Sunday 19 July 2009

prolog

Ia berjalan sangat cepat, sembari sesekali melirik ke arah arloji tua pemberian ayahnya. Tak disangka telah 2 tahun sejak tragedi itu, semuanya berubah. Namun secepatnya ia alihkan kenangan itu, dan kembali kepada misi yang harus ia jalankan. 2 jam lagi dan ia tak mau semua ini gagal.

Malam ini sangat dingin, lorong-lorong di kota sepi dari aktivitas penduduk. Nampaknya duduk hangat di depan perapian sangat menggoda hingga tak ada satupun orang yang berpikir tuk keluar rumah. bersyukur karena ini memudahkan dirinya tuk menyelesaikan misi. ah tidak, waktu ternyata sangat cepat berjalan, ia harus memastikan paket ini tiba tepat waktu.

--------------------------

Saturday 18 July 2009

Bersama Kami atau Melawan Kami

Menyaksikan pidato SBY tentang pemboman di hotel Ritz-Carlton membuat saya terharu. Sejujurnya saya terbawa oleh ekspresi beliau yang bercampur aduk antara sedih, prihatin, sekaligus geram dan mengutuk habis perbuatan pelaku ledakan JW Marriott dan Ritz-Carlton. Ekspresi beliau itulah yang menyentuh afeksi saya dan saya pun sempat melupakan momen besar sebelumnya, yang telah dilalui bangsa ini, pemilu 2009. Tunggu, pemilu pilpres? adakah kaitannya pemboman ini dengan pilpres?? karena saya benar-benar melupakan pilpres ketika kondisi keamanan negara seperti ini.

Pilpres memang telah usai, menurut hasil pilpres sementara SBY-Boediono yang menjadi pemenang. namun, pilpres masih menyisakan berbagai masalah, DPT dan rekapitulasi hasil suara yang menjadi polemik. Kedua masalah itu sebenarnya tak terlalu esensial bagi SBY dalam melanjutkan pemerintahan, toh SBY saat ini telah mengantongi mayoritas suara. Dengan telaknya mengalahkan pasangan lain dengan meraih 60 % suara (berdasarkan hasil quickcount). Secara sekilas SBY telah cukup representatif mewakili keinginan sebagian besar rakyat Indonesia, namun nampaknya ini tak cukup. Untuk membangun pemerintahan yang kuat, semua elemen harus berada di belakang SBY. Untuk itu perlu sebuah momen yang membangkitkan kesadaran nasional kebangsaan. caranya?

Mungkin masih segar di ingatan kita ketika mantan presiden Amerika Serikat George W. Bush memproklamirkan perang terhadap teroris. Semua orang berada di belakangnya, baik yang menentangnya lebih-lebih yang mendukungnya. Ada common enemy yang menjadi ancaman dan setiap diri dari bangsa harus bersatu untuk melawannya. Maka tak heran invasi AS terhadap irak, afghanistan mendapatkan persetujuan dari rakyatnya meskipun di akhir pemerintahannya, rakyat amerika sadar bahwa perang melawan teroris hanyalah kesia-sian belaka.

Begitu pula dengan peristiwa baru-baru ini. Ada upaya membangun kesadaran nasional kebangsaan dari SBY. Dimana SBY bertindak sangat cepat (bertolak belakang dengan kebiasaannya) terhadap pemboman di Ritz Carlton. Ia langsung mengadakan press conference terkait pemboman. Press conference itu juga turut juga menyajikan data dari intelijen negara yang telah mengidentifikasi percobaan pembunuhan SBY sembari menunjukkan foto SBY ditembak dan video latihan menembak foto SBY sebelum terjadinya ledakan. benar-benar menyajikan fakta bahwa ada common enemy yang harus diberantas bersama.

Sebagai warga negara pastinya, termasuk saya akan mendukung pemerintah untuk memberantas terorisme. Dan itu mungkin yang dirasakan oleh sebagian rakyat yang tak lagi peduli terhadap isu pilpres. Yang jadi perhatian mereka sekarang adalah bagaimana membantu presiden dalam menjaga keamanan negara yang ternyata belum seaman yang mereka kira. Sehingga rakyat tak ada lagi yang berseberangan dengan pemerintah. Berada dibelakang pemerintah, dibelakang SBY walau apapun yang terjadi. Mungkin menjadi mirip-mirip dengan slogan partai republik di amerika, 'bersama kami atau melawan kami'..

NB : entah rekayasa entah tidak, sayapun sedikit heran betapa hal ini (pemboman) seolah2 telah diketahui sebelumnya oleh SBY sehingga skenario pidato itu sungguh menguggah.. hehe..

Wednesday 15 July 2009

Kepada Orang tua dan calon orang tua

Entah apa yang dirasakan seorang ibu atau ayah. Ketika buah hatinya pulang dari sekolah dan memberikan secarik kertas ujiannya. Tak ada masalah memang dari nilainya. Nilainya bagus, dan itu sebuah kebanggaan bagi sang orang tua. Betapa gembiranya ayah dan ibu. Akan tetapi betapa mirisnya (mungkin) hati mereka ketika mengetahui bahwa ternyata jawaban dari salah satu soal seperti apa yang terlihat di bawah ini.

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga) (QS: Ali Imran :14)

The pursuit of truth and beauty is a sphere of activity in which we are permitted to remain children all our lives.
- Albert Einstein -

"We are guilty of many errors and many faults but our worst crime is abandoning the children, neglecting the fountain of life. Many of the things we need can wait. The child cannot. Right now is the time his bones are being formed, his blood is being made, and his senses are being developed. To him we cannot answer 'Tomorrow'. His name is 'Today'."
- Gabriela Mistral - Noble Prize Winner 1945

Wednesday 8 July 2009

Antara Means dan Goal

Bingung pada negeri ini, antara sarana (means) dan sasaran (goal) sangat rancu. Berlomba memperbaiki sarana, memperindahnya, dan menjadikannya tujuan utama. Padahal goal atau sasaran utamanya bukan itu. Sasarannya ada di suatu tempat yang kini hanya jadi pemanis ketika para capres dan cawapres berkampanye yakni kesejahteraan dan kemakmuran. Sedangkan sarananya adalah sistem yang bernama demokrasi.

Bukti nyata terlihat ketika means tersebut (baca : demokrasi) begitu agungnya di tinggikan. Dipuja dan dijadikan standar oleh sebagian pejabat negeri ini sebagai capaian besar sebuah bangsa yang beradab. Agaknya para pejabat negeri ini telah teracuni oleh propaganda asing (pengusung demokrasi) yang memang bertujuan mengaburkan mata tiap rakyat Indonesia, agar bingung dalam melihat mana yang jadi sasaran dan mana yang jadi sarana. Sehingga tak heran pemilu sebagai sarana yang merupakan pengejawantahan demokrasi tak lagi membawa bangsa ini mencapai tujuan utamanya berupa kemakmuran dan kesejahteraan.

Ongkos pemilu begitu besar, 47 trilyun rupiah dana negara dikucurkan untuk menyelenggarakan pesta demokrasi ini. Sangat berbeda jauh dengan ongkos pemilu 2004 yang hanya (jika dapat dipakai kata hanya) menghabiskan dana 4,4 trilyun rupiah, nyaris mengalami kenaikan 10 kali lipat. Lalu apa yang menyebabkan ongkos pemilu begitu mahal??

Untuk pemilu tahun ini, sistem penetapan caleg bagi anggota DPR dan anggota DPD sangat berbeda. Kalau dulu memakai sistem nomor urut, saat ini memakai sistem suara terbanyak. Yang otomatis berpengaruh pada alat-alat yang akan digunakan untuk menghitung suara dari tiap caleg (tidak lagi suara dari partai), pastinya sistem IT dan segala kelengkapan lain seharusnya lebih baik dari tahun 2004.

Lalu bagaimana hasilnya?? pemilu tahun ini 10 kali lipat lebih buruk dari tahun 2004 yang biayanya 10 kali lebih murah dari tahun 2009. Ini merupakan bukti nyata bahwa kita sebagai bangsa masih bingung dalam menetapkan mana means (sarana) dan mana goal (sasaran). Sibuk membenahi sistem dan sarana berupa pemilu tanpa melakukan evaluasi terhadap hasil pemilu sebelumnya. Yang seharusnya memunculkan pertanyaan "apakah pemilu kemarin (tahun 2004) sudah cukup membawa bangsa ini menjadi makmur dan sejahtera?". Dimana pertanyaan itu tak terjawab tetapi sudah begitu sibuknya membenahi sarana, alat yang hakikatnya bukan suatu yang esensial untuk dibenahi.

Jadi?? Gunakan hak pilih anda sebaik-baiknya karena ongkos yang mahal itu begitu sayang untuk disia-siakan. Walau mungkin hak suara anda belom bisa secara sporadis dijadikan sarana untuk mencapai sasaran bangsa ini, kemakmuran dan kesejahteraan.

Tuesday 7 July 2009

Rumah sendiri.. welcome back home..

Dunia luar sungguh mengasyikkan, banyak hal baru yang dapat ditemukan. Sangat berbeda jika dibandingkan dengan lingkungan sekitar tempat kita terbiasa melakukan aktivitas. Kadang membosankan, monoton, dan tak ada tantangan. Pantas saja anak kecil nan lugu begitu antusias menapaki dunia barunya. Teman baru, mainan baru, lingkungan baru, dan segala macam hal yang baru. Ia begitu gembira menapaki hari baru di dunia luarnya. Karena disana ada tantangan, aktivitas, dan harapan yang mungkin selama ini ia impikan.

Sayapun menganalogikan diri saya seperti anak kecil itu. Begitu tertarik dengan mainan baru, dan lingkungan baru. Setelah berkelana cukup lama bersama blog ini, sayapun mulai beralih ke lingkungan baru,dunia luar yang disebut facebook. Di sana, di tempat itu, menyajikan beragam hal yang lebih canggih dan sangat interaktif. Wah.. sungguh asyik ternyata lingkungan baru ini.

Tapi semakin lama saya semakin bosan dan jenuh pada dunia baru ini. Tak ada lagi ruang ekspresi tanpa dilindungi simbol privasi. Disana semua serba terbuka dan tak ada lagi yang tidak publik ketahui. Karena terkadang privasi jadi semacam dimensi pelengkap dari ketenangan hati. Walau di blog ini pun saya yakin ruang privasi tak cukup terlindungi dan tidak sepenuhnya saya dapatkan, akan tetapi setidaknya ada space yang jelas antara anda, saya, dan kita.

yup.. akhirnya, saya kembali pulang. merapihkan kembali rumah yang selama ini berdebu tak terurus. InsyaAlloh kembali dihiasi dengan tulisan..

Welcome back home, Rumah sendiri...