Tuesday 16 April 2013

#Khamr : Perihal Tweet Ulil Semalam

Semalam ada kicauan menarik dari salah seorang tweeps di twitterland. Rangkaian kultwitnya ditanggapi beragam dari followernya yang mayoritas merasa 'kegerahan' dengan berbagai opininya, kali ini tentang #miras. Tak banyak tweet beliau yang saya baca, hanya sebagian saja dan itu sudah membuat jidat saya mengkerut, tak heran, alur berpikir khas "sepilis" (sekularisme, pluralisme, liberalisme). Beberapa opininya coba saya tanggapi di tulisan kali ini.

Yang pertama mengenai regulasi miras, menurutnya dalam hal ini kita (baca: masyarakat) harus melepaskan diri dari soal pilihan moral, maka saat umat islam percaya miras haram, itu pilihan moral mereka. Jadi saat membicarakan regulasi miras, maka isu utamanya adalah public safety, bukan urusan halal-haram. Hm.. membaca tweet beliau ini, kok saya menjadi tersenyum ya. Ada beberapa point menarik dari pernyataan beliau ini.

Pertama mengenai apa itu sebenarnya halal haram dan apa maksud beliau tentang 'pilihan moral'. Halal haram itu masuk dalam kategori rule, peraturan, syariah, jalan yang harus ditempuh, dipatuhi dan tidak sekedar simbol moral-immoral belaka. Karena halal itu adalah sesuatu yang boleh dilakukan, dan haram adalah hal yang dilarang untuk dilakukan. Definisi yang beririsan dengan definisi regulasi yang hakikatnya sama dengan apa yang beliau maksudkan, yaitu sama-sama peraturan yang harus dipatuhi. Jadi ada semacam kerancuan berpikir saat beliau memposisikan halal-haram diluar definisi regulasi.

Kedua mengenai term 'mereka' yang beliau tujukan kepada umat muslim. Sebuah statement yang secara tidak langsung menegaskan bahwa beliau berada di posisi outgroup. Tidak masuk bagian dari umat islam, dan tidak ikut-ikutan dengan pilihan halal-haram umat islam. Sebuah pernyataan yang 'wow' yang menyadarkan saya bahwa tak heran beliau begitu mudahnya membuat hal-hal kontroversial karena memang tak ada beban sebagai seorang ingroup, umat islam.

Tweet kedua yang saya cermati adalah mengenai turunnya ayat Alquran yang mengatur tentang khamr. Dalam Alquran memang Allah tidak serta merta melarang pengharaman Khamr, akan tetapi dilakukan secara perlahan satu persatu. Dari pelarangan menjauhi shalat saat mabuk, sampai pengharaman mutlak untuk dikonsumsi.

Yang menarik adalah cara pandang beliau yang menganggap bahwa pelarangan khamr yang perlahan hanya terjadi dalam konteks pertikaian sosial seperti yang tersirat dalam surah Al Maidah 90-91. Jadi kalau tidak menimbulkan pertikaian sosial, khamr boleh-boleh saja dikonsumsi, dan menariknya beliau mengambil contoh dari barat sana saat khamr ternyata tidak menghalangi kemajuan suatu bangsa. Karena banyak bangsa-bangsa yang melegalisasi khamr dan membudayakannya, lebih maju dari berbagai aspek.

Duh.. kok saya semakin tersenyum membaca jalan berpikir beliau ya. Pertama, pengharaman khamr perlahan mengandung hikmah bahwa yang namanya dakwah memang harus dilakukan perlahan, tidak langsung diharamkan. Yang ada jika itu dilakukan, dakwah malah tak berhasil dan orang-orang tersebut terlanjur kabur.

Kedua, mengenai pertikaian sosial yang disebabkan oleh khamr. Memang benar bahwa yang namanya khamr bisa memancing emosi dan perkelahian antar kelompok, karena akal sedang kehilangan kendalinya. Tapi itu tidak serta merta menjadi sebuah indikasi bahwa negara yang melegalisasi dan membudayakan miras dimana disana tidak terjadi konflik sosial dianggap lebih maju dan membuat pengharaman atas khamr menjadi hilang. Karena tak ada korelasinya antara budaya miras, penghalalan khamr, dengan kemajuan suatu bangsa. Duh.. cara berpikir yang aneh.

Lalu tweet lainnya mengenai Alquran dan Hadits yang tidak mengatur sanksi mengenai peminum miras, serta beberapa orang sahabat yang menjadi peminum khamr sebelum masuk islam. Seolah-olah karena tidak adanya sanksi dan budaya sebagian sahabat (sebelum islam datang) sebagai peminum khamr membuat pemakluman bagi perkara keharamannya. Pernyataan yang seakan menjadi pembenaran khamr.

Tapi perlu kita ingat,walaupun sebagian sahabat dulunya peminum khamr, tapi sejak turunnya wahyu yang melarangnya, serta merta para sahabat langsung meninggalkannya. Bahkan menurut sebagian riwayat, jalan-jalan di kota madinah penuh dengan genangan khamr yang dibuang. Selain itu, walaupun tidak ada sanksi tertulis dalam Al Quran dan Sunnnah tentang sanksi peminum khamr, tapi di zaman sahabat sanksi tentang meminum khamr telah diatur.

Contohnya saat Umar menerapkan hukuman cambuk bagi anaknya yang meminum Khamr. Jadi meskipun tidak tertulis secara eksplisit dalam Quran dan Sunnah, para sahabat telah berijtihad dalam menentukan sanksi bagi peminum khamr. Karena para sahabat adalah sebaik-baik Ulama sepeninggal Rasul, karena mereka paling memahami Quran dan Sunnah. Akan sangat sulit menyatukan pandangan jika si pembuat tweet tidak mengakui ijtihad para sahabat. gak bakal ketemu ujungnya.

Tapi memang khamr tidak dilegalkan di dunia, tapi di surga sana. Karena di surga sana, khamr jadi minuman yang halal dan disajikan bagi para penghuni surga. Mungkin itu sebabnya mereka, sepilis-sepilis itu, menghalalkan khamr, karena bisa jadi dunia bagaikan surga bagi mereka. Jadi gak usah heran kalau kelakuan mereka seperti itu.

Monday 15 April 2013

Mari Menulis Lagi..!

Setelah seminggu berlalu (lebih kayaknya), sayapun menyadari bahwa menulis membangun konstruksi berpikir dari lesatan ide serta opini yang ada di kepala. Hal-hal semacam peristiwa, fenomena dan sebungkus informasi yang muncul menjadi stimulus yang asyik tuk diolah. Maka saat aktivitas menulis itu berhenti, ada semacam stagnansi dari sebuah proses perbaikan diri, dan itu sangat mengganggu.

Awalnya saya sekedar ingin melihat perbedaan antara menulis dengan berhenti menulis. Aktivitas yang biasanya dilakukan dibuat hilang untuk sesaat. Harapannya, saya menjadi lebih tahu, apa kiranya yang terjadi saat sesuatu itu hilang. Karena biasanya, yang namanya manusia, baru mulai menyadari hakikat sesuatu saat sesuatu itu sirna.

Dan sayapun sadar bahwa menulis menjadi sesuatu yang penting dalam hidup saya kini. Seminggu (lebih) stop menulis menjadi momen dimana saya dibuat tak berdaya dengan segala informasi yang berlalu lalang. Mengharuskan saya secara tidak langsung untuk menelan saja informasi tersebut tanpa ada hasrat tuk merespon yang biasanya dilakukan dengan cara menulis. Padahal belakangan ini banyak peristiwa dan fenomena yang perlu dikomentari.

Menulis juga menjadi alat bagi diri saya pribadi untuk berbagi ide yang mungkin bermanfaat. Cerdas bersama dengan berbagai komentar dan masukan yang berharga. Tak melulu soal banyaknya pengunjung yang membaca tapi lebih dari itu, semoga tulisan saya bermanfaat dan memberikan inspirasi, setidaknya bagi diri saya yang perlu diberi nasihat oleh dirinya sendiri agar menjadi lebih baik.

Maka kini menulis jadi semacam terapi, untuk saling menasihati dan memberikan inspirasi. Karena menulis adalah respon saat Allah memerintahkan kita untuk membaca.


Thursday 4 April 2013

Harapan Di Atas Harapan

Selalu ada kesempatan tuk berharap. Karena hanya lewat harapan, tiap orang memiliki kesempatan mengais mimpi yang seringkali timbul dalam angan. Seperti saat seorang pengamen jalanan yang bermimpi menjadi seorang penyanyi profesional. Selalu ada harap ditiap usahanya, bahwa suatu saat bisa saja nasib baik berpihak padanya.

Hingga pengalamannya naik-turun angkot, bus kota, dan kereta tidak sia-sia karena tiap kesempatan mengamen adalah ajang unjuk gigi penampilan dan performanya di depan khalayak penumpang. Sampai suatu saat ajang pencarian bakat menjadi titik balik dalam hidupnya dan memang harapan kan selalu ada. Ia mendapat kemenangan berkat hasil usaha dan tentunya kegigihan dalam berharap.

Tapi memang, harapan dan kenyataan tak selalu berbanding lurus. Kadang kala semuanya berjalan mulus hingga tiap harapan yang terselip dalam mimpi dan doa berbuah manis, harapan itu terwujud. Namun tak sedikit pula yang harus merelakan dan mengikhlaskan diri saat harap yang diinginkan tak terwujud sempurna dalam kenyataan. Ternyata tiap usaha, tiap peluh yang keluar dalam usahanya menggapi mimpi tak tergapai indah.

Sebagian orang ada yang merelakan mimpinya pergi melayang, menyerah pada kondisi yang tak memihak dan menganggapnya sebagai nasib buruk. Harapannya putus, seolah tak tahu lagi bahwa terbentang banyak harap di tiap kesempatan yang datang. Lain hal dengan sebagian yang lain, dimana mereka menginsyafi bahwa selalu ada harap di tiap kondisi.

Karena harapan kan selalu ada, karena harapan tak mengenal kata menyerah. Harapan tertinggi yang sempurna atas segala jerih payah yang selama ini tak kunjung menuai hasil. Jika memang satu harap tak terwujud, masih ada harap yang lain, jika belum juga, harap itu masih ada, terus berharap sampai tak terhitung jumlahnya. Hingga nantinya, konsistensi berjuang dalam tiap harapan mencapai titik tertinggi, penilaian yang sempurna dari Tuhan semesta alam. Harapan di atas harapan.


Wednesday 3 April 2013

Trotoar Jalan



Sesekali mengarahkan pandang ke trotoar jalan mungkin saja memberi perspektif berbeda pada diri kita dalam melihat dunia. Tak melulu soal siapa dan bagaimana seseorang berpacu di keramaian jalan raya karena ada kalanya melambat berjalan di sebuah trotoar menjadi sesuatu yang menyenangkan tuk dilakukan.

Trotoar jalan kini memiliki banyak fungsi. Yang awalnya digunakan para pejalan kaki kini beralih peran menjadi tempat berjualan para pedagang, tempat berkumpulnya anak-anak jalanan, dan sesekali menjadi jalur lintasan motor saat kemacetan muncul di sepanjang jalan.

Tak mengapa jika kini fungsi utama trotoar lambat laun teralihkan, karena memang hanya trotoar jalan yang menerima mereka dengan kesediaan hati sepenuhnya. Dikala jaminan berusaha dan berniaga tak lagi jelas datangnya, merekapun mengaisnya di daerah tempat orang-orang memperhatikan mereka, di tempat orang-orang berlalu lalang. Dikala hangatnya keluarga dan rumah tempat bernaung tak lagi ada, trotoar jalan memberikan tempat bagi anak-anak jalanan menunjukkan keberadaan mereka. Di saat kemacetan parah mulai muncul di sepanjang jalan, trotoar pun menjadi alternative para pengendara motor yang frustasi dengan kondisi jalan yang semrawut.

Mungkin bagi beberapa orang mereka-mereka ini hanya mengganggu para pejalan kaki. Yang semestinya mendapatkan hak untuk dapat menikmati kenyamanan berjalan kaki. Tapi tak dapat dipungkiri saat berjalan kaki dan melambatkan diri seorang pejalan kaki dapat melihat dengan jernih kondisi yang ada disekitarnya. Mencoba memberi makna bahwa ternyata ada hal-hal terpinggirkan yang tak dapat ditangkap kala melajukan kendaraan di jalan raya yang serba cepat.

Jadi tak selamanya bersungut-sungut itu tepat, kala trotoar makin ramai dengan pedangang, anak-anak jalanan, atau bahkan pengendara motor yang nekat. Karena ternyata negeri ini belum dapat memberikan tempat bagi mereka hingga terpinggirkan sampai di tepi trotoar jalan.

Tuesday 2 April 2013

Polisi Tidur



Sungguh lucu melihat polisi tidur di tikungan jalan depan rumah nenek saya ini. Mungkin karena trauma dengan suara bising dari motor dan mobil yang melintas akhirnya mereka pun membuat polisi tidur sebanyak tujuh buah dengan jarak yang tak sampai 2 meter antara satu polisi tidur dengan polisi tidur yang lainnya. Sudah dapat dibayangkan bagaimana ungkapan hati para pengendara yang lewat di jalan itu, entah sumpah serapah, atau sejenak bersabar sepenuh hati, tapi yang jelas, melintas di jalan itu, sungguh sangat menyebalkan.

Mungkin bagi saya pribadi tak terlalu masalah mengendarai motor di jalur polisi tidur semacam itu, tapi apa jadinya jika ada beberapa diantara mereka yang melintas di sana dihadapkan pada kondisi terburu-buru, panik, atau mungkin diantara mereka ada ibu-ibu mengandung dan hamil tua. Entah mengapa, sedikit saja ketenangan mereka terganggu, membuat egoisme merajai akal pikiran dan tanpa pikir panjang membuat tanggul besar dengan jarak yang berdempetan.

Tapi bisa saja mereka yang memiliki rumah di sepanjang jalan itu, memiliki trauma tersendiri yang membuat mereka kalap dan membuat tanggul polisi tidur sebanyak itu. Karena mungkin sudah beberapa kali peringatan untuk tidak melaju cepat di di jalan itu hanya ditanggapi santai dan tak dianggap oleh para pengendara, padahal jelas-jelas papan peringatan telah menuliskan semuanya “jangan ngebut, hati-hati banyak anak kecil” tapi tetap saja hal itu tak ada pengaruhnya.

Maka tak heran, mereka pun meminta bantuan polisi, menghentikan laju kendaraan yang melaju cepat. Karena biasanya dinegeri ini yang namanya polisi memang identik dengan aktivitas memperlambat kendaraan yang melintas, jadi wajar saja jika tanggul tinggi sekalipun yang berfungsi tuk mengurangi kecepatan kendaraan dinamai dengan sebutan polisi tidur. Hehe.

Bah.. apapun alasannya, tetap saja yang namanya polisi tidur tak dapat seenaknya dibuat dan dibangun. Pertama, sudah ada peraturan yang mengatur tata cara mendirikan polisi tidur, hingga tak dapat sesuka hati membangun polisi tidur di tengah jalan (coba cek keputusan menteri perhubungan No.3 tahun 1994, silahkan googling). Lalu yang kedua, jalan di depan rumah anda bukan milik anda, ia milik umum yang kebetulan berada di depan rumah anda. Jadi sungguh mengherankan saat beberapa orang dengan santainya mendirikan polisi tidur seenak udelnya.

Mungkin pengaruh budaya, atau mungkin karakter, karena polisi tidur yang tak beraturan begitu banyak di kota ini. Mungkin masing-masing kita harus kembali merenung dan menginsyafi bahwa egoisme tak tertahankan membuahkan polisi tidur yang disebabkan oleh para pengendara egois yang tak tahu aturan dan kurang ajar.

Monday 1 April 2013

Rahasia Umum



Ada hal-hal di dunia ini yang boleh dibicarakan di muka umum, dan ada hal-hal yang tabu diucapkan di depan khalayak ramai. Beberapa hal boleh diucapkan sesukanya, dan beberapa hal cukup diketahui saja, tanpa perlu diungkapkan lewat lisan. Terlebih saat hal tersebut disampaikan oleh seorang tokoh masyarakat, yang sepertinya wajar tuk diucapkan menjadi berbahaya saat dilisankan.

Seperti penyerangan LP Cebongan di Sleman Yogyakarta yang terjadi beberapa waktu lalu. Mungkin beberapa orang nampak menangkap bahwa bahwa inti permasalahannya adalah adanya upaya beberapa oknum TNI yang berupaya membalas dendam atas terbunuhnya rekan mereka oleh beberapa tahanan di LP tersebut.

Entah benar atau tidak, yang jelas kesan yang timbul seperti itu. Orang-orang bersenjata lengkap, terlatih, dengan gerakan komando khas tentara, itulah ungkapan beberapa saksi mata yang melihat langsung kejadian. Maka tak heran opini yang tergiring kini adalah TNI tak ubahnya preman jalanan yang membabi buta menghabisi lawan yang mengancam mereka.

Tapi sekali lagi, itu opini yang berkembang, dan bebas berkeliaran di tengah masyarakat. Sesuatu yang berbeda saat ada seorang tokoh, anggota TNI, atau anggota Polisi menyampaikan opininya di depan media. Tentunya mereka akan sangat berhati-hati dan tak mudah menyepakati informasi yang kini tersebar di masyarakat. Sebaliknya, mereka akan dengan basa basi politisi normatif mengatakan bahwa penyelidikan, investigasi lebih lanjut, praduga tak bersalah, merupakan hal-hal yang perlu dikedepankan.

Padahal akan sangat menarik jika beberapa tokoh menyuarakan apa yang kini berkembang. Setidaknya menyadarkan masyarakat bahwa sebesar apapun hukum dan peraturan di Negara ini melindungi mereka, tetap saja unsur dan benih premanisme masih mengakar di benak beberapa orang di Negara ini. Bahkan untuk sebuah instansi pelindung macam TNI dan Polri sekalipun.