, ah tak tahulah.

“bapak akan balas SMSnya, nanti kamu baca lagi. Kalau ada yang mau ditambahkan tambahkan saja” bapak pun hanya berkata singkat padaku. Ah biarlah, ikuti saja kemana proses ini akan berjalan.

Sepekan berlalu, dan ia telah mengirimkan CV nya padaku lewat email. Oh ya, ia juga mengirimkan Proposal nikahnya. Ah niat sekali.. akupun membaca dan terpaku dengan CV dan proposalnya. Apa lagi yang bisa membuatku menolaknya. Tapi.. ah selalu ada gundah, mungkin karena orang itu. Tapi.. sudahlah. Akupun membalas SMSnya

“CV dan proposalnya sudah saya baca kak, masya Allah, saya masih gak percaya, kenapa saya kak, seharusnya ada yang lebih baik dari saya”
“Gak An, insyaAllah saya udah berpikir matang, dan memang, sepertinya Ani orang yang tepat.”

Duh.. akupun tak tahu lagi harus membalas apa. Bapak ku pun ikut membaca proposalnya pula. Ah sepertinya ia begitu tertarik dengan si kakak ini. Terlihat jelas dari pancaran wajahnya, senyumnya menyiratkan bahwa pemuda ini orang yang tepat untuk putrinya. Aku juga mengirimkan CV ku padanya, CV yang biasa saja, itupun aku contek formatnya dari CV yang ia kirim, hehe.

“An.. coba bilang ke dia, kalau misalkan bisa, hari sabtu nanti datang ke rumah. Kamu kasih alamat ke dia ya”

Hah? Ke rumah? Secepat ini kah? Ya ampun. Akupun mengirimkan SMS padanya meminta agar dia bisa datang ke rumah. Sesuai dugaanku, ia pun menyanggupinya. Rumah ku di daerah tangerang banten memang lumayan jauh, dan semoga si kakak ini tidak tersesat.

Pertemuan itu dan pertemuan-pertemuan selanjutnya, semuanya berjalan lancar. Orang tuanya pun sudah datang bersilaturahmi ke rumah. Tapi, ah selalu ada tapi, gundah ini selalu menyertai. Bayangan orang itu masih terekam jelas di benakku. Berhari-hari, akupun jarang membalas sms Kak Adi. Akupun tak tahu apa yang terjadi padaku. Selalu ada keraguan dan semuanya bermuara pada orang itu. Baiklah, kurasa semuanya harus menjadi jelas, aku harus mengatakan yang sebenarnya pada kak Adi.

“sebenarnya, saya udah punya pilihan sendiri kak. Tapi jujur, ini murni karena kedekatan, minat dan kesenangan kami yang sama. Ia satu fakultas dengan saya, seangkatan dengan saya. Dan kemaren saya blom bisa memberi tahu kak Adi karena sayapun bingung, orang tua saya lebih menyukai kak Adi dibandingkan dengan calon saya ini. Karena menurut bapak, kak Adi adalah figure ideal untuk seorang suami, sayapun sadar sih kak, tapi saya sudah memutuskan, saya akan coba dengan calon saya sendiri”

Fiuh.. ah ada rasa sesal, tapi satu sisi, akupun lega. Semoga ini yang terbaik untuk kami. Kak Adi pun menerima dengan senyuman, setidaknya itu yang tertulis dalam sebaris pesan SMS darinya.

“semoga Kak Adi dipertemukan dengan orang yang lebih baik”
“insyaAllah An, InsyaAllah, begitupula dengan Ani”
Ya Rabb..

*bersambung

Monday, 24 December 2012

Dilema. #1



Sebaris sms itu masuk dan membuatku bingung. Akupun terduduk sekejap menyadari bahwa sepertinya kakak ini tidak main-main.
“Ani, udah siap? Saya mau serius dengan Ani”
Tak perlu kutanya lagi apa maksudnya dengan ‘siap’. Usia dewasa muda dengan frase ‘serius’ serta pertanyaan tentang kesiapan, tak lebih dari pembahasan tentang pernikahan.

Siang itu matahari tak jauh beda dengan kemarin. Sinar teriknya menambah cucuran keringat setelah kubaca sms darinya. Ia, duh.. akupun baru mengenalnya, setidaknya belum sampai 2 tahun. Tapi memang beberapa kali kami sempat berinteraksi dan itupun tak lebih dari sekedar pembicaraan biasa lewat media sosial.

Akupun ingat saat pertama kali menyapanya. Eh.. tunggu, ia atau aku dulu ya? Entahlah, yang jelas kamipun berbincang dan di akhir pembicaraan akupun baru menyadari. Ternyata aku salah menyapa orang..ups. untung saja dia tak tahu. :p tapi sepertinya ia tak menyadari hal itu karena setelahnya, beberapa kali kami bertemu dalam obrolan ringan yang tak pernah direncanakan.

Oh ya, ketika itu bulan Ramadhan, dan kami sekeluarga berangkat mudik lebih awal untuk menghindari ganasnya jalur pantura. Dan tebak apa yang terjadi? Ternyata tidak terlalu berpengaruh, jalur pantura tetap padat, padahal kami berangkat H-5 lebaran. Syukurlah, mobil kami dilengkapi pendingin ruangan, kalau tidak, ya ampun, sudah tentu jilbabku sudah penuh dengan peluh keringat. Akupun berusaha membunuh kebosanan dengan membuka facebook dan fasilitas chatnya via smartphone. Dan tak lama, kakak itupun menyapaku.
“Assalamualaikum An, lagi dimana?”
“di mobil kak, lagi otw ke jawa, duh macet”
“hoo.. mudik kemana?”
“ke pasuruan kak.”
“oh.. disana oleh-olehnya apa ya? Saya titip oleh2 yak. Haha”
“hm.. ada sih kak, paling kerupuk2 gitu doank. Hehe. Boleh, insyaAllah, nanti gimana ngasihnya kak?”
“hoo.. nanti kita ketemu aja, di kampus saya atau kampus Ani.”
“eh.. jangan ya kak, nanti saya titip aja dimana gitu..”
“eh iya deh.. maaf ya, nanti kita liat lagi gimana caranya”
“sip deh kak.. eh iya kak, udahan dulu yak, ada yang mau dikerjain. Assalamualaikum”
“walaikumsalam”
Ya Robb, bukannya tidak mau bertemu dengannya, tapi sepertinya pertemuan khusus berdua itu, masih agak janggal bagiku. Dan akupun berniat, aku akan membeli oleh-oleh untuk kakak itu.

Kenanganku pun kembali berputar, sembari keluar dari kamar, akupun mengingat kembali saat ia pertama kali bekerja di sebuah anak perusahaan BUMN. Perusahaan yang cukup besar kurasa. Akupun senang saat tahu bahwa tak sampai 3 bulan ia menganggur dan berhasil mendapat pekerjaan yang sesuai dengan background pendidikannya.
“Selamat kak. Sukses selalu :) ”, sekilas pesan itu pun tertulis di dinding facebooknya, dan ia hanya membalas dengan senyuman dan ucapan terima kasih. Dan kurasa sejak itu kami pun jarang berinteraksi. Sekedar menyapa lewat facebook, ataupun terkadang lewat SMS.

Kini dia mengirim SMS untuk sebuah permintaan yang sesungguhnya berat bagiku. Ah, kenapa, tak ada alasan kuat aku menolaknya. Ia ikhwan yang baik, tokoh di kampusnya, dengan beragam prestasi yang terbilang ‘wow’. Tapi.. bismillah. Akupun membalas sms-nya.
“saya istikhoroh dulu ya kak, saya mesti nanya bapak, ibu, dan Mbak Liqo dulu”
“Oke, saya tunggu ya.”
Dan akupun meminta petunjuk padaNya. Semoga yang terbaik.

*bersambung

Sunday, 9 December 2012

Petamburan : antara FPI, Debt Collector, dan Para Jawara


Saya tidak ingat persis kapan pastinya saya mulai tinggal di petamburan Jakarta pusat, rumah almarhumah nenek. Sepengetahuan saya, sejak bapak beberapa kali bolak-balik Bekasi-Petamburan untuk mengajar Olin (anak sepupu saya alias keponakan saya) dalam persiapannya menghadapi UN SD yang tinggal dua bulan lagi. Olin itu unik, gak pernah belajar, tapi nilai ulangannya bagus-bagus (baca:standar), entah dia nyontek atau emang jenius. Tapi memang setiap diberikan soal-soal matematika, dia selalu pusing dan ujung-ujungnya bapak juga yang menyelesaikan. halah.

Akhirnya sayapun jadi sering menginap di petamburan sambil menemani bapak. Karena sering menginap dan merasakan bagaimana enaknya rumah yang dekat dengan kantor (cuma 10 menit. wehehe), akhirnya diputuskanlah bahwa saya akan tinggal di petamburan kalau hari kerja dan kembali ke bekasi tiap week end. horay, hemat ongkos, dan gak capek pula. hehe.

Petamburan itu nama kelurahan di kecamatan Tanah Abang, daerah yang dikenal dengan pusat grosirnya. Dari pasar Tanah Abang ke rumah nenekpun tergolong dekat, cuma berjalan kaki sekitar 2 kilometer, itupun kalau lagi gak males, karena biasanya orang-orang ingin yang praktis dan nyaman, maka tersedialah tukang-tukang ojek dan bajaj yang siap mengantar.

Petamburan terletak persis di sebelah bantaran sungai ciliwung. Daerah yang memanjang dari depan museum tekstil jakarta sampai pintu air. Permukimannya padat, tak teratur dan tidak rapi lah pokoknya. Jalan-jalannya kecil dan sulit dilewati kendaraan, maka tak heran karena daerah resapan air yang nyaris tidak ada membuat banjir jadi sesuatu yang akrab disana. Tapi karena letaknya yang strategis, dekat dengan Jalan protokol (sudirman-thamrin) dan pusat grosir terbesar se-asia tenggara, maka penduduknya pun enggan pindah dari sana, walau kerap kali harus merasakan kiriman banjir dari bogor.

Petamburan itu tempatnya para jawara (kalau tidak mau dibilang tempatnya para preman). Jadi jangan heran kalau debt collector pun enggan datang kesana. Banyak debt collector yang memiliki nasib tak mengenakkan ketika menagih ke daerah ini, entah diteriaki maling dan jadi bulan-bulanan warga, atau bernasib lebih baik karena berhasil kabur dari kejaran dan amukan warga. Tapi terkadang ada juga debt collector yang beruntung, berhasil nagih dan keluar dengan selamat, mungkin itu cuma satu diantara puluhan debt collector yang terpilih karena sering sedekah dan berbuat baik. hehe. oh iya, karena daerah tempat para jawara, prosentase pencurian motor di daerah ini tergolong rendah, coba saja parkir motor di depan rumah semalaman, pagi harinya motor kita dijamin masih utuh, mungkin orang-orang akan berpikir puluhan kali kalau mau macam-macam ditempat ini, salah-salah nyawanya bisa lewat karena dikeroyok warga.

Di tempat ini pun terdapat basis dari salah satu ormas Islam yang kini sering jadi sorotan. FPI. Disini, FPI jadi semacam buffer yang menyeimbangkan potensi fasad warga petamburan menjadi sesuatu yang bermanfaat. Tengok saja sebagian simpatisannya yang kalau diperhatikan jauh dari nilai-nilai Islam, Muka sangar dan serem, badan tatoan, dan sholat pun jarang-jarang. Tapi saat isu-isu sentimen negatif tentang Islam merebak, mereka paling depan membela. Istilahnya, gw emang jarang sholat, tapi klo nabi dan agama gw dihina, tunggu dulu, hadepin gw klo berani. Wuih.. luar biasa.

Sudah hampir setengah tahun saya tinggal disini dan selalu ada fenomena unik yang terekam pandang dan tersimpan dalam benak. Seperti saat saya mengetahui bahwa tiap selasa dan kamis, selalu ada bazar yang menutupi jalan utama menuju petamburan, dan itu sangat mengganggu karena saya harus memutar jauh kalau mau pulang..Argh.. Bazar itu menjual beragam barang dagangan dari makanan, pakaian, alat-alat rumah tangga dan berbagai macam benda yang gak dijual bebas di pasaran (eh ini ciyus loh..). Atau ketika saya mengetahui bahwa hingga kini telah puluhan anak muda yang mati karena narkoba saking sulitnya tempat itu terjamah tangan aparat..duh.

Allahu'alam.

Saturday, 1 December 2012

Banjir di penghujung November

Jum'at 30 November 2012.

Penghujung November diakhiri dengan hujan lebat, tak terkecuali di Jakarta, Bekasi pun bernasib sama. Dari tahun ke tahun, selebat apapun hujan tidak akan menimbulkan kekacauan, tidak seperti Jakarta yang penghuninya selalu dag dig dug kala hujan datang, khawatir banjir. Duh, padahal Hujan itu Rahmat ya, tapi yaa begitulah. Tapi semalam berbeda, Hujan di Bekasi sejak Ba'da Ashar hingga menjelang Maghrib membuat kali di depan Kompleks meluap dan sudah bisa diperkirakan, banjir pun terjadi.

Sore itu saya masih di kantor, harap-harap cemas melihat langit yang berubah gelap. Mau pulang gak bawa payung, takut keujanan. Klo gak pulang sudah pasti bakal terjebak sampe malam di kantor. Akhirnya ya sudahlah, maghrib dulu aja di kantor, siapa tahu dapet pencerahan. hehe. Lalu tak lama hape saya berbunyi. Eh dari rumah, seperti biasa, cumi. Cuma miskol. haha. Saya pun menelepon balik ke rumah.

"Ga, di sini banjir, udah masuk rumah, di ruang tamu aja udah sepuluh centi. Ega pulang kapan?"
Ibu saya, belum sempat menjawab beliaupun kembali bercerita.
"Kalau emang disini masih banjir, ega nginep di Petamburan aja, besok pulangnya, disini takut gak ada angkot yang masuk".
Petamburan itu tempat nenek saya, walaupun yang menempati rumah itu  tinggal bibi dan keluarga anaknya alias keluarga sepupu saya. Rumah beliau deket kantor, makanya saya bela-belain tinggal disana klo week day, lumayan bisa menghemat. hehe.
"Oh iya ma, okeh, kok bisa masuk rumah? ujan dari jam berapa?"
"iya nih tumben, biasanya cuma nyampe depan doank, dari abis ashar, ampe sekarang."
Oh pantesan, hujan 3 setengah jam sudah lebih dari cukup untuk menggenangi satu komplek.
"yaudah, udahan dulu ya Ga, udah mau maghrib, wassalamualaikum"
"Waalaikumsalam"
 Sayapun mulai beres-beres meja yang kurang rapi (baca:berantakan), dan mematikan kompie kantor. yup, saatnya maghrib-an dulu
__

Selesai maghrib-an hujan sudah mulai reda, meski sesekali hujan rintik masih terasa. hm..klo gak balik sekarang, bakal  lebih berisiko, karena saya gak tahu apa hujannya bakal turun lebih deras lagi atau emang sudah bener-bener berhenti. Bismillah, mari kita pulang. Berjalan sebentar ke depan kantor, saya pun memanggil ojeg untuk mengantarkan saya ke stasiun karet. Akhir pekan dan hujan di sore hari, kombinasi yang pas untuk macet. Jalan Penjernihan I hingga karet padat, semoga bisa ngejar kereta yang jam setengah delapan.

Alhamdulillah, Tepat waktu, berjalan di bawah fly over karet, sayup-sayup terdengar bahwa kereta ke arah Depok masih berada di St. Duri. berarti pas banget nih. Tiket ke bekasi dibeli dan dengan sikap seorang anker (anak kereta), tas di taruh depan, dompet di tas, sayapun bersiap menyambut kereta.

Kereta datang dan para penumpang berdesak-desakan masuk ke dalam gerbong. ah ini masih stasiun karet aja udah padet gini, gimana sampe sudirman. untungnya kereta ke bekasi transit dulu di manggarai, jadi gak perlu desak-desakan kayak gini sampe bekasi. Dan benar perkiraan saya, di sudirman para penumpang udah gak mikir lagi, yang penting masuk gerbong, sebodo amat padet atau nggak. dan saya pun terdorong-dorong oleh penumpang yang baru masuk. Untung gak tiap hari ngerasain yang beginian.

Sampai stasiun manggarai, keluar gerbongpun susah amat, tas saya sampai tertarik dan hampir putus. parah dah. Dalam kondisi gak karuan gitu, si announcer stasiun ngomong, "kereta menuju bekasi sesaat lagi berangkat, di jalur 1" itu kan di ujung, terpaksalah saya tergopoh-gopoh berlari menuju jalur 1. sayapun naik dengan memanjat, duh kenapa ini jalur 1 gak dibikin peron aja sih, klo anak muda seperti saya mungkin gak masalah, tapi tadi saya melihat beberapa orang ibu-ibu yang kesulitan naik ke gerbong.

Ah akhirnya, sayapun berjalan melintasi beberapa gerbong berharap masih ada sisa tempat duduk, seperti biasa, kereta ke bekasi gak sepadat ke bogor. alhamdulillah, dapet duduk juga, dan beberapa saat sayapun sempat menghela nafas. Waktu masih menunjukkan pukul delapan kurang lima belas menit, wih, cepet juga ya, gak biasanya.

Saya sempat tidur-tidur ayam, sampai si petugas pemeriksa karcis datang. "karcisnya karcis, disiapkan." sayapun merogoh kantung depan jaket saya, mencari itu karcis. hm.. okeh, di saku depan gak ada, di saku bajupun gak ada, di celana apalagi, ah bener2, karcis saya ilang. dengan muka memelas sayapun bilang ke petugas.
"eh pak, karcis saya jatoh kayaknya pas turun dari kereta tadi."
"yaudah cari aja dulu" si petugas itu pun kembali berjalan menghampiri beberapa penumpang lainnya yang memiliki karcis.
Sekedar menghibur diri, sayapun kembali memeriksa jaket saya, kantung baju, celana, dan isi taspun tak luput dari pemeriksaan. ah bener-bener, jatoh nih. Bodohnya, kenapa itu karcis ditaruh di kantong depan jaket, udah tau itu kantong gak dalem, alias dangkal. Beberapa menit ke depan, saya menghabiskan waktu merutuki nasib dan merenung, ini pasti ada hikmahnya. sayapun memeriksa dompet, dan uang saya tinggal sisa 20 ribu, belum ngambil duit lagi. padahal tiket suplisi (denda)harganya 50 ribu. yasudahlah, pasrah aja.

Dari kejauhan, saya melihat seorang ibu, usianya mungkin sekitar 60 tahunan.
"bu, silahkan duduk"
wajahnya terlihat cerah,
"terima kasih banyak ya nak"
"iya bu, sama-sama"
Senangnya melihat senyum di wajah ibu itu. Mudah-mudahan Allah meridhoi.

Berdiri di samping pintu, saya melihat ke arah lantai gerbong. Coba disusuri lagi deh, siapa tahu ketemu, sayapun mencoba mencari karcis saya yang sepertinya gak bakal ketemu juga, mission imposible, tapi tak ada salahnya mencoba, karena tugas kita hanya berusaha, urusan hasil, itu murni hak prerogratif Allah.

Ternyata gak ada. sudah hampir sampai gerbong wanita dan susasana gerbong ini lebih ramai dengan penumpang. Sayapun bersiap-siap dengan berbagai alternatif tindakan pas nyampe stasiun kranji nanti. okeh, jadi nanti pas turun ngasih muka memelas dan bilang tiket saya ilang pak, dan berharap bapak itu terenyuh dan membiarkan saya lewat. atau coba bayar dengan uang seadanya dan berharap bapak itu mau menerima dengan ikhlas serta beberapa pikiran ngelantur lainnya.

Eh kayaknya kenal ama itu orang, sayapun menghampiri orang yang duduk dan sedang memainkan gadgetnya itu. "eh nu, gimana kabar, wah gak nyangka ketemu disini" Wisnu Wicaksono, teman SMA saya yang kerja di daerah sudirman.
"eh lo gar, alhamdulillah baik"
ngobrol-ngobrol sebentar dan sayapun curhat ke dia.
"nu, karcis gw ilang nih, gimana ya, kayaknya jatoh pas gw turun dari kereta arah bogor tadi, nanti lo jadi saksi ya pas gw ditanya karcis sama petugasnya , klo karcis gw jatoh. hehe"
"haha, tenang aja gar"
Obrolan pun berlanjut sampai menjelang stasiun kranji, wisnu mengeluarkan dompetnya dan memberikan secarik karcis. "nih, ya gapapalah meski tanggalnya beda."
"eh serius nih nu? lo punya banyak ya?"
"banyak, siap-siap buat kondisi kayak lo gini.haha"
Alhamdulillah ada jalan keluar ternyata.

Sayapun sampai ke rumah dengan kondisi rumah yang udah kayak kolam di ruang tengah. aih mak, siap-siap kerja keras nih. dan malam itu pun dihabiskan dengan menguras air. hehe. mungkin ini hikmahnya saya bisa cepet sampe rumah, disuruh bantuin emak bapak beres-beres.