Monday 24 November 2008

Karena Status atau kualitas??

Ingin sedikit beranjak sejenak dari dunia kemahasiswaan. Bosan juga rasanya melulu membahas hal-hal berkaitan politik kampus. Maka saat ini, saya ingin sekedar berbagi informasi tentang pengalaman yang beberapa waktu lalu saya alami.

Begini ceritanya kawan, seperti yang mungkin kawan-kawan tahu semenjak di asrama lah saya menjelma  menjadi “kuli tinta”. Hingga kini sayapun masih layak digelari julukan itu. Bedanya mungkin, dulu saya mengawalinya dengan sangat berat dan kini sedikit lebih mudah. Kalau dulu motivasinya ekstrinsik, sebagai prasyarat turunnya beasiswa, saat ini motivasinya mungkin agak bergeser ke sisi intrinsic dalam diri.

Salah satu penyebabnya mungkin beberapa apresiasi yang saya dapatkan. Setelah berulang kali membuat tulisan, dan berulang kali pula dikirimkan ke media massa akhirnya tulisan saya dimuat. Alhamdulillah, saat itu dimuat di rubrik suara mahasiswa dengan judul moral wakil rakyat. Dengan mencantumkan nama serta fakultas saya berada, sungguh bangga rasanya. Selain karena bangga, mungkin “sakit hati” saya sedikit terobati dengan dimuatnya artikel ini. Karena beberapa waktu sebelumnya beberapa orang sahabat di asrama menembus media massa nasional bersama artikel mereka. Hanum, Ical, Hans, Zulfadli, dan lainnya. Yang membuat saya menjadi iri (dalam artian positif tentunya) pada mereka. Dan akhirnya tercapai juga impian saya.

Waktu pun berlalu, Artikel yang diterbitkan 4 bulan sejak saya di asrama (Berarti lima bulan setelah bulan agustus 2006, yakni bulan Desember)  nampaknya akan menjadi artikel pertama sekaligus terakhir bagi saya. Terbayang-bayang dalam benak setiap kali membuat tulisan dan ternyata gagal tembus. Berulang kali hal itu terjadi, sampai suatu saat di bulan april 2008, akhirnya masa itu datang.

Berawal dari observasi beberapa rekan yang sering menembus tulisan di media massa. Sayapun berusaha mengikuti jejak mereka. Langkah demi langkah saya ikuti. Hingga suatu titik dimana sayapun menyadari bahwa mungkin inilah titik penting dari pencarian saya selama ini. Inilah titik yang mungkin saja (kebanyakan kata mungkin, mohon maaf bila terganggu) yang menjadi perbedaan antara orang-orang yang gagal tembus dengan yang berhasil tembus.

Titik itu ialah identitas yang dituliskan di artikel yang akan saya kirim. Sebuah identitas yang menunjukkan keahlian saya sebagai seorang individu. Lepas dari status saya sebagai seorang penuntut ilmu yang seolah-olah masih mencari kebenaran dan belum diperhitungkan setiap argumennnya. Sehingga sayapun berkesimpulan bahwa status sebagai mahasiswa menjadi semacam penghalang bagi keberhasilan menembus media massa. Karena media seolah tidak melihat status, mahasiswa, yang masih dalam tahap pembelajaran dan tidak layak dijadikan acuan.  Maka kalau bisa diubahlah identitas itu dalam bentuk yang lebih berkelas, seperti peneliti, asisten peneliti, pengamat atau yang lainnya. Yang penting jangan mahasiswa. Akhirnya saya coba dan ternyata berhasil.

Artikel sayapun tembus ke media massa, di bulan april. Tapi mengapa, saya tidak merasa begitu bahagia seperti artikel saya yang pertama. Sayapun tak tau pasti tapi mungkin jawabannya adalah karena saat itu saya melakukan kesalahan dengan mengatasnamakan sebuah status yang tidak (baca : mungkin belum) menjadi hak saya. Seolah saat itu mata saya menjadi gelap untuk melihat kebenaran dikarenakan ambisi yang menggebu untuk menembus media massa. Sayapun sebenarnya sudah meralatnya langsung ke Koran tersebut, dan secara langsung menyampaikan kesalahan ini kepada seorang dosen. Akan tetapi tetap saja saya merasa berbuat yang tak benar. Walaupun tentunya banyak hal yang menjadi considerant saya ketika memilih identitas itu (baca:kelayakan, kepatutan, dan pembenaran)

Akhirnya hingga kini masih tersisa sebuah tanya dalam pikiran saya. Apakah tembusnya artikel saya karena status yang dituliskan disana? Atau karena memang artikel saya berkualitas? Lalu apakah dibenarkan bagi kita melakukan “modifikasi” identitas seperti itu?

Entahlah…

btw...ini tulisannya...

Diskursus Seni dalam Mengkritisi

Thursday 20 November 2008

[Forum NgomPol] Tulisan Terakhir : Tiga Golongan dalam Suksesi

Change will not come if we wait for some other person or some other time. We are the ones we've been waiting for. We are the change that we seek.
-Barrack Obama-

jika kita harus melakukan sesuatu yang tidak populer, sebaiknya sekalian saja dilakukan dengan segenap hati. karena dalam politik, pujian tidak didapatkan dengan takut-takut
-Marcuss Tullius Cicero- Negarawan dan Orator Ulung Romawi

Proses suksesi kepemimpinan secara alamiah membagi setiap orang dalam tiga golongan besar. Golongan yang Pro Status Quo, Golongan poros tengah, dan Golongan reformis-revolusioner.

Golongan yang pro Status Quo lazimnya disebut dengan kelompok incumbent. Calon dari kelompok incumbent ini terkadang adalah kandidat yang pernah menduduki jabatan ini sebelumnya. Ataupun kalau tidak, pastilah kader dari pemimpin yang sedang menjabat. Mereka biasanya membawa program dan slogan yang sama dengan pendahulu mereka. Kalaupun tidak mereka sekedar memolesnya dengan dandanan baru yang lebih menjual. Mungkin karena telah terbukti berhasil menarik simpati pemilih sehingga menutup pikiran mereka untuk mencoba berkreativitas dengan program dan slogan yang baru.

Selanjutnya adalah golongan poros tengah. Acapkali disebut sebagai penjembatan antara golongan yang saling bertentangan. Fungsi mereka sebenarnya sangat strategis. Melihat adanya pertentangan ekstrim antar golongan-golongan yang ada, pemilih cenderung memilih alternatif yang muncul dengan sosok yang lembut dan berbeda dengan golongan lain. Yang dirasa dapat membawa mereka pada kondisi yang lebih baik ketimbang memilih golongan yang sibuk dengan pertentangan antar mereka.

Sedangkan golongan reformis-revolusioner bertolak belakang dengan golongan incumbent. Mereka hadir dengan program dan slogan yang tak biasa. Menghidangkan perubahan bagi arah kebijakan lembaga yang akan dinakhkodainya. Mereka membawa program dan slogan mereka pada tataran nilai dan keyakinan pemilih. Meyakinkan pemilih bahwa program dan slogan ini bukan sekedarnya saja. Ini adalah sebuah bentuk pergerakan bersama berdasarkan prinsip dan nilai yang kita yakini. Sehingga mereka tak ragu membawa pemilih untuk melihat mimpi besar bagi kejayaan diri mereka, ataupun lingkungan disekitarnya.

------------------

Jikalau diadaptasikan dalam realita bermasyarakat di kampus saya. Maka yang kini muncul mungkin golongan pertama dan ketiga dalam tulisan ini. Golongan pertama tak membuat saya bernafsu untuk meng-eksplor lebih jauh. Karena mungkin saya telah akrab dengan apa yang mereka bawa setahun belakangan.

Untuk golongan ketiga saya memberikan nilai lebih. Selain karena adanya pemberitaan miring mengenai mereka dari dunia maya selain MP. Adanya bentuk nilai dan keyakinan yang mereka bawa meyakinkan saya akan adanya sebuah perubahan. Seperti yang dikatakan Obama. Perubahan itu tidak datang sendiri, kitalah yang harus membuatnya. Dan untuk itu janganlah ragu untuk menjadi tidak populer. Karena pujian tidak didapatkan dengan takut-takut (Cicero, 605 Masehi). Hingga mimpi tak lagi jadi pelengkap malam ditengah lelap para penghuni bumi.

Sedangkan golongan kedua? Kalah sebelum berperang mungkin, entahlah, saya juga tidak tau menahu.

Yang jelas saat ini saya sedang sangat menikmati suguhan manis para lakon dalam politik kampus di Psikologi..

Sunday 9 November 2008

Saat Hujan Turun

Hujan, entah sudah berapa kali ia hadir dalam hidupku. Berjuta, ataupun bermilyar kali mungkin, ia menemani hari-hari ku. Hadirnya menjadi bagian tak terpisahkan dari cerita unik berbagai episode kehidupan. kadang kala ia mengiringi kebahagiaan perjalananku . dan terkadang ia menjadi sosok penambah perih di hati.

Aku menyukainya. Terlepas dari berbagai peran yang ia jalani. Karena ia menjadi simbol, bahwa masih ada rahmat bagi dunia ini. Bahwa masih ada kasih sayang Dari Rabb yang menguasai semesta alam. Hingga akupun berpikir, telah banyak yang dilupakan manusia. Akan rasa syukur bahwa masih ada setitik kenikmatan dengan turunnya ia.

Ia hadir begitu sering akhir-akhir ini. Dan akupun berpikir ada waktu-waktu favoritku untuk menunggunya datang. Bagiku waktu favorit untuk menunggunya datang adalah di sore hari. Sembari menunggu senja serta melepaskan lelah setelah seharian menjalani aktivitas. Kehadirannya membawa kenikmatan tersendiri.

Waktu favorit dan menyenangkan bersama dirinya tak hanya dimiliki oleh diriku seorang. Ternyata sahabat-sahabatku pun punya waktu-waktu menyenangkan bersama dirinya. Ada yang di sore hari sama seperti diriku, ada yang di pagi hari, siang hari, ataupun malam hari. Semuanya memiliki maknanya masing-masing menurutku.

Hujan di pagi hari.
hanya segelintir sahabatku yang menikmati hujan di pagi hari. Bukan saja karena hujan membawa sedikit efek bagi kelancaran aktivitas di hari itu. Tetapi juga hujan di waktu ini dimaknai sebagai awalan dari suramnya hari bagi sebagian orang. Gelap, basah, dan membuat orang enggan tuk memulai aktivitas di pagi hari. Orang yang menikmati hujan di pagi hari terkadang mempunyai keinginan untuk terus bersama hujan. Meresapi indahnya hujan dan enggan melanjutkan aktivitas. Larut bersama kehadiran hujan hingga melupakan hal lainnya di sepanjang hari nanti. Hanya satu orang sahabatku yang memilih waktu ini.

Hujan di siang hari.
Sebagian sahabatku lebih menikmati hujan di siang hari. Karena bersama hujan bagi mereka merupakan sebuah telaga kesejukan dari panasnya siang. Pengiring aktivitas dan kepenatan kerja di siang hari. Mereka tak mempermasalahkan jika hujan menghambat aktivitas. Karena bagi mereka iringan hujan cukup menjadi penyegar bagi kelelahan di siang hari. Yang menjadi teman bagi aktivitas mereka yang sangat padat.(sahabat-sahabat ku yang memilih hujan di siang hari memang orang-orang yang memiliki aktivitas sangat padat. Dan uniknya tak sekedar padat, mereka men-schedule seluruh aktivitasnya dan bukan sekedar aktivitas insidental)
 
Hujan di sore hari.
aku dan sebagian sahabatku saja yang memilih waktu ini. Sangat asyik memang menikmati hujan di sore hari. Melihat siang melepaskan diri untuk disampaikan pada penghujung hari. Moment-moment peralihan yang diiringi gemeritik suara hujan. Membawa suasana hati menjadi tenang dan tenteram. Kami (aku dan sahabatku) memang orang-orang yang meresapi sebuah proses. Sehingga terkadang cenderung melankolik dan terjebak dalam romantisme sesaat. Tapi itulah Khami.

Hujan di malam hari.
Untuk waktu ini banyak dan bahkan sebagian besar sahabatku memilihnya. Mereka sangat menikmati hadirnya hujan yang mengiringi ditutupnya hari itu. Kehadiran hujan seolah menjadi sebuah orkestra yang menemani mereka mengobati lelah setelah seharian beraktivitas. Mereka menjadikan hujan sebagai sarana untuk menutupi berbagai masalah. Biarkan masalah di hari itu tertutup oleh suara hujan yang mengiringi tidur mereka. Sehingga, serahkan saja semuanya pada hujan, sedangkan kini, biarlah kita tidur untuk menanti hari esok.

Itulah beberapa momen yang menjadi saat-saat menyenangkan dalam menikmati turunnya hujan. Bagiku dan sahabat-sahabatku. Sehingga menurutku waktu-waktu dalam menikmati hujan menjadi citra bagiku dalam memahami mereka. Mencoba melihat mereka lebih dalam sebagai seorang sahabat dan saudara.

 

Thursday 6 November 2008

Seleksi ataupun Eleksi [Lingkup Fakultas,UI, ataupun Negara]

Bagi saya pribadi, penghujung tahun 2008 ini menjadi momen katarsis. Karena banyak peristiwa yang dapat dijadikan sarana untuk 'melarikan' diri. Khususnya dari segala macam aktivitas akademik semacam kaup-kaup(an), konseling-konseling(an), ataupun pelatihan-pelatihan(an)*agak maksa memang*. Membuat saya setidaknya punya bahan untuk dijadikan obrolan selain masalah akademis. Bersama rekan saya di forum gosip wadin-hamzah, ataupun rekan-rekan lain seperjuangan. 

Momen itu adalah momen eleksi ataupun seleksi pimpinan sebuah lembaga (karena ada satu pemilihan yang tidak mau disebut eleksi). Yang ternyata menumpuk menjadi satu di akhir 2008. Untuk lebih lengkapnya saya akan merinci satu per satu:

1. Seleksi dekan Fakultas Psikologi UI
Panitia seleksi telah dibentuk. Mereka bertugas menyusutkan calon menjadi 3 orang yang nantinya akan dipilih berdasarkan hasil FPT di depan Rektor dan jajarannya. calon pun telah banyak yang mengambil formulir. kalau tidak salah ada 6 orang yang mengambil. Tapi sayang ternyata hanya empat orang yang mengembalikan formulir. mereka adalah Dr Tjut Rifameutia, Dr Guritnaningsih, Dr Wilman Dahlan, dan Dr Hamdi Muluk (urutan tidak berarti apa-apa,sungguh..). Mereka yang mengembalikan formulir akhirnya di uji publik-kan oleh panitia pemilihan dekan kepada civitas akademika psikologi. Berbagai pertanyaan banyak yang mengemuka ketika para kandidat selesai mempresentasikan visi dan misi mereka. Hingga sampailah hari pengumuman dimana hanya 3 orang yang akan maju untuk FPT di depan rektor. Mereka adalah ketiga orang yang sebutkan di awal minus yang keempat. Ketiganya di uji di depan rektor hari ini (06/11), dan disiarkan secara langsung lewat streaming melalui situs resmi UI. Pengumumannya? sudah ada ternyata. Yang terpilih adalah Dr Wilman Dahlan, yang punya core competence di bidang PIO (psikologi industri dan organisasi). Yah..semoga dapat mengemban amanah ini dengan baik.

2. Eleksi KaBEM-WaKaBEM dan MPM F.Psi UI
Tak hanya dekannya saja yang dipilih. Lembaga kemahasiswaannya pun turut serta memilih pimpinannya yang baru. mereka adalah:
Untuk BEM: Muhammad Akhyar '06 - Jayaning Hartami '07 dan Robby Zuharfi '06-Fajar Erika '06
Untuk MPM: Khairun Nisa '06, Humeira Fauzia '06, Hanif Rafi '07, Puti "07, Ovilla Nanci '08, Andriani Cendra '08, Cyntia Rusdian '08, Ekotyas '08, Puri '08, dan Sylvinna '08
Mereka adalah calon-calon penerus lembaga eksekutif dan legislatif di F.Psi UI. Bedanya dengan seleksi dekan yang telah ketahuan siapa orangnya yang terpilih, mereka saat ini belum pasti menjabat. Tergantung hasil suara dan musyawarah angkatan (untuk MPM angkatan). Yah..Marilah kita berdoa semoga mereka sukses dalam menempuh proses ini. Dan yang terpilih adalah yang terbaik..amin..

3. Eleksi BEM UI
Nah..kalau yang ini agak lebih luas. Setelah tadi hanya lingkup lokal saja, berkisar fakultas, sekarang mari kita berbicara lingkup Universitas. Untuk BEM UI, seperti pemilihan dekan, banyak yang mengambil formulir. Ada sekitar 7 orang yang mengambil formulir. Saya hanya mengetahui sebagian saja. Bagi teman-teman yang tahu silahkan di share di sini. Mereka adalah Tiko MIPA '05-Nanda FISIP '05, Ihsan Fasilkom '05-Gonjez FISIP '05, Randy Bagasyudha F.Psi '04-Yura FH '05, Yudha FISIP '05-(saya gak tau wakilnya), Adan FIB '05-(pasangannya, sampai posting ini selesai, belum ada..), dan lainnya (saya gak tau lagi)
Untuk yang mengembalikan Formulir?, karena keterbatasan informasi dan jaringan, saya belum mengetahuinya. Maaf yak... tapi tetap, seperti yang lain, semoga yang terbaik bagi UI, siapapun pemimpinnya.

4. Eleksi Presiden Amerika Serikat
Untuk yang satu ini, mari kita sedikit meng-global. Sama seperti seleksi dekan F.Psi UI. Hasil dari Pilpres amerika ini telah ada. Dan seperti harapan banyak orang, Barrack Husein Obama yang terpilih. Tak banyak yang dapat saya utarakan untuk Obama selain harapan yang lebih baik bagi kebijakan luar negeri amerika. walaupun saya pribadi sangat menyangsikan hal itu. Karena saya meng-insyafi bahwa ada metastructur yang bermain dalam pilpres Amerika.

Sementara hal-hal inilah yang menjadi bahan katarsis bagi saya. Semoga banyak hal lain yang dapat dijadikan katarsis sebelum saya nantinya benar-benar mengalami 'burn out'...halah..semoga saja tidak. Doakan saja...

*ditulisditengahKaupKonselingPelatihanSkripsiyangmulaimenggila*

........

Monday 3 November 2008

Antara Nyunnah dan yang tidak

Untuk berbicara mengenai Nyunnah (sesuai dengan sunnah) atau tidak. Agaknya frame berpikir saya sedikit banyak dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama adalah lingkungan dimana saya dibesarkan. Saya diasuh dan tumbuh berkembang di lingkungan masyarakat kompleks perumahan. Masyarakat yang unik ketika interaksi penghuninya hanya sebatas senyuman basa-basi dan tegur sapa seadanya. Dimana ketika saya mulai beranjak besar berdirilah sebuah masjid yang gagah nan elok di lapangan kompleks tersebut. Maka mulailah babak baru dalam kehidupan saya.

Hari-hari saya lalui di masjid ini. Belajar baca Alquran, bahasa arab, ataupun sekedar bermain bersama kawan di lingkungan masjid. Banyak hal yang saya dapatkan dalam proses perkembangan yang saya jalani. Hingga ketika saya beranjak besar, saya pun mulai belajar untuk memahami Islam lebih dalam dengan kajian-kajian yang diadakan setiap pekannya di masjid tersebut.

Pekan demi pekan saya nikmati sebagai sebuah rangkaian indah dalam hidup. Saya pun mulai akrab dengan berbagai kitab yang ada dalam setiap kajian. Fiqih Sunnah karya Sayid Sabiq disertai Tamamul Minnah Syeikh Al Albani sebagai pembanding. Minhajul Muslim karya Syeikh Abu Bakar Al Jazairi, Kitab Tauhid karya Al Imam Muhammad Bin Abdul Wahab yang lebih dikenal dengan nama Syeikh At Tamimi di Indonesia. Serta tidak ketinggalan karya monumental Imam Nawawi, Riyadhus Shalihin (dan semua buku karangan manhaj yang mengatasnamakan Assalafusshalih). Semuanya menjadi bagian dalam proses pencarian makna Islam dalam hidup saya.

Itu hal pertama yang mempengaruhi frame berpikir saya dalam melihat sunnah. Hal kedua adalah proses pembinaan selama 2 tahun di asrama tercinta. Jujur, pertama kali saya masuk ke asrama ini, saya mengalami disonansi kognitif. Banyak hal yang berbeda dengan apa yang telah saya dapatkan dulu di masjid. Berbagai hal dalam melihat sunnah dan aplikasinya di lapangan. Diantaranya adalah bersikap hati-hati dalam melihat persoalan mengenai sunnah dengan memakai berbagai sudut pandang. Objektifikasi yang di kedepankan dan bukannya hawa nafsu serta Ashobiyah golongan. Sayapun menyadari akan kebenaran hal ini. Dimana dulu saya seringkali memahami sunnah sangatlah sempit. Tidak mendalam dan mencari esensi dibaliknya. Namun meskipun begitu, saya begitu bersyukur pernah melewati masa-masa kehidupan dalam lingkungan masjid.

Waktu pun berlalu. Saya telah lama tidak mengikuti perkembangan terbaru berita-berita di masjid. Info terakhir yang saya dengar dari ayah, terjadi perselisihan diantara pengurus masjid tentang suatu hal. Perlu dijadikan catatan disini perselisihan tersebut mungkin sepele oleh sebagian orang termasuk orang yang hormati di sana (guruku). Yakni perlukah dibuat sebuah menara di masjid yang saat ini sedang dalam proses pembangunan atau tidak?. Sebagian orang disana tidak setuju dengan dibangunnya menara. Alasannya karena tidak Nyunnah. Sedangkan orang yang saya hormati itu mengatakan bahwa boleh dibuat menara. Alasannya karena tidak ada hubungannya dengan bid'ah.

Mendengar ini dari ayah membuat saya tertawa seketika. Pola berpikir yang aneh ketika mengatakan bahwa tidak boleh dibuat menara karena tidak nyunnah. Padahal menurut saya tidak nyunnah bukan berarti segalanya dilarang dan masuk kategori haram. Ditambah bahwa hal ini tidak ada hubungannya dengan ibadah. Saya pun memaklumi niat baik dari sebagian orang itu untuk komitmen dalam mengikuti sunnah Rasul. Akan tetapi sungguh konyol ketika ini dijadikan alasan untuk membolehkan atau tidak membolehkan sesuatu. Sehingga seolah-olah kita memposisikan sunnah sederajat dengan hukum wajib dalam Islam. Padahal telah jelas dalam Al Quran bahwa Alloh membenci orang yang bersikap berlebihan. Saya pun setuju dengan orang yang saya hormati itu, ketika ia mengatakan bahwa hal ini tidak ada hubungannya dengan bid'ah. Karena sesuatu yang tidak nyunnah bukan berarti bid'ah. Sedangkan yang bid'ah sudah pasti tidak nyunnah.

Haaah...!
Itu masih dalam lingkungan mikro dekat masjid rumah saya. Bagaimana dalam tataran makro? saya tidak habis pikir, urusan remeh temeh seperti ini yang dijadikan pokok bahasan utama. Dikala masih banyak hal lain yang lebih penting untuk dibahas dan dicari solusinya bersama.

Saturday 1 November 2008

Tribute to Kawan Sejawat merangkap Sahabat

Bila dikisahkan, pertemuan saya dengan dirinya tidaklah istimewa. Sebuah momen yang tidak disangka merupakan awalan dari perjalanan panjang kami berdua di fakultas psikologi UI. Mengawal trias politica menuju kasta idealnya di kampus kami.

Saat itu hari pertama untuk briefing PSAU hari kedua. Dengan semangat yang meluap, saya berusaha untuk datang ke tempat briefing. Direncanakan briefing PSAU diadakan di belakang MUI, sama halnya dengan briefing PSAU sebelum-sebelumnya. Namun apa daya, hujan pun mengiringi langkah saya menuju MUI. Dan akhirnya pasrahlah saya menerima guyuran hujan yang begitu lebat. Basah-basahan keadaan saya ketika sampai disertai muka kedinginan. Untunglah ada orang baik yang mau dan rela meminjamkan jaketnya kepada saya. Yang dikemudian hari saya ketahui bahwa ia Ketua FUSI 06.

sebenarnya bukan dia yang ingin saya bicarakan dalam tulisan ini. Tapi orang lain yang sembari menunggu briefing dimulai mengajak kami (baca:maba laki-laki psiko 05) menghabiskan waktu dan melupakan kejadian buruk para maba yang sebagian besar kehujanan, di sore hari, di selasar MUI.

Dia dengan gayanya yang khas bertanya kepada kami rasanya PSAU hari pertama. Karena kapasitasnya sebagai panitia PSAU (klo gak salah humas). Diiringi lelucon-lelucon kecil yang setidaknya membuat kami sejenak melupakan rasa dingin dari tubuh. Ia pun sebenarnya sempat bertanya kepadaku "lo yang nyalon jadi ketua angkatan kan?" dan terpaksa saya balas pertanyaannya hanya dengan senyuman miris. Singkat kata berakhirlah momen itu.

Selanjutnya interaksi saya dengannya selama empat tahun ini sebatas interaksi secukupnya dan seadanya. Ditambah sayapun jarang bermain ke tempat 'kerja'nya, dilapangan futsal Fakultas Psikologi. Walaupun kami sering bertemu di Lembaga kemahasiswaan tertinggi di IKM Psikologi, Senat mahasiswa. Namun tetap saja saya sangat minim berinteraksi dengannya.

Maka sangat shock-nya saya ketika melihat ia maju sebagai CaKaBEM Psiko UI. Yang notabene seharusnya bila mengikuti tradisi, saat itu adalah 'jatah' angkatan 2005 mengambil alih roda regenerasi. Sebenarnya saya tidak mempermasalahkan dan mengganggu gugat majunya dia sebagai CaKaBEM Psiko UI. Tapi sebagai bagian dari angkatan, loyalitas sebagai sebuah kesatuan memanggil saya untuk membela kandidat dari kalangan sendiri.

Interaksi dan mungkin diskusi yang sedikit demi sedikit mengubah pandangan saya tentangnya. Terutama dalam masa-masa SUKSESI. Kami sering berinteraksi saat kampanye dimana sayapun saat itu menjadi salah satu kandidat (tapi dalam ranah berbeda). Dan saya pun sampai pada sebuah kesimpulan. "kalau dia yang jadi ketua BEM, impian bahwa legislative dan eksekutif bisa berjalan sebagai partner dapat terwujud".

Dan ternyata hingga berjalannya kepengurusan selama 11 bulan ini, kami pun setidaknya dapat memfungsikan diri dengan baik. Sebagai eksekutif dan legislatif. Partner yang dapat saling membantu, mengingatkan dan mendorong munculnya sinergisitas. Dimana hal ini memicu tumbuhnya produktivitas antar kedua lembaga yang dapat ditularkan pada lembaga lain.

Selain itu, saya seolah-olah mendapatkan bonus dari hubungan profesional antar kedua lembaga ini. Yakni saya juga mendapatkan sosok sahabat dari dirinya. Yang membantu saya dalam menyelesaikan permasalahan yang ada. Yang dapat memberikan lelucon konyol dan menyegarkan dikala hati sedang galau.
Ini contohnya..
SMS dari Saya
"Tolong sampein salam gw buat dia yak.. I 'miss' him..hehe" miss disini berarti kehilangan dan gak keliatan beberapa hari ini.
SMS dari dia
"haha..hari senen gw peluk deh lo gar.. :p"
Dan sungguh tak terduga. Ternyata dia menepati janjinya. Setidaknya ada orang yang dapat memberikan support, semangat, dan juga keanehan(di kala saat ini pelukan antara dua orang laki2 sering disalah artikan) di kala masa-masa berat saat ini.

hehe..terima kasih bos..atas semuanya..

Untuk
Mufti Wirawan.
KaBEM Psikologi UI 2008