"eh hujan nya udah berhenti nih, tisunya buat kamu aja.. aku lagi buru-buru, senang ngobrol sama kamu, kali lain ketemu lagi ya"
"tu.. tunggu.."
Ia pun berlalu sebelum sempat ku bertanya siapa namanya. Kini ku hanya bisa menatap bis kuning yang membawanya pergi. Di halte ini terkenang diskusi kami beberapa menit yang lalu, apalagi kalau bukan tentang ospek. Berbagai pengalaman heboh di hari pertama meluncur deras darinya, dengan ekspresif ia bercerita tentang mahasiswa baru yang dihukum karena telat datang, kakak2 senior yang galak, berbagai atraksi lembaga kemahasiswaan, dan berbagai kemeriahan hari ini. Mendengarkan ia bercerita membuatku tergelak dan tersenyum, tak kusangka ada perempuan seceria ini sebelumnya. Ia pun sempat bercerita tentang keinginannya bergabung dengan sebuah organisasi rohis di kampus ini.
"aku ingin bergabung dengan Salam UI, aku ingin menjadi lebih baik, setidaknya
lebih baik dibandingkan di SMA" terlihat kesungguhan di wajahnya. Terselip senyum getir di wajahku mendengar penuturannya. Berbeda dengannya, aku ingin menghiasi kehidupan kampus dengan lebih berwarna.
Telah cukup bagiku pendidikan agama 6 tahun lamanya. Pesantren membuatku jengah. SPMB Juli lalu memberikan jalan keluar bagiku. Tak sia sia usahaku meyakinkan kedua orang tua agar mengizinkan ku melanjutkan studi di luar ilmu agama. Ibuku sempat ragu dengan keputusanku ini, akupun membujuk ayah untuk meyakinkan ibu bahwa semuanya akan baik-baik saja. Usahaku kembali berhasil, kepercayaan ayah meluluhkan hati ibu. Sangat terpaksa nampaknya, mereka membolehkanku meninggalkan fokus studiku di ilmu agama. Dan akhirnya tibalah hari yang kutunggu-tunggu,Agustus 2005, pengumuman SPMB ku sambut dengan wajah berseri, kuberikan koran hari itu pada mereka berdua, dimana namaku tercantum sebagai calon mahasiswa di salah satu kampus terbaik di negeri ini.
Segera terbayang kehidupan kampus yang lebih meriah.
Berbeda dengan ku, ia begitu antusias mendalami ilmu agama, menjadi lebih baik menurutnya. Kesungguhannya membuatku sedikit malu, aku yang ingin menjauhkan diri dari ilmu agama dihadapkan dengan sesosok wanita muslimah yang menggebu mendalami ilmu Agama. Ditambah, wanita itu berbeda dengan sosok wanita yang selama ini kupahami. Ia meletup-letup, semangat, dan penuh keceriaan, setiap tutur katanya adalah refleksi kebahagiaan. Sangat jauh dari apa yang selama ini kubayangkan tentang sosok wanita kebanyakan.Di halte ini ku berjumpa dengannya diiringi deras hujan dan aroma tanah yang menyejukkan. Tanpa tahu nama, fakultas, dan siapa gerangan dirinya, Ia bagai angin semilir, datang dan pergi tanpa jejak namun menyisakan nyaman di hati. Entah kapan kami dapat bertemu kembali, sulit bagiku menemukannya diantara beratus mahasiswa di kampus ini. Perasaan kecewa sempat hinggap, namun seketika sirna ketika kulihat sebungkus tisu di tanganku. Tuhan telah memainkan perannya, tak ada satupun yang luput dari skenarionya, dan kuyakin pertemuanku dengannya hari ini adalah satu dari sekian banyak skenario indah dariNya. Di halte ini aku akan menunggu.
**
"Hei.. Assalamualaikum.. lama tak bersua, betah amat di halte, dari dulu di sini aja??.. hehe.."
"waalaikumsalam.. kayaknya halte lebih enak dari kost-kostan saya.. akses serba cepat, kemana-mana gampang.. hehe.."
Aku membalas ledekannya yang tiba-tiba datang di hadapanku. Halte yang ramai dan gaduh berubah singkat menjadi alunan merdu di telingaku. Berbalut jilbab putih dan pakaian berwarna krem ia datang membawa beberapa buku dan tas ransel yang tersandang di punggungnya.
"Ngeliat bawaan kamu bikin saya pegel.. banyak amat bukunya.."
" iya nih, dosen saya gak bersahabat dengan mahasiswa baru, belum 3 minggu, udah banyak tugas aja.. huh.."
Lirih ucapannya menyadarkan ku bahwa tidak terasa sudah 3 minggu aku kuliah di kampus ini. Dan telah 3 minggu pula tiap harinya ku menyempatkan diri datang ke halte ini, sekedar mengundi keberuntungan untuk bertemu dengannya. Padahal fakultas ku jauh dari halte ini. Berkali-kali mencoba, ternyata nihil, ia tak kujumpai lagi. Dan baru hari ini, keberuntungan serasa di pihakku. Aneh, tak pernah sebelumnya ku jadi seperti ini, ada yang berubah dariku
"eh bis ku udah dateng tuh, kamu mau disini dulu? aku duluan ya, kapan2 kita ketemu lagi.. kita ketemu di halte ini aja, oke? wassalamualaikum.. "
"waalaikumsalam.." jawabku lirih. Belum sempat ku bertanya namanya, ia kembali pergi. Tapi setidaknya, aku tahu, penantian ku esok hari tidak akan sia-sia. Ia akan kembali ke halte ini.
***bersambung
Saturday, 19 December 2009
Friday, 18 December 2009
Sebungkus tisu itu..
"nih..ambil aja, kamu lagi nyari-nyari ini kan??"
Suaranya datar, tanpa ekspresi dan senyuman, Dari tangannya terulur sebungkus tisu yang di tanggapi diam olehku. Hening sesaat sebelum akhirnya ku tersadar bahwa tisu adalah yang paling kubutuhkan saat ini.
"ter.. terima kasih.." jawabku sembari menggigil dan mengelap wajah. Semenit yang lalu, ku berlari dari arah stasiun dan berteduh di halte ini. Badanku basah kuyup, dan ku sibuk mencari-cari sapu tangan yang biasanya tersimpan rapi di tas. Ah.. tak ada, ku cari lagi di kantong celana juga sama, hm.. tak biasanya ku meninggalkan benda yang satu itu. berkali kali ku mencari sampai si gadis itu memecah keheningan dengan sebungkus tisunya.
Halte itu sesak oleh orang-orang yang berebut untuk berteduh, suara deras hujan mengiringi untaian nada keberkahan. Akupun duduk diam mengeringkan diri dengan sebungkus tisu. Ia kini duduk di sampingku, memegang erat tas yang sedari tadi berada dipangkuannya. Dari sosoknya, terlihat bahwa ia sama sepertiku, mahasiswa baru yang sesaat lalu selesai menjalani orientasi kampus hari pertama. Pakaiannya putih hitam, rok hitam, kemeja putih, dibalut dengan jilbab biru.
"Capek ya, hari pertama, besok ada lagi.. " Suaranya memecah keheningan diantara kami,Wajahnya menatap lurus ke depan. ia seperti membaca pikiranku, dan akupun berusaha menanggapinya setenang mungkin "eh..eh ya, namanya juga mahasiswa baru, ikutin aja dulu alur yang ada.. " usahaku gagal, ada nada kegugupan dari jawabanku. Degap jantung ini entah kenapa terasa makin kencang.
"Hujan.. Aku suka wanginya, aroma tanah yang disirami air langit..ada rasa kehidupan di dalamnya..terkadang aku merasa puas hanya dengan menikmati saat2 ini.." Ia pun memejamkan mata dan menarik nafas dalam-dalam. Terdiam sesaat menahan nafas, sebelum akhirnya ia menghembuskan nafas kembali yang diiringi dengan senyuman. Aku mencuri pandang, Semesta pun ikut terpaku bersamaku, terlihat sosok bidadari turun dari langit.
*** Bersambung..
Suaranya datar, tanpa ekspresi dan senyuman, Dari tangannya terulur sebungkus tisu yang di tanggapi diam olehku. Hening sesaat sebelum akhirnya ku tersadar bahwa tisu adalah yang paling kubutuhkan saat ini.
"ter.. terima kasih.." jawabku sembari menggigil dan mengelap wajah. Semenit yang lalu, ku berlari dari arah stasiun dan berteduh di halte ini. Badanku basah kuyup, dan ku sibuk mencari-cari sapu tangan yang biasanya tersimpan rapi di tas. Ah.. tak ada, ku cari lagi di kantong celana juga sama, hm.. tak biasanya ku meninggalkan benda yang satu itu. berkali kali ku mencari sampai si gadis itu memecah keheningan dengan sebungkus tisunya.
Halte itu sesak oleh orang-orang yang berebut untuk berteduh, suara deras hujan mengiringi untaian nada keberkahan. Akupun duduk diam mengeringkan diri dengan sebungkus tisu. Ia kini duduk di sampingku, memegang erat tas yang sedari tadi berada dipangkuannya. Dari sosoknya, terlihat bahwa ia sama sepertiku, mahasiswa baru yang sesaat lalu selesai menjalani orientasi kampus hari pertama. Pakaiannya putih hitam, rok hitam, kemeja putih, dibalut dengan jilbab biru.
"Capek ya, hari pertama, besok ada lagi.. " Suaranya memecah keheningan diantara kami,Wajahnya menatap lurus ke depan. ia seperti membaca pikiranku, dan akupun berusaha menanggapinya setenang mungkin "eh..eh ya, namanya juga mahasiswa baru, ikutin aja dulu alur yang ada.. " usahaku gagal, ada nada kegugupan dari jawabanku. Degap jantung ini entah kenapa terasa makin kencang.
"Hujan.. Aku suka wanginya, aroma tanah yang disirami air langit..ada rasa kehidupan di dalamnya..terkadang aku merasa puas hanya dengan menikmati saat2 ini.." Ia pun memejamkan mata dan menarik nafas dalam-dalam. Terdiam sesaat menahan nafas, sebelum akhirnya ia menghembuskan nafas kembali yang diiringi dengan senyuman. Aku mencuri pandang, Semesta pun ikut terpaku bersamaku, terlihat sosok bidadari turun dari langit.
*** Bersambung..
Monday, 14 December 2009
Realita seorang Ikhwan Eksmud..
Untuk ukuran pria, ia bisa dibilang di atas rata-rata dalam hal karir, penampilan, dan juga Agama. di karir, posisinya termasuk level top manager. Tandatangannya bisa mempengaruhi nasib seorang karyawan di masa depan. Hingga kerap kali senyuman yang ia dapatkan dari karyawan adalah sebuah topeng keramahan atas sebuah usaha dari seorang penjilat. Penampilannya pun selalu terjaga, wajahnya dihiasi berbagai produk perawatan kulit yang siap menjaganya dari berbagai kondisi lingkungan yang tak bersahabat, dan juga rambut yang selalu tersisir rapih karena minyak rambut dari sebuah merk ternama.
Untuk urusan agama, ia tak usah diragukan lagi. Track recordnya di kampus sebagai seorang aktivis dakwah menjawab keraguan atas penampilannya yang tak biasa dari ikhwan kebanyakan. Ia stylish, funky, namun kerap kali terlihat dari saku kemejanya yang berdasi, sebuah quran kecil. Yup, apapun kondisinya, quran adalah sebaik-baik teman baginya. Sekilas, ia sempurna. Tak sedikit (mungkin) orang yang ingin berada di posisinya sekarang. Namun, ada satu hal yang kurang, dan itupun dirasakan olehnya dan orang sekelilingnya. Di usianya yang genap 32 tahun, Ia belum menikah.
Bagi komunitas eksmud metropolitan khususnya di kota Jakarta, seorang pria yang belum menikah hingga usia 30 tahun mungkin menjadi sebuah pemandangan yang biasa. Karir yang memukau mata terkadang sinarnya sangat menyilaukan hingga membuat sebagian eksmud tersebut terlena dan mengabaikan kehidupan berumah tangga yang idealnya telah mereka bangun. Tapi bagi si ikhwan ini, ia tak termasuk dalam jajaran eksmud-eksmud itu. Status lajangnya kini bukan karena disengaja untuk mengejar karir, namun ada sebab lain, dan terkadang ia menyesali dirinya yang terlalu idealis.
Dalam kognisinya telah terbentuk frame dan konsep tentang apa yang disebut sebagai rumah tangga dan istri yang ideal. Sebuah hasil pengalaman, pembelajaran, dan interaksi selama ia berada di kampus dengan segala aktivitas di dalamnya. Baginya rumah tangga dan seorang istri di dalamnya tidak sekedar sebagai sebuah tempat penyambung keturunan dan pelipur lara hati. Baginya Rumah tangga adalah sebuah madrasah pencetak generasi unggul dengan seorang istri sbagai partner, guru bagi keturunannya kelak. Dan itu sangat terpatri dalam sanubarinya yang terdalam.
Malang baginya, aksesnya untuk meminang sang Istri terhambat semenjak ia meninggalkan jamaah yang dulu, ketika di kampus, selalu ia banggakan. Ia termasuk orang yang sulit dan alergi dengan politik serta intrik intrik di dalamnya. Baginya, perjuangan lewat jamaah ini adalah perjuangan membangun peradaban Islam, dan itu tidak selamanya lewat jalur politik. Hingga setiap kali ia di ajak berpolitik dalam jamaah itu, ia mundur dan mencari kelompok lain dari jamaah yang sama yang tidak mengajaknya berpolitik. Namun sayang, saat itu di zaman itu, setiap kelompok dari jamaah ini masih ngotot untuk berpolitik. Dan akhirnya dengan berat hati, ia mundur, hingga saat ini. Dan itu berarti merelakan sang calon Istri dipinang orang lain, Karena sang calon istri bagian dari jamaah ini.
Ia pun terus mencoba, meminang sang calon istri lainnya dari jamaah ini. Namun sayang, selalu terbentur pada sebuah label dan status, bagian dari jamaah atau tidakkah anda. Karena seringkali, sang calon istri lebih suka berkonsultasi dengan gurunya dalam jamaah itu, dan menjadikan 'fatwa' dari sang guru sebagai sebuah "dalil hukum" yang sering kali membuahkan jawaban mengecewakan bagi si Ikhwan. Ironis.. padahal syariat saja tak pernah membatasi kategori baik buruknya calon suami hanya pada status dan label jamaah.
Ia pun menyadari, bahwa sangatlah sulit untuk meminang calon pujaan hati dari jamaah itu. Namun apa daya, sejauh ini, Calon istri yang ideal baginya, selalu dari jamaah itu. Ia pun berusaha sebisa mungkin mengubah mind set yang sudah terlampau menghujam kuat dalam kognisinya. Bahwa masih banyak calon istri yang ideal diluar sana, yang tidak terikat pada jamaah itu. Tapi sayang, belum berhasil hingga saat ini.
Itulah sekeping realita dari seorang pria yang mungkin hanya mewakili satu bagian dari berbagai cerita dan pengelaman serupa. Bahwasanya terkadang menjadi baik, mapan, dan menarik tidak cukup. Anda harus menjadi bagian dari kelompok.
Untuk urusan agama, ia tak usah diragukan lagi. Track recordnya di kampus sebagai seorang aktivis dakwah menjawab keraguan atas penampilannya yang tak biasa dari ikhwan kebanyakan. Ia stylish, funky, namun kerap kali terlihat dari saku kemejanya yang berdasi, sebuah quran kecil. Yup, apapun kondisinya, quran adalah sebaik-baik teman baginya. Sekilas, ia sempurna. Tak sedikit (mungkin) orang yang ingin berada di posisinya sekarang. Namun, ada satu hal yang kurang, dan itupun dirasakan olehnya dan orang sekelilingnya. Di usianya yang genap 32 tahun, Ia belum menikah.
Bagi komunitas eksmud metropolitan khususnya di kota Jakarta, seorang pria yang belum menikah hingga usia 30 tahun mungkin menjadi sebuah pemandangan yang biasa. Karir yang memukau mata terkadang sinarnya sangat menyilaukan hingga membuat sebagian eksmud tersebut terlena dan mengabaikan kehidupan berumah tangga yang idealnya telah mereka bangun. Tapi bagi si ikhwan ini, ia tak termasuk dalam jajaran eksmud-eksmud itu. Status lajangnya kini bukan karena disengaja untuk mengejar karir, namun ada sebab lain, dan terkadang ia menyesali dirinya yang terlalu idealis.
Dalam kognisinya telah terbentuk frame dan konsep tentang apa yang disebut sebagai rumah tangga dan istri yang ideal. Sebuah hasil pengalaman, pembelajaran, dan interaksi selama ia berada di kampus dengan segala aktivitas di dalamnya. Baginya rumah tangga dan seorang istri di dalamnya tidak sekedar sebagai sebuah tempat penyambung keturunan dan pelipur lara hati. Baginya Rumah tangga adalah sebuah madrasah pencetak generasi unggul dengan seorang istri sbagai partner, guru bagi keturunannya kelak. Dan itu sangat terpatri dalam sanubarinya yang terdalam.
Malang baginya, aksesnya untuk meminang sang Istri terhambat semenjak ia meninggalkan jamaah yang dulu, ketika di kampus, selalu ia banggakan. Ia termasuk orang yang sulit dan alergi dengan politik serta intrik intrik di dalamnya. Baginya, perjuangan lewat jamaah ini adalah perjuangan membangun peradaban Islam, dan itu tidak selamanya lewat jalur politik. Hingga setiap kali ia di ajak berpolitik dalam jamaah itu, ia mundur dan mencari kelompok lain dari jamaah yang sama yang tidak mengajaknya berpolitik. Namun sayang, saat itu di zaman itu, setiap kelompok dari jamaah ini masih ngotot untuk berpolitik. Dan akhirnya dengan berat hati, ia mundur, hingga saat ini. Dan itu berarti merelakan sang calon Istri dipinang orang lain, Karena sang calon istri bagian dari jamaah ini.
Ia pun terus mencoba, meminang sang calon istri lainnya dari jamaah ini. Namun sayang, selalu terbentur pada sebuah label dan status, bagian dari jamaah atau tidakkah anda. Karena seringkali, sang calon istri lebih suka berkonsultasi dengan gurunya dalam jamaah itu, dan menjadikan 'fatwa' dari sang guru sebagai sebuah "dalil hukum" yang sering kali membuahkan jawaban mengecewakan bagi si Ikhwan. Ironis.. padahal syariat saja tak pernah membatasi kategori baik buruknya calon suami hanya pada status dan label jamaah.
Ia pun menyadari, bahwa sangatlah sulit untuk meminang calon pujaan hati dari jamaah itu. Namun apa daya, sejauh ini, Calon istri yang ideal baginya, selalu dari jamaah itu. Ia pun berusaha sebisa mungkin mengubah mind set yang sudah terlampau menghujam kuat dalam kognisinya. Bahwa masih banyak calon istri yang ideal diluar sana, yang tidak terikat pada jamaah itu. Tapi sayang, belum berhasil hingga saat ini.
Itulah sekeping realita dari seorang pria yang mungkin hanya mewakili satu bagian dari berbagai cerita dan pengelaman serupa. Bahwasanya terkadang menjadi baik, mapan, dan menarik tidak cukup. Anda harus menjadi bagian dari kelompok.
Sunday, 6 December 2009
Pak Agus : Hidup itu Harus Terus Berjalan Gar..!
Pria paruh baya itu menyisir rambutnya yang membelah ke samping, dengan sisir kecilnya ia merapihkan rambut yang terkena air sehabis mengambil air wudhu. Terlihat kilauan cahaya dari tetes air yang jatuh demi satu dari rambutnya yang tersisir. Ia tersenyum padaku sembari memberikan jabat tangan hangat. ".. ayo silahkan, saya yang qomat" belum sempat berkata sepatah pun, ia langsung mengumandangkan iqomah. Dan akupun mau tak mau menjadi imam di penghujung hari.
Sehabis mengucapkan salam yang kedua, ia pun menjabat tanganku kembali untuk kedua kalinya. ba'da dzikir dan doa, akupun melirik jam tanganku, ah ternyata sudah jam 8.00 malam, tak terasa waktu berlalu. Akupun mengalihkan pandang kembali kepada sosok pria paruh baya yang sholat bersamaku ini. Dari raut wajahnya, umurnya mungkin sekitar 40-50 tahun-an. Dan dari penampilannya, kemungkinan ia pegawai baru, sama sepertiku yang belum mendapatkan seragam, tapi mungkin berbeda divisi, sepertinya ia dari desk training (red.divisi=desk). Ia pun memecah keheningan dari lamunanku.
"assalamualaikum, saya agus, mas di BSM juga ya?? " aku jawab " iya pak saya di bsm juga, nama saya tegar, bapak juga di bsm kan?" ia hanya menganggukan kepala. "sudah lama di bsm pak?", " sama lah kayak mas ini, sama2 pegawai baru, kita kan sama-sama belum dapat seragam..haha..saya jadi pelaksana di bagian operasional training" wow..ia sepertinya dapat membaca pikiranku, suasana pun seketika menjadi cair dengan riuh rendah tawanya. Dan sejak itu percakapan panjang penuh hikmah pun dimulai.
Ternyata ia tinggal di bekasi, walaupun sedikit lebih dekat ke jakarta timur, ia tinggal di jatibening. Ia bercerita bahwa ia mengenal beberapa orang di divisi human capital, dan ia pun menyebutkan beberapa nama. Sepanjang lorong menuju lift ia terus bercerita dengan sesekali menerima sapaan dan salam dari beberapa orang yang berpapasan bersama kami. Aku sedikit bingung, nampaknya setiap orang kenal dengannya, padahal statusnya sama2 pegawai baru seperti ku.
"dulu saya pernah mengerjakan proyek training dengan beberapa orang BSM, waktu itu bapak hanawijaya dan pak yuslam masih jadi kabag.. haha.. gak nyangka sekarang mereka udah jadi direktur.. waktu itu saya masih di tazkia, saya sama-sama mendirikan tazkia bersama pak antonio (panggilan untuk syafii antonio pakar ekonomi islam), tapi sayang sekarang udah dijual" hm.. beberapa penjelasannya ini nampak memberikan jawaban mengapa ia cukup dikenal di BSM, dan nampaknya ia bukan orang sembarangan.
Pintu lift terbuka, dan kamipun keluar menuju tempat absensi elektronik. di sepanjang perjalanan ia bercerita tentang kondisi bangsa ini yang sudah semakin semrawut, dan penuh dengan kebusukan. "ah.. omong kosong itu kalau PPATK tidak tau kemana aliran dana century mengalir. Mereka takut kena getahnya, saya yakin banyak pejabat terlibat dalam aliran dana itu.." dengan mata berapi-api ia bercerita, sembari sesekali melirik ke arahku seolah berkata "hei, negeri ini nanti menjadi tanggung jawabmu, masa depannya tergantung bagaimana kamu berjuang saat ini".. aku pun berpaling dari pandangannya, fiuh.. iya pak, saya sadari itu, tapi beban ini terasa berat sekali.
Setelah absen, kami masih sesekali berpapasan dengan beberapa orang. Kali ini tak sekedar berpapasan, salah seorang yang menyapa pak agus seolah menunjukkan wajah keheranan dan berucap " loh?? pak Agus sekarang di BSM toh??" dengan tersenyum ia hanya menjawab. aku pun semakin penasaran dengan sosok pak agus ini.
Sepanjang jalan thamrin mulai sepi, hanya beberapa pengendara saja yang masih berlalu lalang, tak sampai lima menit, kendaraan yang kami tunggu pun datang, kebetulan pak agus satu jurusan kendaraan denganku, hingga akhirnya ia bisa kembali bercerita. "tadi itu namanya pak fauzi, salah satu kadiv di BSM, hehe.. gak nyangka dia masih kenal dengan saya, padahal udah bertahun-tahun lalu saya ketemu dia, dulu waktu dia masih jadi dirut bank ifi" akupun termenung, mencoba menebak siapa sebenarnya pak agus dulu. Sepertinya ia menangkap wajah keherananku dan kembali berucap "saya mencoba sedapat mungkin menghindar dari orang-orang di sini (baca: bsm), bukannya malu atau minder, tapi terkadang beberapa orang tidak dapat menerima kondisi saya sekarang ini yang jadi pegawai biasa. padahal bagi saya, apapun pekerjaannya sama saja, tapi yang penting bagaimana ininya " sembari menunjukkan jarinya ke arah dada.
"hidup itu harus terus berjalan gar, dan terkadang kita berada di atas dan kadang kita berada di bawah. Dulunya saya gak menyangka kalau beberapa rumah, mobil, dan harta yang saya peroleh ini bisa hilang begitu saja. Semuanya habis untuk biaya rumah sakit sejak saya kecelakaan 5 tahun lalu. Saya sempat koma 3 hari, kaki saya, dan tangan patah. butuh pemulihan 3 tahun untuk saya kembali normal berjalan" sembari tersenyum ia bercerita seolah semuanya hanya kejadian biasa saja. "dulu saya dirut di salah satu bank, saya gak usah nyebut lah bank nya apa.. hehe.. tapi yang jelas saya bekerja bukan untuk kebanggaan dan pandangan orang. Semuanya untuk keluarga dan tanggung jawab kepada Tuhan yang masih memberi saya hidup."
Dan sepanjang perjalanan, akupun terdiam.
*terima kasih pak agus atas kesempatan berharganya, saya tidak akan pernah lupa pertemuan itu..
Sehabis mengucapkan salam yang kedua, ia pun menjabat tanganku kembali untuk kedua kalinya. ba'da dzikir dan doa, akupun melirik jam tanganku, ah ternyata sudah jam 8.00 malam, tak terasa waktu berlalu. Akupun mengalihkan pandang kembali kepada sosok pria paruh baya yang sholat bersamaku ini. Dari raut wajahnya, umurnya mungkin sekitar 40-50 tahun-an. Dan dari penampilannya, kemungkinan ia pegawai baru, sama sepertiku yang belum mendapatkan seragam, tapi mungkin berbeda divisi, sepertinya ia dari desk training (red.divisi=desk). Ia pun memecah keheningan dari lamunanku.
"assalamualaikum, saya agus, mas di BSM juga ya?? " aku jawab " iya pak saya di bsm juga, nama saya tegar, bapak juga di bsm kan?" ia hanya menganggukan kepala. "sudah lama di bsm pak?", " sama lah kayak mas ini, sama2 pegawai baru, kita kan sama-sama belum dapat seragam..haha..saya jadi pelaksana di bagian operasional training" wow..ia sepertinya dapat membaca pikiranku, suasana pun seketika menjadi cair dengan riuh rendah tawanya. Dan sejak itu percakapan panjang penuh hikmah pun dimulai.
Ternyata ia tinggal di bekasi, walaupun sedikit lebih dekat ke jakarta timur, ia tinggal di jatibening. Ia bercerita bahwa ia mengenal beberapa orang di divisi human capital, dan ia pun menyebutkan beberapa nama. Sepanjang lorong menuju lift ia terus bercerita dengan sesekali menerima sapaan dan salam dari beberapa orang yang berpapasan bersama kami. Aku sedikit bingung, nampaknya setiap orang kenal dengannya, padahal statusnya sama2 pegawai baru seperti ku.
"dulu saya pernah mengerjakan proyek training dengan beberapa orang BSM, waktu itu bapak hanawijaya dan pak yuslam masih jadi kabag.. haha.. gak nyangka sekarang mereka udah jadi direktur.. waktu itu saya masih di tazkia, saya sama-sama mendirikan tazkia bersama pak antonio (panggilan untuk syafii antonio pakar ekonomi islam), tapi sayang sekarang udah dijual" hm.. beberapa penjelasannya ini nampak memberikan jawaban mengapa ia cukup dikenal di BSM, dan nampaknya ia bukan orang sembarangan.
Pintu lift terbuka, dan kamipun keluar menuju tempat absensi elektronik. di sepanjang perjalanan ia bercerita tentang kondisi bangsa ini yang sudah semakin semrawut, dan penuh dengan kebusukan. "ah.. omong kosong itu kalau PPATK tidak tau kemana aliran dana century mengalir. Mereka takut kena getahnya, saya yakin banyak pejabat terlibat dalam aliran dana itu.." dengan mata berapi-api ia bercerita, sembari sesekali melirik ke arahku seolah berkata "hei, negeri ini nanti menjadi tanggung jawabmu, masa depannya tergantung bagaimana kamu berjuang saat ini".. aku pun berpaling dari pandangannya, fiuh.. iya pak, saya sadari itu, tapi beban ini terasa berat sekali.
Setelah absen, kami masih sesekali berpapasan dengan beberapa orang. Kali ini tak sekedar berpapasan, salah seorang yang menyapa pak agus seolah menunjukkan wajah keheranan dan berucap " loh?? pak Agus sekarang di BSM toh??" dengan tersenyum ia hanya menjawab. aku pun semakin penasaran dengan sosok pak agus ini.
Sepanjang jalan thamrin mulai sepi, hanya beberapa pengendara saja yang masih berlalu lalang, tak sampai lima menit, kendaraan yang kami tunggu pun datang, kebetulan pak agus satu jurusan kendaraan denganku, hingga akhirnya ia bisa kembali bercerita. "tadi itu namanya pak fauzi, salah satu kadiv di BSM, hehe.. gak nyangka dia masih kenal dengan saya, padahal udah bertahun-tahun lalu saya ketemu dia, dulu waktu dia masih jadi dirut bank ifi" akupun termenung, mencoba menebak siapa sebenarnya pak agus dulu. Sepertinya ia menangkap wajah keherananku dan kembali berucap "saya mencoba sedapat mungkin menghindar dari orang-orang di sini (baca: bsm), bukannya malu atau minder, tapi terkadang beberapa orang tidak dapat menerima kondisi saya sekarang ini yang jadi pegawai biasa. padahal bagi saya, apapun pekerjaannya sama saja, tapi yang penting bagaimana ininya " sembari menunjukkan jarinya ke arah dada.
"hidup itu harus terus berjalan gar, dan terkadang kita berada di atas dan kadang kita berada di bawah. Dulunya saya gak menyangka kalau beberapa rumah, mobil, dan harta yang saya peroleh ini bisa hilang begitu saja. Semuanya habis untuk biaya rumah sakit sejak saya kecelakaan 5 tahun lalu. Saya sempat koma 3 hari, kaki saya, dan tangan patah. butuh pemulihan 3 tahun untuk saya kembali normal berjalan" sembari tersenyum ia bercerita seolah semuanya hanya kejadian biasa saja. "dulu saya dirut di salah satu bank, saya gak usah nyebut lah bank nya apa.. hehe.. tapi yang jelas saya bekerja bukan untuk kebanggaan dan pandangan orang. Semuanya untuk keluarga dan tanggung jawab kepada Tuhan yang masih memberi saya hidup."
Dan sepanjang perjalanan, akupun terdiam.
*terima kasih pak agus atas kesempatan berharganya, saya tidak akan pernah lupa pertemuan itu..
Subscribe to:
Posts (Atom)