Saturday 27 February 2010

Sebungkus Tisu itu .. (3)

Ku menunggu dan penantianku tak sia-sia. Beberapa hari, lebih tepatnya beberapa bulan ini ia datang dan menepati janji. Walau sesekali terkadang sosoknya tak muncul di halte ini, yang tak pernah kutanya kenapa. Karena pertemuan dengannya menghapus berbagai pertanyaan di benakku. Kami saling bercerita banyak hal tentang mimpi, harapan, Indonesia, dunia dan juga Islam. Ia banyak bertanya pada ku tentang ihwal keagamaan.

"wow.. kamu dari pesantren?? gak keliatan bekasnya ya?? hehe.. "
" haha..ada nih, mau liat? bekas tato kayak di kuil shaolin gitu, tulisannya, mantan anak pesantren, huuuh.. dasar nih anak, ngeledek aja",
"hehe.. abisnya gaya mu itu gak sesuai sama streotype saya tentang anak pesantren loh..kamu tuh beda," Terselip sedikit kekaguman dari wajahnya, entah benar atau tidak, tapi bagiku itu sudah cukup membuat hatiku berbunga.
"hm.. saya pengen sedikit banyaknya menjauhi pola dan kebiasaan ketika di pesantren, saya jengah dengan kehidupannya, saya pengen coba perpektif lain dari ilmu pengetahuan, walaupun saya tahu, di dalam Islam pun mencakup keseluruhan Ilmu yang ada di dunia". Ah.. Tak pernah terpikir oleh ku memberikan alasan sebijak ini pada seseorang. padanya ku menjadi berbeda.

Sejenak pertemuan yang sesaat itu memberikan sedikit warna di hari-hari ku, Aku yang menginginkan hidup yang lebih berwarna di kampus, ternyata mendapatkannya dari seorang wanita muslimah yang haus akan ilmu Agama.
" eh udah dulu ya, bis ku udah dateng nih, kapan-kapan kita lanjutin lagi.. Assalamualaikum .. " Ia pun berlalu, dialog sesaat yang selalu di akhiri dengan kalimat singkat. Akupun kerap kali lupa bertanya siapa namanya. Seolah ada sesuatu yang menahanku untuk menanyakan siapa dirinya. Apapun yang terjadi pertemuan selanjutnya ku bertekad untuk menanyakan namanya, Harus.

***
Esok hari kutunggu ia seperti biasa, di tempat ini, di halte ini. Lama ku menunggu, ia tak kunjung muncul. Waktupun berlalu hingga ku harus beranjak pergi karena jam kuliahku akan segera di mulai. Tanpa kecewa kutinggalkan halte itu, karena kutahu, hal ini biasa terjadi.

Keesokan harinya, hal yang sama kulakukan. Menunggunya di halte ini, namun ia tak lagi datang. Begitupun keesokan harinya, dan seterusnya sampai beberapa bulan, ia tak pernah muncul di halte itu. Ia seperti di telan bumi, menghilang tanpa jejak. Kekecewaan bersarang di hatiku, ada penyesalan yang dalam kurasa. Ditambah dengan fakta bahwa aku tak tahu siapa namanya, dan dimana fakultasnya. Bodoh, aku pun mengutuki diri. Kenapa aku sebodoh ini , tak satupun identitasnya yang kuketahui, yang kutahu, ia hanya meninggalkan sebungkus tisu padaku. Terselip rapi dalam buku harian. Itu satu-satunya peninggalan darinya.

Fiuh.. Baiklah, ku menyerah, percuma ku menghabiskan waktu mendatangi halte ini, ia takkan datang. Akupun memandang halte itu dari jauh, dan ku menetapkan hati. "ku harus lebih baik lagi, seperti yang ia katakan.." dan akupun berlalu meninggalkan halte itu.

***
Selepas hari itu, aku memutuskan untuk tetap memperdalam ilmu agama yang telah kutekuni selama ini. Tak hanya ingin kutekuni, ku ingin menjadi bagian darinya, menjadi bagian dari perubahannya, dan menjadi bagian dari kebangkitannya. Aku pun mengikuti kelompok-kelompok mentoring di kampus. Di dalamnya aku mendapat perspektif yang luas tentang Islam sebagai rahmatan lil alamin. Ku bahagia menjadi bagian dari setitik perubahan Islam, bersama kawan-kawan ku berusaha menyiarkan Islam pada dunia.

Tak terasa 4 tahun berlalu, dan akupun lulus dari kampus ini, namun masih saja tersisa buah kekecewaan di hati ini. Aku tak dapat menemukannya sekali pun. Dan setelah upacara wisuda, ku kunjungi halte itu. Tak ada yang berubah, kecuali ada sedikit renovasi di sana sini. Aku pun terhenti dan terdiam sesaat, lalu membuka tas dan mengambil buku harianku. Disana terselip 2 lembar tisu yang masih berada di bungkusnya. Tergeletak diam membisu. Disana pikiranku melayang, berdoa dan berharap semoga ia masih mengingatku di suatu tempat.

**
3 Tahun kemudian, di sudut kota Jakarta
"akhi.. antum sudah pantas untuk berkeluarga, kenapa antum tidak berpikir untuk berumah tangga ??" aku pun tersenyum mendengarkan ucapan guruku ini.
"belum ada yang cocok ustadz.. hehe.. " kucoba membalas ucapannya dengan sedikit canda.
"akhi.. antum punya tanggung jawab meneruskan perjuangan, dengan mencetak generasi rabbani yang lebih baik dari kita. Semuanya tidak akan terwujud tanpa adanya keluarga yang sakinah... cobalah tetapkan hati.."
sembari menepuk bahuku ia tersenyum hangat. Ah.. bila ia telah tersenyum seperti ini, aku tak mampu menolaknya. dengan menganggukan kepala aku membalas ucapannya.
"kalau begitu, antum mau ana kenalkan dengan salah satu muslimah murid istri ana? dari informasi yang ana dapat ia muslimah yang baik.. bagaimana? " Ku berpikir lama, sebelum akhirnya ku menyetujui usulannya. "baik kalau begitu, sekarang hari senin ya? bagaimana kalau hari jumat depan kita akan bertemu di tempat ana, jangan sampai lupa ya"
" baik ustadz ane paham, tenang aja, gak bakalan telat.." tanpa semangat kubalas ucapan guru ku itu,hm. hari jumat, semoga menjadi hari yang baik.

***
Hari jumat serasa datang tanpa permisi, ia tiba-tiba datang di hadapanku dengan segala kemungkinan yang ada. Ku tetapkan hati dan membaca basmalah. semoga ini yang terbaik.

sesampainya di rumah guruku yang sederhana, aku disambut oleh anak-anaknya yang lucu dan menggemaskan, aku memang telah akrab dengan mereka, karena seringkali rumah ini dijadikan tempat kami untuk mengaji.
"Assalamualaikum..eh, ibrahim, tangan kamu kenapa?? jatuh ya?"
"Waalaikumsalam gak apa apa kok bang, cuma jatoh dari sepeda, baim kan anak laki-laki, harus kuat, kalau gak kuat gak bisa jadi kayak umar.."Ia pun kembali bermain setelah mencium tanganku. Terdiam ku mendengar celotehannya. Entah apa yang diajarkan orang tua mereka sehingga telah terpatri di benak mereka keinginan untuk menjadi seperti sahabat nabi.

Akupun tersadarkan dari lamunan ketika mendengarkan salam dari dalam rumah..
"assalamualaiku akhi, silahkan masuk, kami sudah lama menunggu antum.. antum tunggu ya, sebentar lagi orangnya datang."
Lama ku menunggu hingga akhirnya ia pun datang, nampak samar dari jauh terlihat dua orang perempuan berjilbab senada, berwarna biru. Lamat-lamat mereka datang menghampiri rumah
ini, memoriku pun seolah kembali berputar ke masa itu, ketika hujan di sore hari. Salah seorang, Jilbab warna biru itu, mengingatkan akan kenangan yang telah lama terendap lama di dalam ingatan. yah, tidak salah lagi, itu dia. Yang lama kunanti kehadirannya, Yang memberikan ku sebungkus tisu.

"Assalamualaikum, ikhwan akhwat sekalian, hari ini kita berkumpul dalam rangka pertemuan yang Insya Allah di ridhoi olehNya, semoga pertemuan ini membawa manfaat bagi kita dan umat ini. nah Aziz, sekarang dari antum dulu, ada yang ingin antum tanyakan padanya?"
"Hm. ada ustadz, hal yang ingin ane tanyakan dari dulu.. "
"loh?? kalian sudah saling kenal toh..wah.. gak nyangka, lalu apa yang ingin antum tanyakan" terlihat muka kami tersipu malu.
"Cukup namanya ustadz, hanya itu" Guruku terdiam dan menatap wanita di depannya. Wanita itu pun menjawab "nama saya Azizah, dan akhirnya saya tahu siapa nama kamu..hal yang ingin saya ketahui sedari dulu sebelum saya pergi, gak nyangka nama kita ternyata mirip. " kata-katanya sedikit tertahan.
"Dulu saya ingin menyampaikan ucapan selamat tinggal padamu, karena akan mengikuti program pertukaran pelajar, tapi ternyata tidak sempat, semuanya serba mendadak, mengurus administrasi ke rektorat pun dilakukan oleh teman." Sembari tertunduk, ia berucap getir.

"Gapapa, ternyata Ia punya skenario yang lebih baik untuk kita, akhirnya Allah mempertemukan kita di tempat yang lebih nyaman dari sekedar halte.. hehe.."
ia tersenyum mendengar celotehanku. Akupun membalikkan badan berusaha mencari tas yang setia menemaniku 5 tahun belakangan, kubuka dan kuambil sebuah buku harian yang telah lama tak tersentuh. Di balik beberapa halamannya yang tersisa, terselip sebuah benda yang selalu ku simpan. Tisu itu masih tersimpan rapi dan bersih dalam bungkusnya. "ini, kamu masih ingat benda ini ?", ia pun mengambil benda itu dengan mata berkaca-kaca, dan tak terasa air mata pun meleleh di pipinya. "Kamu, masih menyimpannya??" terbata-bata ia berucap. "ya, Saya masih menyimpannya, saya tahu kamu membutuhkannya setidaknya untuk membasuh air matamu..." tersenyum, Ia membasuh air mata yang mengalir di pipinya. Sebuah tisu yang dulu pernah ia berikan pada seorang pemuda untuk mengeringkan diri dari kuyupnya air hujan, kini telah kembali padanya dengan cara yang tak pernah ia duga sebelumnya. Ternyata Tuhan memang telah menyiapkan skenario yang indah untuk kami.

"And Among his Signs is this that he created for you wives and husband from Among yourselves. That you may find repose in them. And he has put between you affection and mercy. Verily. In that are indeed signs for people who replace" Arrum : 21