Kepulan asap membumbung tinggi di langit-langit. Putaran kipas angin yang menempel di atasnya sedikit membantu memperjelas suasana di dalam ruangan itu. Terlihat samar dua orang yang duduk saling berhadapan di sebuah meja kecil berbentuk segi empat.
"Berapa orang yang bersamamu?"
"dua orang, mereka menunggu di luar"
"kau bawa uangnya?"
"ya, sesuai kesepakatan, 10 milyar, sisanya akan kuserahkan bila kau selesaikan misimu"
"aku tak terbiasa bertransaksi lewat kata-kata, aku ingin melihat bagianku itu sekarang"
Wayan pun menghidupkan lampu di atas meja dan mengacungkan jari ke arah lawan bicaranya. Aku tak biasa di dikte seperti ini, sembari bergumam di dalam hati, lawan bicaranya itu memijit tombol ponsel. "Toni, James, Bawa koper itu ke dalam ruangan, tak usah banyak bertanya, lakukan sekarang. Tuut..mereka akan datang beberapa saat lagi, sekarang mari kita bicarakan.."
"wohoho..Alex, Alex, tunggu dulu kawan, jangan terburu-buru, santai saja, mari kita menghisap cerutu untuk menenangkan diri, nampaknya kau sedikit tegang, Pemilihan masih akan berlangsung beberapa bulan lagi, dan kupastikan kau akan mendapatkan apa yang kau inginkan"
Wayan membuka kotak besi berwarna perak di atas meja. Sebuah cerutu kuba yang beraroma unik di berikannya pada Alex. "ini ambil lah, redakan keteganganmu, aroma Cerutu Robaina tak pernah mengecewakan hati yang gundah." ia mengulurkan tangannya, terlihat menjepit cerutu yang menyala kemerahan. Alex menyambut cerutunya dan membakar cerutu yang seketika langsung dihisapnya dalam-dalam Ah. Nikmatnya
"cerutu Robaina, tak pernah kehilangan daya magisnya, tapi tetap saja, kretek dalam negeri tiada duanya.. haha.."
Mereka pun tertawa sebelum akhirnya dihentikan oleh suara ketukan pintu. Wayan memberikan instruksi dengan gerakan tangan pada anak buah yang sedari tadi berdiri dibelakangnya. Pintu terbuka dan sekelebat bayangan muncul dari luar ruangan
"Toni, James, letakkan koper itu di atas meja" Alex memerintahkan dua anak buahnya meletakkan dua koper itu di atas meja. dengan lambaian tangan ia menyuruh anak buahnya kembali ke luar ruangan.
Alex memegang koper pertama lalu memasukkan beberapa kode pada kunci pengaman di koper itu, hal yang sama dilakukannya pada koper kedua."ini, 5 milyar di koper pertama, dan sisanya ada di koper kedua" Wayan pun terkesima Ternyata orang ini benar-benar serius. Ia mencoba memegang uang itu namun dihalau oleh Alex yang langsung menutup koper itu "masih ada hal yang lebih penting untuk kita bicarakan selain melihatmu memegang uang-uang ini" Alex menutup koper itu dan meletakkannya samping kursi.
Wayan pun membalas dengan posisi duduknya yang kembali tegak dan siap untuk berdiskusi
"baik, jadi ini kondisinya, Kau berniat menjadi bupati di daerah Timur Indonesia, dengan mengklaim bahwa itu adalah tanah nenek moyangmu, walaupun kutahu bahwa kau tak pernah sama sekali berkunjung kesana, dan ayahmu hanya menumpang lahir di tanah itu. tapi tenang, itu sudah cukup, orang-orang itu tak terlalu memikirkan asal-usulmu"
senyum kecut terpancar dari wajah Alex. " lalu sejauh ini yang engkau andalkan adalah ketenaranmu dulu sebagai artis dan dukungan beberapa partai politik gurem. Sejujurnya, dua hal ini tak punya andil signifikan dalam pemilihan nanti. Ketenaranmu dulu telah dicoreng oleh tingkah polahmu yang dinilai negatif oleh masyarakat, skandalmu dengan beberapa wanita sudah cukup menghapus citra positifmu dulu sebagai aktor. tapi tenang, masyarakat indonesia cepat lupa, dengan beberapa teknik pencitraan, kau akan segera muncul dengan sosok baru, aku akan atur kemunculanmu lagi di media, dengan wajah baru, dengan citra baru." Wayan dengan lugas memaparkan strategi yang membuat Alex terpukau.
"Lalu selanjutnya, partai politik, kalau kau hanya mengandalkan dukungan dari partai-partai itu, lebih baik kau rapikan kopermu dan menarik diri dari pencalonan, kau hanya membuang-buang uang. Aku ada solusi, aku akan mencoba menghubungi petinggi beberapa parpol itu dan membuat kesepakatan yang saling menguntungkan dengan mereka, tapi ingat ini tidak murah, setidaknya kau harus mengeluarkan 10 hingga 15 milyar lagi untuk memenangkan tender dengan mereka. Ongkos politik tak murah kawan. Banyak orang yang rela mengeluarkan uang berapapun juga untuk jadi pemimpin di negeri ini."
"oke, dua masalah sedikit banyak telah terpecahkan, citra mu dan kendaraanmu alias partai politik, sekarang mari kita bicarakan strategi kampanye. masa kampanye masih beberapa bulan lagi dan tujuan kita adalah membuat orang sebanyak mungkin memilihmu dalam pemilihan nanti. Oleh karena itu kita butuh sebuah titik tolak, sebuah tipping point agar pesan kampanyemu cepat menyebar bagai sebuah epidemi, boom, secara seketika orang-orang akan memilihmu" Dengan berbinar, Alex menyimak penjelasan luar biasa dari Wayan. orang ini sungguh brilian
"Menurut Gladwell, Ada tiga kaidah dalam merancang sebuah 'epidemi', Law of The Few (hukum yang sedikit), Stickiness (faktor kelekatan), and Power of Context (kekuatan konteks), tapi untuk sekedar kampanye kita cukup menggunakan kaidah pertama Law of The Few." dengan menghela nafas ia menutup penjelasannya yang panjang lebar. Akan kubuat orang ini terpukau
"Dalam mengabarkan pesan kampanye, kau tak harus membuat poster dan spanduk yang memakan uangmu sia-sia. Kau harus cerdas menggunakan strategi penyampaian pesan yang efektif, Law of the Few salah satunya. sebelumnya aku ingin bertanya padamu, berapa orang kira-kira yang kau butuhkan untuk menjadi tim kampanyemu? "
Alex berpikir sejenak lalu menatap Wayan " sekitar 500 orang?"
"hahaha.. dengan 500 orang kau hanya membuat masalah baru, orang-orang itu nantinya hanya akan menuntutmu terus dengan permintaan mereka yang beragam sebagai bentuk balas jasa mereka. kau hanya butuh sekitar.. hm.. 20 orang sebagai tim mu, dan orang-orang itu harus terdiri dari 3 tipikal atau karakter yang berbeda."
Alex terkejut dengan pernyataan Wayan. 20 orang? tidak mungkin
"tipikal pertama, sang penghubung, the connector, orang-orang yang berfungsi sebagai penghubung dengan orang-orang yang akan menjadi pemilihmu. Ia menjadi sebuah poros jaringan dari para pemilihmu, orang yang menjadi tempat singgah dari sebagian besar pemilihmu. Orang-orang ini cakap dalam menjalin hubungan pertemanan, orang yang cepat akrab dan mampu mengingat dengan persis, siapa saja orang yang menjadi temannya.Tak perlu menjadi teman yang akrab, cukup tau dan mengenal nama serta nomor yang dapat dihubungi. bila orang ini kau dapatkan, dengan seketika, pesan yang akan kau sampaikan akan cepat menyebar melalui jaringan pertemanan mereka. Bila kau tak mampu mencari orang-orang ini, aku dan tim ku akan dengan cepat menyusuri siapa-siapa saja yang menjadi the connector di daerah pemilihanmu"
"tipikal kedua, sang bijak bestari, the mavens, orang-orang yang menjadi pusat informasi dan mengetahui segala seluk beluk karakter budaya dari para pemilihmu. Orang ini dengan akurat dapat memberikan informasi terkini dan terbaru, bila kau ingin mendapatkan informasi, dari mereka lah kau meminta"
"tipikal ketiga, sang penjaja, the salesman, orang-orang yang menjajakan barang daganganmu, alias pesan kampanyemu. orang yang sangat persuasif, dan dengan cukup meyakinkan bahwa kau lah yang patut menjadi bupati."
"maka, ketiga kombinasi ini yang akan menjalankan tugasnya menyampaikan pesan kampanyemu, memastikan tiap orang yang ada di kabupaten itu memilihmu dan tertarik padamu. itu mungkin sekilas strategi yang dapat kupaparkan, lebih detailnya, kita bicarakan ditempat yang lebih beradab, ruangan ini nampak tidak bersahabat lagi bagi kita" terlihat asap cerutu tak mampu lagi dihalau oleh kipas angin.
Alex takjub dan terpana dengan pemaparan Wayan. Ia akan menjadikan ku seorang bupati.
Wayan berdiri dari kursi dan menyambut Alex untuk keluar dari ruangan itu, Anak buah Wayan telah bersiap untuk membukakan pintu. Dalam hati Wayan puas dengan presentasi singkatnya di depan Alex. Nampaknya akan ada bupati baru di timur Indonesia, Tuhan Maafkan aku
Robert Langdon kembali pada petualangan semalam suntuknya, menyajikan para pembaca dengan ketegangan penuh teka-teki ala Dan Brown. Seperti cerita-cerita sebelumnya, Dan Brown menyelami misteri organisasi kuno yang berdiri berabad-abad yang lalu, setelah membahas tentang illuminati dan biarawan sion, kini Dan Brown menggali misteri persaudaran mason atau freemasonry dalam The Lost Symbol.
The lost symbol, membahas persaudaran mason, segala symbol dan teka teki pemecahan misteri. Di awali dengan undangan menjadi pembicara dari seorang filantropis petinggi mason, peter Solomon, Langdon memulai malamnya yang panjang di Washington DC. Namun secara tak terduga, undangan tersebut berubah menjadi bencana. Langdon tertipu karena Peter sama sekali tak mengundang Langdon untuk menjadi pembicara. Penipu itu menawan peter dan memaksa Langdon mengikuti permainannya, jika tidak nyawa peter menjadi taruhannya.
Petualangan pun dimulai, melintasi relung-relung terdalam kota Washington dan tempat-tempat bersejarah di ibukota amerika serikat, disertai pemaparan sejarah dan ilmu pengetahuan yang mungkin terdengar asing dimata kita, Ilmu noetik, segi empat ajaib serupa Sudoku, dan beberapa ritual mistis mason. The Lost Symbol menyajikan ketegangan di setiap Babnya.
Memompa rasa penasaran hingga sampai sepertiga bab terakhir, cerita berakhir anti klimaks, pengungkapan rahasia ritual inisiasi mason hingga tingkat 33 yang dianggap sebagai ancaman nasional oleh direktur OS Inoue Sato terlalu berlebihan menurut saya, karena walau tak pernah tertangkap langsung lewat kamera, telah menjadi rahasia umum bahwa inisiasi mason memang mengerikan.
Selain itu pemaparan panjang setelah Mal’akh terbunuh terasa membosankan bagi saya, seolah Dan Brown ingin menyampaikan sebuah pesan tentang arti sebenarnya dari persaudaraan mason. Hingga saya pun berpikir bahwa freemasonry menyewa dan brown untuk mengklarifikasi pemahaman sebagian besar masyarakat atau mungkin saja dan brown sendiri menjadi bagian dari anggota mason.
Entahlah, yang jelas bagi saya petualangan Langdon sebelum2nya lebih menantang dibandingkan kali ini. Pemaparan misteri mason tak terlalu menghebohkan bagi saya dibandingkan pemboman vatikan dengan anti materi ataupun pengungkapan keturunan yesus kristus.
Secara keseluruhan novel ini bagus, membuka mata kita akan pemahaman baru tentang ilmu noetic, dan persaudaraan mason, walaupun terkadang bagi saya pribadi terlalu dipaksakan oleh penulisnya.
Ku menunggu dan penantianku tak sia-sia. Beberapa hari, lebih tepatnya beberapa bulan ini ia datang dan menepati janji. Walau sesekali terkadang sosoknya tak muncul di halte ini, yang tak pernah kutanya kenapa. Karena pertemuan dengannya menghapus berbagai pertanyaan di benakku. Kami saling bercerita banyak hal tentang mimpi, harapan, Indonesia, dunia dan juga Islam. Ia banyak bertanya pada ku tentang ihwal keagamaan.
"wow.. kamu dari pesantren?? gak keliatan bekasnya ya?? hehe.. "
" haha..ada nih, mau liat? bekas tato kayak di kuil shaolin gitu, tulisannya, mantan anak pesantren, huuuh.. dasar nih anak, ngeledek aja",
"hehe.. abisnya gaya mu itu gak sesuai sama streotype saya tentang anak pesantren loh..kamu tuh beda," Terselip sedikit kekaguman dari wajahnya, entah benar atau tidak, tapi bagiku itu sudah cukup membuat hatiku berbunga.
"hm.. saya pengen sedikit banyaknya menjauhi pola dan kebiasaan ketika di pesantren, saya jengah dengan kehidupannya, saya pengen coba perpektif lain dari ilmu pengetahuan, walaupun saya tahu, di dalam Islam pun mencakup keseluruhan Ilmu yang ada di dunia". Ah.. Tak pernah terpikir oleh ku memberikan alasan sebijak ini pada seseorang. padanya ku menjadi berbeda.
Sejenak pertemuan yang sesaat itu memberikan sedikit warna di hari-hari ku, Aku yang menginginkan hidup yang lebih berwarna di kampus, ternyata mendapatkannya dari seorang wanita muslimah yang haus akan ilmu Agama.
" eh udah dulu ya, bis ku udah dateng nih, kapan-kapan kita lanjutin lagi.. Assalamualaikum .. " Ia pun berlalu, dialog sesaat yang selalu di akhiri dengan kalimat singkat. Akupun kerap kali lupa bertanya siapa namanya. Seolah ada sesuatu yang menahanku untuk menanyakan siapa dirinya. Apapun yang terjadi pertemuan selanjutnya ku bertekad untuk menanyakan namanya, Harus.
***
Esok hari kutunggu ia seperti biasa, di tempat ini, di halte ini. Lama ku menunggu, ia tak kunjung muncul. Waktupun berlalu hingga ku harus beranjak pergi karena jam kuliahku akan segera di mulai. Tanpa kecewa kutinggalkan halte itu, karena kutahu, hal ini biasa terjadi.
Keesokan harinya, hal yang sama kulakukan. Menunggunya di halte ini, namun ia tak lagi datang. Begitupun keesokan harinya, dan seterusnya sampai beberapa bulan, ia tak pernah muncul di halte itu. Ia seperti di telan bumi, menghilang tanpa jejak. Kekecewaan bersarang di hatiku, ada penyesalan yang dalam kurasa. Ditambah dengan fakta bahwa aku tak tahu siapa namanya, dan dimana fakultasnya. Bodoh, aku pun mengutuki diri. Kenapa aku sebodoh ini , tak satupun identitasnya yang kuketahui, yang kutahu, ia hanya meninggalkan sebungkus tisu padaku. Terselip rapi dalam buku harian. Itu satu-satunya peninggalan darinya.
Fiuh.. Baiklah, ku menyerah, percuma ku menghabiskan waktu mendatangi halte ini, ia takkan datang. Akupun memandang halte itu dari jauh, dan ku menetapkan hati. "ku harus lebih baik lagi, seperti yang ia katakan.." dan akupun berlalu meninggalkan halte itu.
***
Selepas hari itu, aku memutuskan untuk tetap memperdalam ilmu agama yang telah kutekuni selama ini. Tak hanya ingin kutekuni, ku ingin menjadi bagian darinya, menjadi bagian dari perubahannya, dan menjadi bagian dari kebangkitannya. Aku pun mengikuti kelompok-kelompok mentoring di kampus. Di dalamnya aku mendapat perspektif yang luas tentang Islam sebagai rahmatan lil alamin. Ku bahagia menjadi bagian dari setitik perubahan Islam, bersama kawan-kawan ku berusaha menyiarkan Islam pada dunia.
Tak terasa 4 tahun berlalu, dan akupun lulus dari kampus ini, namun masih saja tersisa buah kekecewaan di hati ini. Aku tak dapat menemukannya sekali pun. Dan setelah upacara wisuda, ku kunjungi halte itu. Tak ada yang berubah, kecuali ada sedikit renovasi di sana sini. Aku pun terhenti dan terdiam sesaat, lalu membuka tas dan mengambil buku harianku. Disana terselip 2 lembar tisu yang masih berada di bungkusnya. Tergeletak diam membisu. Disana pikiranku melayang, berdoa dan berharap semoga ia masih mengingatku di suatu tempat.
**
3 Tahun kemudian, di sudut kota Jakarta
"akhi.. antum sudah pantas untuk berkeluarga, kenapa antum tidak berpikir untuk berumah tangga ??" aku pun tersenyum mendengarkan ucapan guruku ini.
"belum ada yang cocok ustadz.. hehe.. " kucoba membalas ucapannya dengan sedikit canda.
"akhi.. antum punya tanggung jawab meneruskan perjuangan, dengan mencetak generasi rabbani yang lebih baik dari kita. Semuanya tidak akan terwujud tanpa adanya keluarga yang sakinah... cobalah tetapkan hati.."
sembari menepuk bahuku ia tersenyum hangat. Ah.. bila ia telah tersenyum seperti ini, aku tak mampu menolaknya. dengan menganggukan kepala aku membalas ucapannya.
"kalau begitu, antum mau ana kenalkan dengan salah satu muslimah murid istri ana? dari informasi yang ana dapat ia muslimah yang baik.. bagaimana? " Ku berpikir lama, sebelum akhirnya ku menyetujui usulannya. "baik kalau begitu, sekarang hari senin ya? bagaimana kalau hari jumat depan kita akan bertemu di tempat ana, jangan sampai lupa ya"
" baik ustadz ane paham, tenang aja, gak bakalan telat.." tanpa semangat kubalas ucapan guru ku itu,hm. hari jumat, semoga menjadi hari yang baik.
***
Hari jumat serasa datang tanpa permisi, ia tiba-tiba datang di hadapanku dengan segala kemungkinan yang ada. Ku tetapkan hati dan membaca basmalah. semoga ini yang terbaik.
sesampainya di rumah guruku yang sederhana, aku disambut oleh anak-anaknya yang lucu dan menggemaskan, aku memang telah akrab dengan mereka, karena seringkali rumah ini dijadikan tempat kami untuk mengaji.
"Assalamualaikum..eh, ibrahim, tangan kamu kenapa?? jatuh ya?"
"Waalaikumsalam gak apa apa kok bang, cuma jatoh dari sepeda, baim kan anak laki-laki, harus kuat, kalau gak kuat gak bisa jadi kayak umar.."Ia pun kembali bermain setelah mencium tanganku. Terdiam ku mendengar celotehannya. Entah apa yang diajarkan orang tua mereka sehingga telah terpatri di benak mereka keinginan untuk menjadi seperti sahabat nabi.
Akupun tersadarkan dari lamunan ketika mendengarkan salam dari dalam rumah..
"assalamualaiku akhi, silahkan masuk, kami sudah lama menunggu antum.. antum tunggu ya, sebentar lagi orangnya datang."
Lama ku menunggu hingga akhirnya ia pun datang, nampak samar dari jauh terlihat dua orang perempuan berjilbab senada, berwarna biru. Lamat-lamat mereka datang menghampiri rumah
ini, memoriku pun seolah kembali berputar ke masa itu, ketika hujan di sore hari. Salah seorang, Jilbab warna biru itu, mengingatkan akan kenangan yang telah lama terendap lama di dalam ingatan. yah, tidak salah lagi, itu dia. Yang lama kunanti kehadirannya, Yang memberikan ku sebungkus tisu.
"Assalamualaikum, ikhwan akhwat sekalian, hari ini kita berkumpul dalam rangka pertemuan yang Insya Allah di ridhoi olehNya, semoga pertemuan ini membawa manfaat bagi kita dan umat ini. nah Aziz, sekarang dari antum dulu, ada yang ingin antum tanyakan padanya?"
"Hm. ada ustadz, hal yang ingin ane tanyakan dari dulu.. "
"loh?? kalian sudah saling kenal toh..wah.. gak nyangka, lalu apa yang ingin antum tanyakan" terlihat muka kami tersipu malu.
"Cukup namanya ustadz, hanya itu" Guruku terdiam dan menatap wanita di depannya. Wanita itu pun menjawab "nama saya Azizah, dan akhirnya saya tahu siapa nama kamu..hal yang ingin saya ketahui sedari dulu sebelum saya pergi, gak nyangka nama kita ternyata mirip. " kata-katanya sedikit tertahan.
"Dulu saya ingin menyampaikan ucapan selamat tinggal padamu, karena akan mengikuti program pertukaran pelajar, tapi ternyata tidak sempat, semuanya serba mendadak, mengurus administrasi ke rektorat pun dilakukan oleh teman." Sembari tertunduk, ia berucap getir.
"Gapapa, ternyata Ia punya skenario yang lebih baik untuk kita, akhirnya Allah mempertemukan kita di tempat yang lebih nyaman dari sekedar halte.. hehe.."
ia tersenyum mendengar celotehanku. Akupun membalikkan badan berusaha mencari tas yang setia menemaniku 5 tahun belakangan, kubuka dan kuambil sebuah buku harian yang telah lama tak tersentuh. Di balik beberapa halamannya yang tersisa, terselip sebuah benda yang selalu ku simpan. Tisu itu masih tersimpan rapi dan bersih dalam bungkusnya. "ini, kamu masih ingat benda ini ?", ia pun mengambil benda itu dengan mata berkaca-kaca, dan tak terasa air mata pun meleleh di pipinya. "Kamu, masih menyimpannya??" terbata-bata ia berucap. "ya, Saya masih menyimpannya, saya tahu kamu membutuhkannya setidaknya untuk membasuh air matamu..." tersenyum, Ia membasuh air mata yang mengalir di pipinya. Sebuah tisu yang dulu pernah ia berikan pada seorang pemuda untuk mengeringkan diri dari kuyupnya air hujan, kini telah kembali padanya dengan cara yang tak pernah ia duga sebelumnya. Ternyata Tuhan memang telah menyiapkan skenario yang indah untuk kami.
"And Among his Signs is this that he created for you wives and husband from Among yourselves. That you may find repose in them. And he has put between you affection and mercy. Verily. In that are indeed signs for people who replace" Arrum : 21