Tuesday, 30 October 2012
Saya dan Seafood
Ketidak cocokan saya dengan makanan laut dimulai sejak kecil. Dimana bapak sebagai Role model pertama dalam hidup, tidak suka dengan ikan. Akhirnya kebiasaan itu menurun kepada anak-anaknya. Padahal ibu suka banget sama ikan. Tapi begitulah, yang namanya anak kecil, walaupun sebenernya ikan itu gak beda sama ayam dari segi rasa dan tekstur. tapi tetep aja, pas udah 3 suapan, saya pun bertanya ke ibu
"ma, ayamnya nambah lagi boleh gak?.. ",
"ini ikan sayang, tuh, enak kan."
dan seketika saya gak mau disuapin lagi sama ibu. haduh haduh.
Beranjak besar, sayapun mulai menyadari bahwa ketidak sukaan saya pada masakan laut lebih karena ikut-ikutan bapak yang memang gak suka dengan ikan dan teman-temannya. Makanya sejak SMP sayapun mulai membiasakan diri untuk makan makanan laut. Berbeda dengan kedua adik saya yang tetap kekeuh gak mau makan ikan. Beberapa kali ibu memasak ikan dengan berbagai variannya dan saya pun dengan lahapnya menyantap masakan ibu. nyam..
Tapi semuanya berubah ketika negara api menyerang, eh maksudnya, semuanya berubah saat saya diajak makan-makan sama sodara saya di kampus, bapak Jati Nantiasa Ahmad, untuk merayakan hari kelahirannya di restoran mang engking dekat danau UI bersama beberapa orang teman. Duduk di angkringan beratap rumbai kelapa sembari menunggu datangnya hidangan membuat saya semakin lapar. Setelah menunggu beberapa lama makanan pun berdatangan. Udang balado, tumis kangkung, Gurame bakar, dan berbagai masakan laut lainnya. Seumur umur, baru kali itu saya makan dengan lauk yang gak ada satupun dari daratan semacam ayam dan teman-temannya, sayapun dengan lahap menyantap udang dan gurame yang ada di atas meja.. nyam. Beberapa menit setelah hidangan licin tandas kami habiskan, kami pun bersantai sejenak dan selanjutnya beranjak menuju masjid untuk sholat Jumat (waktu itu hari jumat).
Dalam perjalanan menuju Mesjid UI, sayapun merasakan ada sesuatu yang aneh dengan wajah saya. Saya merasa wajah saya semakin tebal, ada sesuatu yang berbeda dengan wajah saya. Saya seperti memakai topeng. sayapun merasa gatal yang semakin menjadi di lengan dan punggung. Dan salah seorang kawan saya pun berucap.
"gar, kenapa muka lo merah-merah gitu. lo alergi udang ye?" oh tidak, sepertinya saya memang alergi udang dan bodohnya saya baru tahu saat itu. Sayapun memaksa untuk ditemani ke Rumah Sakit terdekat karena saking paniknya merasakan perubahan tubuh yang drastis, badan yang semakin gatal, dan muka yang sudah gak karuan bentuknya.
Pada akhirnya, Sayapun ditemani Jati ke rumah sakit bunda Margonda, dan paramedis pun memberikan suntikan anti alergi yang reaksinya terjadi beberapa menit kemudian. ajaib..!, gatal saya hilang, dan wajah saya semakin membaik. Tapi ternyata penanganan yang dilakukan tidak gratis alias mahaaal. Terbilang hampir 200 ribu saya keluarkan untuk mengobati alergi. (padahal kata orang2 tinggal istirahat aja nanti juga ilang sendiri alerginya...duh..). Mungkin itu seharga makanan yang saya makan tadi, sama juga gak ditraktir ya. hehe.
Pengalaman saya bersama masakan lautpun berlanjut beberapa tahun kemudian. Saat itu kerjaan saya yang suka mampir ke daerah-daerah indonesia timur, secara tidak langsung mengharuskan saya untuk bersedia dijamu oleh teman-teman di kantor cabang dengan makanan khas mereka yang sebagian besar adalah masakan laut. duh. gak enak nih klo gak dimakan, maka dengan berbekal keyakinan, sayapun memakan sajian yang disediakan oleh restoran tempat kami makan. dan ternyata hasilnya, tak disangka-sangka. Alergi saya gak muncul, walaupun setelah sampai hotel, diliat liat ada beberapa bentol gatal merah di beberapa bagian tubuh. hm.. mungkin saat itu kondisi saya sedang fit jadi imunitas tubuh saya jadi lebih kuat.
Anyway, barusan saya diajak makan sama pimpinan cabang, saat diajak makan, sayapun gak berharap makan di mana dan bakal makan apa, yang penting rejeki makan gratis. hehe. tapi ternyata makannya di warung seafood. halah. karena udah naek mobil dan bakal aneh klo saya batalin gak jadi ikutan makan dengan alasan yang dibuat-buat. Maka terpaksalah saya ikutan makan. dan hasilnya, bibir saya sedikit bengkak. hehe. untung gak keliatan sama temen-temen kantor.
Oh ya, walaupun begitu, sekarang saya berusaha fleksibel, gak keberatan klo diajak makan, meski itu berbau seafood. hehe
Monday, 22 October 2012
Happy Milad Bro..!
Perawakannya kurus, dengan warna kulit khas orang Indonesia kebanyakan.
Rambutnya, Aku ingat persis rambutnya panjang dan lebat dengan gaya belah pinggir, klimis sekali pokoknya. Ia
sosok yang pendiam, pertama kali diriku bertemu dengannya, ia hanya mengenalkan
dirinya sebagai mahasiswa teknik mesin UI angkatan 2004. selebihnya, ia lebih
banyak menghabiskan diri dengan catatan dan pena di tangannya.
Yup, buku catatan dan pena yang digunakan untuk menuliskan
apa-apa saja yang kami dapatkan dalam pendidikan kepemimpinan nasional yang
diadakan oleh PPSDMS nurul fikri di tahun 2006. Sebuah momen yang dijadikan ajang saling
kenal antar peserta PPSDMS dari seluruh regional di jawa. dan selama kegiatan itu berlangsung, Aku tak banyak
berbincang dengannya
Ah.. tapi ternyata anggapan ku itu salah, kesan pertamaku
tentangnya itu seketika berubah setelah beberapa lama berinteraksi dengannya di
asrama. Ternyata Ia pribadi yang hangat, humoris dengan
pemikiran yang brilian. Orang yang punya visi dan impian yang secara teknis
sudah tertata dengan rapi dan terencana.
Aku ingat persis ketika dirinya bercerita tentang
kegagalannya menjadi taruna akpol. Sebuah peristiwa yang membuat bumi seolah
runtuh dan membuatnya mempertanyakan keadilan Tuhan. Tapi ia sosok yang hebat,
dengan ridho Allah dan kedua orang tua serta tekad yang kuat, akhirnya ia dapat merangkai
kembali mimpinya dengan cara yang berbeda, diterima di FTUI jurusan mesin. Terlebih
lagi ia tak sekedar jadi mahasiswa yang biasa-biasa saja. Menjadi Ketua Ikatan
Mahasiswa Mesin periode 2006-2007, bagian dari Tim Robotik UI, penerima
beberapa beasiswa bergengsi di UI sepertinya cukup menggambarkan bagaimana
kiprahnya ketika berstatus mahasiswa. Di akhir masa studinya sebagai mahasiswa,
kecermelangannya semakin terlihat ketika ia berhasil berkarir di salah satu Oil
Company bergengsi di dunia, Schlumberger.
Hm.. aku masih ingat persis bagaimana momen momen sebelum ia
berangkat melanglang buana bersama karir barunya. Saat itu seporsi menu special
Yokobento menjadi tanda perpisahan. Hehe. Makasih bro. (walau mungkin itu bukan
pertama kalinya lo nraktir gw, hehe).
Sukses terus bro. selesaikan itu studi di perancis lantas
balik lagi kesini. Orang Indonesia
butuh orang-orang macem kau. Terima kasih atas segala bantuannya, ah bener-bener segala bantuan itu bermanfaat buat gw, semoga jadi amal jariah. Doakan bisa gw bales secepetnya.
Aidil Miladika Bapak Refi Kunaefi, Ayah dari Nidal Denanta
Kunaefi, dan Suami dari Hana Nika Rustia.
Friday, 19 October 2012
First Flight
Penjernihan II, Jakarta
Pusat
18 Oktober 2012, 11.30
Waktu dzuhur di bulan ini lebih cepat dari biasanya. Kini pukul
11.45 sudah masuk Dzuhur. Jam di ruang SDM sudah menunjukkan pukul 11.30, 15
menit menuju dzuhur. Akupun bersiap, merapihkan meja (jangan dibayangkan bahwa
benar-benar rapih tertata dengan indah, ini cuma sekedar membetulkan letaknya
aja), lalu mengecek email kantor sebentar. Hm. Tak ada email baru. Baiklah, akupun segera beranjak dari kursi
sebelum terhenti pada sebuah status menarik di Facebook temanku.
Hoo.. dia
sekarang sedang berada di Padang, perasaan baru beberapa hari yang lalu dia
kembali dari palembang. Sekarang aktivitasnya lebih sering di luar kota,
enaknya bisa jalan-jalan. Hehe. Akupun kembali teringat saat dulu masih di
kantor yang lama. Kalau tidak salah pertama kalinya diriku keluar kota itu
bulan Desember 2009.
Setelah 2 bulan
yang penuh dengan pekerjaan klerikal dan printilan administrasi, tibalah di
akhir tahun 2009, diriku mulai merasakan pekerjaan yang sedikit berbau
psikologi. Yup, mulai saat itu aku mulai menjadi tester psikotes. Yuhuu.. dan
pekerjaan pertama ku sebagai seorang rekruter adalah mengadakan psikotes di
luar kota, dan kota pertama yang kusambangi saat itu adalah Semarang.
Hm...oke, jujur, saat
itu aku sedikit nervous. Untuk pertama kalinya mengadakan psikotes di luar kota
(alhamdulillah dibantu teman-teman kantor cabang), dan ditambah lagi, ini untuk
pertama kalinya diriku naik pesawat terbang.. (haha, norak banget dah, udah tua
gini baru naek pesawat). Syukurlah, di penerbanganku yang pertama ini kantorku
bekerja sama dengan maskapai terbang terbaik negeri ini, setidaknya mengurangi
ketakutan seorang penumpang pemula. Hehe.
Semuanya sudah siap,
tiket pesawat, perlengkapan psikotes, dan penginapan di semarang. Akupun dengan
setelan yakin membawa koper dan berpamitan dengan teman-teman di kantor
(berangkat dari kantor siang hari, pesawat jam 5 sore).
”eh gar, lo bisa
berangkat sendiri kan? Gak bakal nyasar kan? Hehe..pokoknya nanti lo tinggal
masuk bandara aja terus lo cari tempat check in” petuah salah seorang kawanku
hanya kutanggapi dengan senyuman dan acungan jempol..
”sipp, tenang aja mbak”,
akupun menimpali nasihatnya dengan nada penuh keyakinan, nasihatnya hanya lewat
berlalu begitu saja dari pikiranku.
Di bandara,
akupun berjalan memasuki pintu gerbang pemeriksaan bagasi. Dengan langkah penuh
kebanggaan, akupun berjalan mendorong tas koper menuju ruang tunggu bandara. Ah,
masih lama ternyata, akupun berbalik arah menuju tempat makan di serambi
bandara. Tujuanku saat itu sebenarnya hanya ingin menghabiskan waktu dan
menikmati suasana bandara, karena waktu penerbangan masih sekitar 2 jam lagi.
Waktu berjalan
cepat, tak terasa jadwal penerbanganku tinggal setengah jam lagi. Ah akupun
segera berlari menuju ruang tunggu bandara. Fiuh. Akhirnya sampai juga. Akupun menunjukkan
tiketku pada petugas pemeriksa di ruang tunggu bandara.
”eh maaf pak,
boarding passnya bisa?” eh. Akupun bingung,
”loh
mbak, ini tiket saya”
”maaf
pak, bapak harus check in dulu untuk mengambil boarding pass dan membayar
pajak. Cepat ya pak, tinggal 20 menit lagi.”
Aih mak,
mati. Akupun segera berlari menuju counter check in. Ah syukurlah masih sempat. Dengan nafas yang terengah-engah, aku menunjukkan tiket dan KTP ku, akhirnya boarding pass sudah di tangan dan aku pun kembali berlari menuju ruang tunggu dan kuserahkan benda itu pada petugas yang nampak menungguku dengan pandangan kesal. Gini
nih jadinya kalau terlalu PD, keliatan noraknya, padahal tadi sudah
diingatkan oleh teman kantorku. Untung gak ketinggalan pesawat.
Akupun tersenyum
ketika mengingat kembali kejadian itu. Ah.. masa-masa itu, eh sudah waktunya
dzuhur. Teman-teman di kantor sudah banyak yang berangkat ke mushola. Ah. Terlambat
lagi.
#dan petualangan
pun dimulai.
Tuesday, 16 October 2012
Kartu Istimewa
Penjernihan II, Jakarta
Pusat.
15 Oktober 2012, Pukul 17.10
Fiuh.. akhirnya, berkas psikotes terakhir di hari ini. Kulayangkan
pandang ke arah belakang mejaku, ke arah jam dinding yang berdetak perlahan di tembok
ruang SDM. Pukul 5 sore, setengah jam lagi jika ingin pulang tenggo (teng
langsung go). Tapi.. ah, pulang tenggo, sesuatu yang sangat jarang kunikmati
beberapa bulan ini. Sejak tinggal di rumah nenek di daerah petamburan Jakarta pusat, rasanya
pulang malam jadi sesuatu yang biasa saja. Jarak yang dekat antara rumah dan
kantor sedikit banyak mengurangi tingkat kecemasan dan ketegangan urat syaraf
yang beberapa tahun ini kurasakan sebagai seorang komuter. Hingga aku pun lebih
banyak menghabiskan waktu sore di kantor sampai senja berganti gelap.
Kantorku berbentuk rumah, ya betul, rumah. Rumah yang
disulap menjadi kantor dengan berbagai perangkatnya. Jadi sedikit banyak, aura
kehangatan sebuah ‘rumah’ masih tersisa dari kantorku ini. Membuat kami, para
karyawan, menjadi lebih nyaman berada disana. Di halaman belakang, ada sebidang tanah, tak luas memang, tapi cukup asri dan hijau tuk sekedar mendinginkan
pandang. Tentunya hal ini jadi sesuatu yang menyegarkan mata setelah seharian
menatap layar monitor.
Aku berada disana, beranjak dari ruang SDM menuju beberapa
kursi yang berbaris rapih di samping halaman. Ah segarnya. Sejenak kurasakan aroma
rumput basah sisa hujan di sore hari merambat di sekujur tubuhku, kuhirup
sejadi-jadinya. Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang masih memberikan ku
kesempatan menikmati RahmatNya.
“Permisi Mas Tegar, jadi nitip nasi bungkus mas?” suara
Jaka, Office Boy di kantorku, perlahan menyadarkanku dari lamunan.
“oh iya, saya titip nasi uduk pecel lele saja ya,” aku pun
mengeluarkan dompet dan memberikan beberapa lembar uang puluhan ribu padanya.
“baik pak, “ ia pun berlalu dan akupun masih memegang dompet
yang sedari tadi masih terbuka. Saat itu, pandang ku terpaku pada sebuah kartu
di dalam dompet. Ah, kartu ini. Akupun tersenyum melihatnya.
Akupun memegangnya dan memandangnya lekat. Kartu ini, kartu
yang dulu nampak sangat prestisius berada di dompetku. Kartu yang menandakan
bahwa anda telah menaiki dan berjalan, berwisata, dan terbang bersama maskapai udara
terbaik di negeri ini selama puluhan kali. Sehingga anda layak mendapat beberapa
keuntungan termasuk free ride selama millage (jarak terbang) anda telah
memenuhi syarat.
Ah itu dulu. Saat dimana sepertinya hidup terasa istimewa. Tapi
tidak, itu hidup yang jauh dari kata istimewa. Tidak ada pengabdian, tidak ada
pengorbanan, dan tidak ada kekhusyukan. Semuanya hampa dan yang ada hanya
kekosongan.
Kumasukkan lagi kartu itu ke dalam dompet. Biar dia jadi
penanda dan pengingat, bahwa bila suatu saat kugunakan kembali kartu itu, dan
mendapat keistimewaan darinya. Aku telah menjadi pribadi yang lebih baik dan
berisi. Yang tak hanya terlingkupi kemewahan sesaat, namun ada kepuasan akan
arti pengabdian disana, kekhusyukan didalamnya dan ketaatan padaNya.
Amiin ya robb.
Subscribe to:
Posts (Atom)