selasar.com |
Tulisan ini juga sudah di publikasikan di situs Selasar.com dengan link berikut ini https://www.selasar.com/politik/ilusi-negara-maritim
Selamat membaca.
**
Ilusi Negara Maritim
Fakta bahwa negara kita adalah negara kepulauan adalah hal
yang tak terbantahkan. Lebih dari 17 ribu gugusan pulau yang membentang luas di
wilayah khatulistiwa menjadi buktinya. Pola pikir bahwa negara kita adalah
negara kepulauan sejauh ini tidaklah menjadi issue yang menarik untuk didiskusikan. Kecuali, dengan catatan
diimbangi penjelasan bahwa diantara keseluruhan wilayah indonesia, bukan
wilayah pulaunya yang terluas melainkan wilayah lautannya yang justru lebih
besar.
Negara kepulauan ataukah negara kelautan? Keduanya bisa jadi
adalah dua sisi yang saling melengkapi karena bila ada kepulauan pasti ada laut.
Namun fakta kembali berbicara, selama 59 tahun indonesia merdeka tak banyak
pengembangan industri kelautan dan maritim yang berkembang di negara ini.
Orde baru yang secara periodik merupakan masa pemerintahan
terlama di indonesia tidak memiliki banyak warisan di bidang kelautan dan
kemaritiman. Selama 32 tahun mereka berkuasa, fokus pembangunan dititikberatkan
pada pembangunan infrastruktur seperti jalan-jalan, gedung-gedung, sarana dan
prasarana yang semuanya berada di darat, sedangkan sektor kelautan belum
mendapatkan perhatian lebih.
Jadi kembali pada diskusi sebelumnya, negara kita adalah
negara kepulauan atau negara kelautan? Dari sisi luas wilayah, pantasnya
disebut negara kelautan atau maritim, tapi dari pola pembangunannya dan
perhatian yang diberikan pemerintah, sepertinya lebih cocok dikatakan sebagai
negara kepulauan. Sebuah ilusi yang muncul saat banyak pihak yang mengklaim
negara ini adalah negara kelautan atau maritim akan tetapi fakta yang ada jelas
menunjukkan bahwa negara ini masih negara daratan atau kepulauan.
Aksi Pemerintah dan Bias
Negara Maritim
Ketidaksingkronan antara klaim sebagai negara maritim dengan
kondisi faktual bahwa negara ini masih berorientasi daratan, baru satu dari
beberapa ihwal mengenai ilusi negara maritim yang dialami republik ini. Tentu
saja dengan catatan bahwa maritim yang dimaksud adalah sekedar memanfaatkan
hasil laut dan belum maritim sesungguhnya yang memandang lautan sebagai wilayah
geografi dan geopolitik.
Ketidaksingkronan tersebut atau kita sebut saja ilusi, berkembang
sedemikian rupa menjadi obsesi yang terkadang mengorbankan banyak hal.
Obsesi tersebut terejawantahkan dalam beberapa program dan aksi
yang kini hangat diperbincangkan oleh khalayak ramai demi menyongsong visi
negara maritim. Pertama mengenai aksi peledakkan kapal nelayan ilegal. Aksi ini
tentu saja mengundang banyak perhatian, selain karena aksi heroik ini jarang terjadi
dan baru-baru ini saja menjadi booming
di beberapa media, peledakkan kapal nelayan ilegal juga dianggap menunjukkan
sikap tegas pemerintah dalam mempertahankan kedaulatan NKRI.
Tapi yang perlu kita tahu ialah, ini bukan kali pertama TNI AL
dan Kementerian Kelautan dan Perikanan meledakkan kapal-kapal nelayan ilegal. Puluhan
tahun silam di tahun 2003, TNI AL pernah menenggalamkan 4 kapal nelayan asing
berbendera Filipina dan beberapa tahun kedepannya milik Thailand, dan Vietnam. Jadi semestinya aksi ini bukan suatu hal yang
luar biasa, TNI AL ternyata sudah pernah dan biasa melakukannya.
Justru yang harus diperhatikan adalah bagaimana dengan
kapal-kapal besar dan canggih yang lebih banyak meraup untung dari perikanan
Indonesia? Jangan sampai fokus kita pada penenggelaman kapal-kapal kecil
tersebut membuat kita lupa dan teralihkan pada sumber masalah yang lain. Alih-alih
membereskan kapal-kapal kecil nelayan yang ada justru membiarkan kapal yang
lebih besar dan canggih mengambil ikan kita secara illegal.
Aksi kedua yang hangat diperbincangkan adalah Tol Laut yang
menjadi andalan pemerintahan Jokowi. Konsep tol laut atau beberapa orang
menyebutnya pendulum nusantara adalah sebuah jalur kapal-kapal laut yang
menghubungkan Pelabuhan-pelabuhan utama di Indonesia dari Medan, Batam, Tanjung
Priok, Tanjung Perak, dan Sorong yang membentuk pola yang menyerupai pendulum.
Jalur ini yang diharapkan mampu dilewati oleh kapal-kapal besar dengan bobot
lebih dari 50.000 Ton dan mengangkut 3200 kontainer sekaligus. Konsep ini
dipandang mampu menurunkan biaya logistik Indonesia hingga 20% karena komponen yang
ada di dalamnya banyak terpangkas.
Besarnya penghematan biaya logistik ini membuat Tol Laut menjadi
primadona. Pelabuhan-pelabuhan di indonesia saat ini mulai berbenah agar kolam
dermaga mereka menjadi lebih dalam sehingga kapal-kapal besar berbobot 50.000
ton dapat masuk. Tidak ketinggalan, pemerintah juga mengalokasikan anggaran
untuk pengadaan 500 kapal baru dari Cina yang siap berlayar untuk mendukung
Konsep Tol Laut ini.
Dari sisi pelabuhan, investasi trilyunan rupiah guna mendukung
Tol Laut sejauh ini sepertinya tidak menjadi masalah, karena dengan skema dan
proyeksi laba beberapa tahun kedepan, investasi di pelabuhan menguntungkan
pemerintah ataupun swasta. Berbeda dengan investasi di area pelabuhan, impor
kapal dari Cina yang sepertinya masih menjadi tanda tanya.
Kapal-kapal yang diimpor dari Cina tersebut diharapkan mampu
memenuhi kekurangan jumlah kapal di Indonesia untuk mensukseskan Tol laut. Lalu kenapa harus import? Dari segi kualitas, industri
kapal dalam negeri sudah dapat bersaing dengan industri perkapalan negara lain.
Misalnya PT PAL, PT PAL sudah mampu memproduksi kapal-kapal berbobot besar
seperti container ship dan cargo vessel yang sampai saat ini sudah diakui dunia
dan memiliki kualitas sangat baik. Jadi agak mengherankan ketika Tol laut yang
digagas bagi kebaikan bangsa ini justru kurang mendukung produksi dalam negeri
dan pemerintah lebih memilih kapal-kapal buatan Cina.
Jika memang alasan yang dipakai karena ketidakmampuan PT PAL
dalam memproduksi Kapal dalam jumlah besar, setidaknya pemerintah secara
periodik dapat memberikan kesempatan bagi PT PAL dalam memproduksi Kapal
tersebut secara bertahap. Karena Tol Laut secara perencanaan baru dimulai 5
tahun mendatang.
Program dan aksi ketiga yang ramai dibicarakan adalah proyek kerjasama
antara Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan Pemerintah Amerika Serikat dan
Kanada dalam hal pemeliharaan eksplorasi laut yang ramah lingkungan dan
sustainable. Secara pribadi sayapun mendukung proyek ini yang diharapkan mampu
meningkatkan pengolahan hasil laut dan peningkatan pendapatan dari sektor
perikanan.
Namun, proyek riset semacam ini terutama dengan pemerintah
Amerika pernah menyisakan kontroversi. Adalah proyek Naval Medical Research
Unit No.2 atau disingkat Namru 2 yang menyisakan masalah. Namru 2 adalah unit
kesehatan angkatan laut Amerika yang pernah berada di Indonesia. Kegiatan Namru
menitikberatkan pada malaria, penyakit akibat virus, dan penyakit menular
lainnya seperti flu burung. Masalahpun timbul lantaran proyek ini dituding
sebagai kedok Amerika Serikat untuk menjalankan misi intelijennya dan ajang
mengembang serta testing sebuah virus
di daerah Indonesia.
Risiko ini yang mungkin harus dicermati lebih lanjut oleh
pemerintah. Risiko menjadi lahan operasi intelijen dengan berbagai dalih
mengatasnamakan riset dan eksplorasi kelautan. Jika kerjasama tersebut memang
sudah terjadi pemerintah diharapkan lebih jeli dalam pengawasan dan kerangka
kerja sama dengan pemerintah asing terutama Amerika sehingga Indonesia tidak
dimanfaatkan seenaknya oleh kepentingan asing.
Ketiga program aksi yang populer tersebut seakan menggambarkan
upaya yang semu jika melulu digunakan sebagai ajang pamer bahwa kita adalah
negara maritim. Karena banyak hal yang sepertinya terlalu berharga untuk dikorbankan
demi predikat negara maritim, dari pelaku industri kelautan seperti PT PAL,
nelayan-nelayan kecil di Indonesia, serta kedaulatan dan kerahasiaan negara.
Visi sebagai negara maritim memang bagus dan layak diperjuangkan, tapi jika
selalu dibayangi oleh ilusi yang nampak bias dari aksi membangun opini,
sepertinya negara maritim yang diharapkan masih jauh dari kenyataan.
No comments:
Post a Comment