Sunday 20 November 2011

[FF] A Letter from Jannah.

Ia pun mulai menulis

Bismillah
Aku tak tahu, apakah karena amalku atau memang Allah memberikan Rahmat pada siapa saja yang dikehendakiNya. Tapi satu yang pasti, Aku tahu persis siapa diriku sesungguhnya.


Aku bukan muslim yang 'taat taat' amat, kalau dibandingkan dengan saudaraku yang itu (ia sedang duduk bertelekan permadani di bawah pohon apel yang rindang), mungkin aku tidak ada apa apanya, dia sudah jelas, cap kesholehan seperti sudah tercetak di dahinya.

Tapi kalau Aku? sholat shubuh saja terkadang telat, sholat malam pun tak semalam suntuk, shodaqoh pun jarang jarang, puasa kalau ingat. Aku pun paham, amal yang dicintai Allah adalah amal yang berkesinambungan walau sedikit, tapi apa daya, terkadang karena satu dan lain hal, Aku tak rutin mengerjakan amalan itu.

Seperti saat Aku dulu berhasil mengerjakan full sholat malam selama 3 bulan, wah bahagianya, tergambar betapa betapa besar rahmat yang mungkin kudapatkan dariNya. Tapi di suatu saat, Aku lalai, tertidur dan bablas sampai adzan shubuh. Awalnya Aku kecewa dengan diriku, mengapa amalan yang mulia itu sampai terlalaikan, Namun Akupun berkaca diri. oh mungkin Ia menegurku dengan kelalaian, agar benih kesombongan di hatiku tak tumbuh subur dan mengakar. Tak pantaslah Aku menyombongkan diri dengan amalku, sempurnanya Amal mutlak kehendak dariNya. Akhirnya pun Aku bersyukur dan memaknai kejadian ini sebagai bentuk kasih sayangNya padaku. dan Akupun memulai lagi, mencoba konsisten dalam qiyam di malam hari.

hm.. disana, dibalik bukit itu, terdapat sebuah Istana, Ia yang maha kuasa memberikannya untukku. Aku pun menebak nebak, sebab apa aku mendapatkan istana itu. Tak butuh waktu lama, Ia memberi tahu bahwa tiap penghuni tempat ini, layak mendapatkannya. Akupun tak henti-hentinya bersyukur, betapa Ia memuliakanku dengan Istana yang megah itu, tapi bagiku, istana itu tak berarti apa apa dibandingkan sebuah kenyataan, ternyata Ia ridha terhadapku, ah betapa senangnya, ternyata cintaku padaNya tak bertepuk sebelah tangan.

Dulu, aku berharap amalku akan menyelamatkanku dan membuatku bahagia disana kelak. Maka tak henti-hentinya aku beramal sholih dan mengharapkan pahala yang banyak. Namun lambat laun, kurasakan lelah yang sangat, jemu yang menyerang, dan kebosanan pun muncul. Apa gerangan yang terjadi? apakah imanku sedang turun? ataukah ini biasa terjadi pada pengamal sholih yang lain?

Akupun mencoba melihat pada sosok ibadurahman di zaman Rasulullah, Sahabat Radhiallahuanhum. Apakah mereka juga pernah bosan? apakah mereka pernah jemu? dari buku dan informasi yang kudapat, tak ada rasa itu pada diri mereka. Lalu mengapa mereka tak lelah dan tak jemu? apa sebabnya? apa karena mereka hidup di zaman rasul? tapi mengapa para salafushalih yang lain di kalangan tabiin, tabiut tabiin bisa seperti mereka?

Lalu kudapatkan sebuah kisah, tentang Sahabat Umar Radhiallahuanhu, Alfaruq dan khalifah terjaya dalam sejarah Islam. Dalam sejarah hidupnya, Umar tak henti-hentinya merasa khawatir dan resah dengan amal-amalnya, disatu sisi berharap amalnya diterima, dan di sisi yang lain takut amalnya tertolak. Padahal ia termasuk orang yang dijamin masuk surga. Kalau aku jadi Umar mungkin aku bahagia dijamin surga, tapi ia malah khawatir, seolah tak begitu saja menerima berita itu. Mungkin baginya kabar itu hanya sebagai penghibur semata, karena sesungguhnya ia malah semakin rajin beribadah. Ah.. baginya berita itu tak lebih dari sekedar kabar, karena ia takkan pernah tahu apakah tuhannya ridho dan cinta padanya sebelum ajal menjemput dan jasad bersimbah tanah.

Pantas saja Umar semakin taat, baginya beramal sholih itu semata mencari keridhoan Tuhannya, mungkin ini yang disebut ikhlas. Semakin banyak ia beramal sholih, ia pun berharap tuhannya makin ridho padanya. Tentu saja, beramal seperti ini lah yang membuat Umar tak jemu pada tuhannya, apalagi bosan, yang ada malah kecintaan yang makin mendalam. Baginya ridho dan cinta dari Tuhannya adalah semata yang ia harapkan.

maka sejak saat itu, akupun mencoba meniru Umar, tak ada salahnya kan meniru seseorang? apalagi orang sekelas Umar. Mencoba beramal dengan harap dan ikhlas, beramal yang diiringi keresahan. Berharap cintaku berbalas, dan Ia pun membalas dengan keridhoanNya. Semakin lama, semakin nikmat yang kurasa. Ya Rabb, betapa yang hamba harapkan adalah RidhoMu.

Suatu saat, kepastian itupun datang menjemput. ia datang dengan wajah tersenyum, betapapun tenangnya saat-saat itu, tapi bagiku, tetap saja saat-saat itu adalah saat-saat yang tak terkira sakitnya, tak pernah kubayangkan akan seperti ini perihnya.

hm.. kini, Aku tak tahu apakah kalian disana bisa membaca surat ini, tapi kuyakin, tiap saat kehidupan kalian disana, maksimalkan untuk meraih cintaNya, karena sesungguhnya, Ia adalah tujuan kita. Allahu ghoyatuna.

Sang penghuni pun memasukkan kertas itu pada sebuah amplop dan disimpannya di suatu tempat. Surat itu tak pernah terkirim.